Digigit Sang Alpha - Book cover

Digigit Sang Alpha

Chloe Taylor

Ikatan yang Tidak Terelakkan

Jaxon

Mau ke mana dia? Ini gadis kecil yang seharusnya menjadi jodohku? ~Quinn ~ini.

Berani sekali dia. Kabur dari rumah sakit ketika seharusnya dalam proses penyembuhan. Kabur entah ke mana, menjauhi kawanan, menjauhi aku.

Dia tahu kami terikat, tapi tetap saja, dia kabur! Itu membingungkan dan membuatku marah. Tidak ada yang berani menentangku sebelumnya. Anggota kawananku tahu sangsinya adalah kematian.

Alpha mereka berada di atas segalanya.

Namun, gadis ini yang bukan siapa-siapa, manusia ini yang bahkan belum mulai berubah, dia pikir dia di atasku?

Aku merasakan kemarahan berdenyut melalui pembuluh darah, memicu otot-otot tegang, tangan gemetar, tulang-tulang mulai pecah dan retak menganga. Aku berubah dengan kemarahan binatang yang sebenarnya, membutakan.

Kuku-kuku jariku terbelah saat cakar panjang dan tajam keluar dari dalamnya. Taringku mencuat dari gusi, tumbuh lebih panjang. Kepalaku terasa seperti akan retak menganga…

Berubah selalu menyakitkan...tapi kali ini bahkan lebih buruk. Karena sorot mata gadis itu, keterkejutannya—bukan, terornya—membuatku ragu.

Karena satu dan lain hal, aku tidak ingin menakuti atau menyakitinya. Perasaan yang dalam dan tidak nyaman, yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, berbuih di dalam diriku. Seperti campuran nafsu dan…mungkinkah ini…kasih sayang?

Meskipun Quinn bukan siapa-siapa bagiku, hanya seekor domba kecil tersesat yang kami temukan di hutan, tapi seolah-olah entah bagaimana...aku telah mengenal dan ~merawatnya ~seumur hidupku.

Ini efek samping dari ikatan perjodohan, tidak diragukan lagi.

Aku mengutuknya, mengepalkan tangan, merasakan cakarku masuk kembali dan jari-jariku normal lagi. Taringku masuk kembali ke dalam gusi.

Hanya mataku yang masih bersinar keemasan, sisa-sisa binatang karnivora dalam diriku. Sebagian dari sosok serigalaku ingin mencabik-cabik gadis ini karena kelancangannya. Sedangkan sebagian lagi…

Sebagian lagi ingin aku merobek pakaiannya dan bercinta dengannya di sini, di tengah gang terbengkalai ini.

Bibirnya yang merekah dan gemetar. Rambut panjangnya yang hitam legam. Tubuhnya, sangat muda, belum tersentuh dan menginginkan tubuhku, aku bisa merasakannya. Hasrat dalam diriku siap tumpah ruah segera.

Aku mulai mondar-mandir untuk mengalihkan pandanganku darinya dan menjernihkan pikiranku, tapi percuma saja.

“Kau benar-benar…,” bisik Quinn, tak percaya. "Kau benar-benar serigala..."

Manusia serigala,~” ~geramku. “Ada bedanya.”

"Bagaimana bisa…?" dia bertanya, menggelengkan kepalanya, tampak kewalahan. “Bagaimana ini bisa nyata? Bagaimana ini bisa terjadi?!”

Gadis bodoh ini. Dia seperti anak kecil.

Aku berpikir, dari semua wanita yang layak di dunia, Dewi Bulan telah memilih yang ini sebagai jodohku. Ini lelucon sinting.

Jauh di lubuk hati, aku tahu tidak seorang pun, dan pastinya bukan Quinn, yang bisa menggantikan apa yang telah hilang dariku. Aku menepis pikiran itu, memendamnya seperti yang selalu kulakukan agar emosi itu tidak tumbuh.

"Kau akan segera mengerti," kataku. "Setelah kau berubah."

Dia melihat ke kakinya yang diperban seolah-olah akhirnya menyadari ini bukan lelucon. Ini adalah hidupnya sekarang.

Dia harus terbiasa dengan semua ini.

"Bagaimana kalau…?" dia bertanya dengan terengah-engah. “Bagaimana kalau aku tidak mau? Menjadi sepertimu?”

Aku tertawa pahit. “Sudah terlambat.”

Tidak ada yang bisa membalikkan proses transformasi.

Setelah digigit, dia akan menjadi salah satu dari kami atau mati.

