Ava Darling seorang kutu buku, tetapi dia tidak sabar lulus SMA. Biasanya teman-temannya mengejeknya, tetapi jika dia beruntung, mereka hanya mengabaikannya. Untungnya tinggal setahun lagi. Lalu, dia bisa melanjutkan ke universitas dan awal yang baru. Sayangnya, sebuah lelucon jahil menempatkan Ava di hadapan bocah nakal di sekolah, Hunter Black, yang mendatanginya dengan penawaran yang aneh. Mereka berdua sangat berbeda, tetapi jika bekerja sama, mereka mungkin akan mendapati bahwa secara diam-diam—sangat diam-diam—kesamaan mereka lebih banyak dari dugaan mereka!
AVA
Apakah kamu pernah mengalami hari-hari saat kamu bahkan tidak ingin bangun dari tempat tidur?
Ya, hari ini adalah salah satu dari hari-hari itu. Aku mengerang dan berguling melihat jam alarmku.
Jam alarm sudah berbunyi dua kali, tetapi mematikannya juga tidak baik. Namun, terlambat sepuluh menit bisa digantikan dengan bergegas dan melewatkan sarapan. Beruntungnya diriku.
Aku bangkit dari tempat tidur, lalu berjalan ke kamar mandi di seberang lorong.
Aku menggosok gigi dan ke toilet, lalu menatap bayanganku sebelum berjalan keluar dan kembali ke kamar untuk berganti pakaian dan pergi ke sekolah.
Aku mengenakan celana jin hitam robek di lutut dan atasan Harry Potter yang kebesaran dengan lambang Hogwarts di depannya.
Ketika berkata “kebesaran”, maksudku dua ukuran lebih besar untuk sosok mungilku, tapi itulah caraku menyembunyikan diri dari dunia luar.
Aku mengambil kacamata hitam besar yang 'jelek', itulah sebutannya oleh orang yang mengejekku di sekolah saat melihat kacamata ini. Aku menyisir rambutku menjadi kucir kuda di atas kepalaku, lalu membiarkan rambut cokelat bergoyang di belakangku.
Ini awal tahun terakhir SMA-ku. Tahun baru, dan aku takut, satu tahun lagi untuk dirundung, dipermainkan, dan diancam.
Aku tidak sabar melarikan diri dan kabur ke universitas, tempat aku bisa memulai awal yang baru.
Aku mungkin seorang kutu buku, tapi aku pun benci membayangkan bangun subuh untuk belajar dan belajar.
Saat aku menuju ke dapur untuk berangkat ke sekolah, aku mengambil tasku yang ada di kaki tempat tidurku, untungnya sudah dikemas malam sebelumnya dan siap dibawa.
Semua lampu mati, tapi aku bisa melihat catatan di lemari es melalui cahaya yang berhasil menembus tirai.
Berjalan ke jendela, aku menarik tirai, membiarkan mataku dibutakan sesaat sebelum menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk.
Aku berjalan ke lemari es dan mengambil catatan dari lemari es.
Aku menghela napas saat membaca catatan itu.
Bekerja sif ganda, ada makanan di lemari es, kau harus membuatnya sendiri. Ibu x
Berjalan ke lemari es, aku membukanya dan udara sejuk bertiup di wajahku, meskipun masih cukup hangat di awal musim gugur. Itu membuat merinding.
Sekali lagi, aku menghela napas karena tidak ada yang menarik perhatianku. Aku menutup lemari es, mengambil apel dari samping sebelum keluar pintu karena aku tidak ingin terlambat untuk hari pertama kembali sekolah.
Jangan salah paham, ini adalah rutinitas normal, atau setidaknya begitu, karena liburan musim panas berakhir, aku harus kembali beraktivitas, kembali ke rutinitas lama dan kebiasaan lama untuk menghentikan hal semacam ini terjadi.