Meskipun aku benci dan jijik dengan semua hal tentang Quinn, kenaifan kekanak-kanakannya, nalurinya untuk kabur bukannya malah bertempur, harus kuakui…aku tidak ingin dia mati.

Mungkin itu hanya ikatan perjodohan, atau mungkin lebih dari itu. Aku tidak tahu, tapi apa yang dia katakan selanjutnya membuatku semakin bingung.

"Katakan namamu," pintanya. "Kumohon. Aku perlu tahu namamu.”

Mengapa itu sangat berarti baginya? Aku sudah membuatnya penasaran saat di rumah sakit. Mungkin dengan mengatakannya akan menenangkannya.

“Aku adalah Alpha dari Kawanan Bayangan Bulan—” aku memulai.

"Namamu," potongnya.

"Sebentar," kataku, marah. Apa dia selalu kurang ajar begini? "Namaku Jaxon."

Dia berkedip, pipinya merah merona seolah nama itu berefek secara fisik padanya.

Mungkin benar. Ketika dia bilang namanya, itu juga berefek sama padaku.

"Jaxon," katanya perlahan, mencoba mengucapkannya.

Cara dia mengatakannya...membuatku merinding. Semakin lama menatapnya, semakin terpana jadinya. Mata emasku menelanjanginya, membayangkan bagaimana rasanya menggerayanginya.

Aku mencoba menghilangkan hasrat ini. Benar-benar tidak masuk akal. Ini hanya naluriah, tetapi semakin kucoba menyangkalnya, semakin kuat jadinya.

Dari bisikan sayu di benakku: Cium dia. Jilat dia. Sentuh dia.

... Hingga teriakan keras di tenggorokan: Bercinta dengannya. Bercinta dengannya! BERCINTA DENGANNYA!!!

Tidak, aku menyangkal. Tidak ada bercinta atau apa pun saat ini. ~Gadis ini harus diantar kembali ke rumah sakit dulu.~

“Jaxon, bolehkah…?” katanya, tampak semakin kesal. "Bolehkah aku pulang?"

Untuk sesaat, aku bertanya-tanya apakah harus berusaha menghiburnya. Merangkulnya. Mengatakan semuanya akan baik-baik saja.

Namun, itu menyedihkan. Bukan tindakan Alpha yang mahakuat.

"Tidak," geramku. “Kau tinggal dengan kawanan kami sekarang. Silakan kabur kalau bisa, kau tidak akan berhasil. Ikatan kita seperti karet gelang. Semakin menarik diri, semakin kuat dorongan untuk kembali.”

Bibirnya melengkung, kesal. Sepertinya dia juga tidak terlalu menyukaiku.

"Kita lihat saja nanti," dengusnya.

Lalu, sebelum aku bisa menghentikannya, Quinn berbalik dan berjalan menuju jalan, menjauh dari rumah sakit. Kurang ajar sekali gadis ini! Aku seharusnya mengejarnya dan memaksanya kembali ke rumah sakit.

Namun, sejujurnya aku senang melihatnya melawanku.

Jadi, Quinn ingin memberontak?

Biarkan saja dia merasakan pemberontakan kecilnya.

Quinn

Bajingan itu!

Aku bingung kenapa pernah menganggapnya begitu menarik.

Memang, sorot mata emasnya memabukkan. Dan, ya, rambut pirang abu-abunya serasi dengan rahangnya yang kuat secara sempurna. Dan, oke, otot-ototnya, perut berototnya, sebenarnya seluruh fisiknya menggiurkan.

Namun, begitu dia bicara, aku menyadari betapa kasar dan menyebalkan Jaxon sebenarnya sebagai manusia.

Atau manusia serigala.

Atau apalah.

Aku masih bingung. Meskipun aku melihatnya berubah menjadi...binatang itu dengan mataku sendiri, aku meragukan cerita selanjutnya.

Misalnya, gagasan tentang aku tidak bisa pergi ke mana pun tanpa dia. Itu terdengar seperti alasan sinting untuk membuatku tetap dekat, karena menculikku saja tidak cukup.

Lalu ide itu, ide konyol, ide gila, tentang aku akan berubah menjadi seperti mereka? Manusia serigala? Tidak mungkin. Aku tidak percaya.

Seharusnya aku mendengarkanmu, Ibu, ~pikirku.~

Memikirkannya membuatku merasa bersalah. Meskipun saat beranjak dewasa aku merasa seperti tahanan di rumahku sendiri, ternyata semua peringatan ibuku benar.