Aku hanya tinggal berdua dengan Ibu sekarang. Dia harus mengambil kerja ekstra agar kami dapat tetap bertahan. Kami bahkan harus pindah dari rumah kami yang indah karena tidak mampu membayar cicilan.
Dia bekerja sebagai perawat dan gajinya tidak terlalu tinggi, tidak akan tinggi. Mereka kekurangan staf dan kekurangan dana, tetapi bekerja untuk NHS membuat ibuku bahagia karena dia dapat membantu orang lain. Aku bahagia melihatnya bahagia.
Ayahku meninggal dalam kecelakaan mobil dua tahun lalu saat ditabrak pengemudi mabuk yang membelok lalu menabraknya. Dia langsung mati, dirampas dari kami, sedangkan pengemudi mabuk itu hanya sedikit memar dan masih bernapas.
Meskipun Ayah sudah tiada, aku masih sangat merindukannya. Aku dekat dengan Ayah; dia selalu ada untukku saat aku membutuhkannya dan sekarang, dia pergi.
Sudah dua tahun, tetapi aku masih merasakan sakit, kesedihan masih terngiang di kepalaku.
Aku merasakan mataku berkaca-kaca, tetapi aku membuangnya jauh karena aku tidak ingin menangis pada hari pertama kembali ke kelas tiga. Aku menyingkirkan pikiran itu sambil terus berjalan ke sekolah.
Ketika mencapai gerbang sekolah, aku melihat semua mobil dan orang-orang yang telah berkumpul untuk bertukar kabar setelah liburan musim panas.
Sekolahnya mungkin sekolah negeri, tetapi masih banyak orang di sini yang berduit dan tidak takut untuk pamer dengan mobil mewah dan pakaian mahal dengan merek yang belum pernah kudengar.
Aku berjalan dengan kepala menunduk dan memastikan tidak ada yang memperhatikanku. Aku menyelinap ke sekolah dan berjalan menuju lokerku di ujung koridor.
Kalau-kalau belum tahu, aku gadis yang suka tidak terlihat, diabaikan orang sampai mereka membutuhkan seseorang untuk mengerjakan PR mereka atau mereka mengalami hari yang buruk dan perlu pelampiasan.
Dunia memberi aku karunia, yaitu kemampuan untuk tak terlihat, aku bodoh jika tidak memanfaatkannya, kan?
Lokerku tepat di ujung lorong, jadi tidak ada yang memperhatikan ketika aku di sana. Itu bonus untukku. Berjalan ke arah loker, aku mendapati gadis berambut pirang menunggu. Aku tersenyum, ini satu-satunya temanku, Lily.
Kuperkenalkan, ya?
Lily sahabatku sejak kecil. Kami bertemu ketika kami sama-sama menyadari kebencian kami terhadap gadis jahat bernama Jessica. Kami berbagi sebungkus permen bersama karena Jessica telah mencuri dan merobek PR kami.
Kami mungkin hanya berusia lima waktu itu, tapi siapa yang peduli? Persahabatan adalah persahabatan, pada intinya. Lily ini cantik.
Dia memiliki rambut keriting pirang yang jatuh ke tengah punggungnya. Dia memiliki mata biru cerah yang menarik banyak perhatian.
Tingginya 1,67 meter dengan kaki super panjang yang membuat iri gadis. Dia memiliki lekuk tubuh di semua tempat yang tepat, serta kulit kecokelatan alami. Secara keseluruhan, dia idaman kebanyakan anak laki-laki.
Lucu rasanya berpikir bahwa aku tidak diperhatikan saat bersamanya, tetapi jika kamu pernah menonton film The Duff, kamu akan mengerti betapa mudahnya aku diabaikan.
Aku tidak keberatan. Aku tidak pernah benar-benar mengerti alasan dia bersamaku, tetapi aku bersyukur untuk itu.
"Hei, jalang, bagaimana liburanmu?"