Memang ada sesuatu yang menakutkan di dalam hutan dan ketika aku memutuskan untuk mengabaikan nasihat ibuku, inilah yang terjadi.

Mungkin aku pantas mendapatkan ini.

Aku sangat berharap bisa kembali berada di antara buku-buku dan kamar tidurku serta makan masakan ibuku sekarang. Meskipun dia terlalu protektif dan agak gila, tapi aku bisa memaklumi kegilaannya daripada kegilaan ini.

Aku berdiri di pinggir jalan dan mengacungkan ibu jari, berharap seseorang akan menepi dan memberiku tumpangan.

Aku membaca tentang menumpang di buku sebelumnya, tapi tidak pernah benar-benar melakukannya. Kupikir inilah kesempatan untuk bisa pulang dan aku harus mencobanya.

Sepasang suami istri mengendarai mobil keluarga yang sudah usang menepi, dan sang istri menurunkan jendelanya sambil tersenyum.

"Mau ke arah Utara?" dia bertanya.

Aku mengangguk, tiba-tiba merasa malu sekaligus takut. Bisa jadi keduanya adalah pembunuh berantai. Meskipun mereka terlihat cukup normal.

"Masuklah!" dia berkata. "Kau bisa ikut sampai ke Maysville."

Aku menarik napas dalam-dalam, menoleh ke belakang sekali ke arah rumah sakit yang terlihat cukup jauh, lalu memantapkan niatku. Aku tidak perlu memercayai omongan Jaxon. Aku bisa pulang sendiri.

"Terima kasih!" kataku, naik mobil dan bernapas lega sambil melaju, membawaku pergi.

***

Setengah jam kemudian, aku merasakan tusukan pertama. Seperti itulah rasanya. Seolah-olah seseorang mengambil garpu dan menusukkannya ke tulang rusukku, memutar ususku seperti spageti.

“Ahhh!” Aku berteriak, kaget.

"Kau tidak apa-apa?" tanya wanita itu, menoleh dengan prihatin.

Aku memegangi perutku. Aku merasakan satu tusukan lagi, yang ini terasa seperti ada yang mencabut pusarku dan menyentaknya ke atas.

Aku meringis kesakitan, memegangi kursi di depanku, meremasnya erat-erat. Aku belum pernah merasakan sesakit ini sebelumnya. Apa ini?!

Lalu aku melihat mata itu. Saat aku memejamkan mata, sepasang bola mata emasnya melintas di pikiranku.

Matanya Jaxon.

Inilah yang dia sebut ikatan perjodohan.

Jarak ini benar-benar menghancurkanku luar dalam. Dan entah mengapa, bercampur dengan sakit...ada rasa benar-benar mendambakan dirinya.

Mendambakan tangannya menggerayangi tubuhku. Bibirnya mengecup leherku. Kemaluannya membesar, berdenyut, dan menekanku.

Masuk ke dalam diriku.

Inti tubuhku mengencang dan melembap. Bola mataku berputar ke atas. Astaga, apa yang terjadi padaku?!

"Menepi," aku terkesiap. "KUMOHON!"

***

Begitu mereka menepi dan membantuku turun dari mobil, aku meyakinkan kepada pasutri yang baik itu aku akan baik-baik saja dan bisa mandiri. Namun, begitu mereka melesat pergi, aku tersungkur, dan tiba-tiba merasa sulit bernapas.

Saat aku berbaring di pinggir jalan, mata Jaxon terus berkelebat di pikiranku, berulang-ulang. Sekarang, aku sadar... ini lebih dari sekadar rasa sakit dan nafsu.

Ini kerinduan.

Garpu yang menusuk perut adalah tubuhku yang merindukan sentuhannya. Aku secara sadar membayangkan hal-hal yang tidak pernah kubayangkan tentang pria mana pun, bahkan dalam mimpi terliarku.

Jaxon membuka ritsleting celananya.

Jaxon menurunkan celana boksernya.

Jaxon membelai tubuhnya yang sempurna dan besar...

"BERHENTI!" Aku berteriak.

Pasti ada yang salah denganku.

Namun, aku tahu kalau tidak kembali ke Jaxon segera, aku mungkin akan meledak entah bagaimana caranya…

Next chapter
Diberi nilai 4.4 dari 5 di App Store
82.5K Ratings
Galatea logo

Unlimited books, immersive experiences.

Galatea FacebookGalatea InstagramGalatea TikTok