Aku tersenyum melihat caranya menyapaku sebelum menjawab. Dia sangat percaya diri dan aku mengaguminya untuk itu.
"Kau tahu aku, sangat produktif dan berhasil makan semua es krim lalu menonton banyak di Netflix."
"Aku tahu, kau menonton semua film Shadowhunters dalam dua hari."
Aku tersenyum kepadanya, tetapi aku tahu itu benar, bagaimana mungkin tidak menyukai Mortal Instruments?
Sekarang jika kalian bertanya-tanya bagaimana aku bisa membayar Netflix, sebenarnya aku tidak bayar. Lily, temanku, mengizinkan aku menggunakan akunnya. Orang tuanya cukup kaya, mereka pemilik restoran Italia yang luar biasa!
Jika kau bisa mencoba makanannya, pasti akan mengerti. Aku ini seperti tester pribadi mereka.
Aku tersenyum kepadanya saat mengeluarkan buku-buku dari lokerku. Lily sibuk mengirim pesan di ponselnya. Ketukan kukunya di layar entah bagaimana menenangkan dalam kekacauan di sekitar kami.
Sulit dibayangkan bahwa kami begitu dekat, padahal asal kami sangat berbeda.
Aku terbawa dari pikiranku ketika Lily menepuk pundakku berulang kali, aku memutar mataku dan bertanya-tanya apa kukunya patah akibat tepukannya. Aku berbalik dan ternyata ada mereka.
Tiga Lelaki Keren. Tiga Musketeer.
Seluruh koridor menjadi sunyi dan lautan siswa seperti laut merah membelah yang membiarkan mereka lewat saat mereka berjalan menyusuri lorong. Para gadis mengedipkan mata berharap diperhatikan, sementara para laki-laki memelototi mereka karena ingin menjadi mereka.
Aku memutar mataku, mereka memang sangat keren, jangan salah paham, tetapi mereka adalah bajingan, fuckboi, maafkan bahasa kasarku. Mereka hanya ingin seks sesaat dan bersenang-senang.
Kadang-kadang hanya untuk bersenang-senang, di lain waktu demi permainan atau taruhan, tetapi bagaimanapun juga, itu tidak ada artinya bagi mereka. Pemimpin grupnya, dan yang terseksi menurutku, adalah Hunter Black. Tingginya 1,82 meter dan terbuat dari otot murni. Bukan otot berlebihan yang menjijikkan, tetapi otot yang kita lihat pada model dan orang-orang keren.
Rambutnya berwarna cokelat tua hampir hitam dan matanya berwarna hijau hutan. Hijau zamrud yang memesona. Dia jelas yang paling keren.
Dia tampan dan menggiurkan, tetapi kelemahannya adalah dia telah meniduri hampir setiap gadis di sekolah, dan dia tidak pernah dengan gadis yang sama dua kali.
Kecuali Jessica yang jalang, dia terus kembali kepadanya, dan Jessica menyukai perhatian yang didapatkannya, karena pria paling populer dan seksi di sekolah menginginkannya, maka semua pria menginginkannya.
Lalu ada sahabatnya, Liam Thorn. Dia juga setinggi 1,82 meter, berambut pirang dan bermata biru. Dia seksi dengan caranya sendiri yang spesial.
Dia perenang dengan tubuh yang indah, tapi dia tidak seberengsek Hunter dan tidak sekeren itu, menurutku. Dia dikenal memiliki pacar dari waktu ke waktu, bagiku itu lucu, kurasa yang lain bisa ambil contoh darinya.
Terakhir, Declan Reed dengan rambut hitam dan sedikit lebih tinggi dari 1,82 meter. Dia juga bermata biru.
Declan tidak hanya dikenal sebagai seorang bajingan, tetapi juga orang iseng yang aneh karena jika melihatnya, kau tidak akan menduga dia memiliki selera humor. Saat aku melihatnya, dia hampir selalu cemberut, seolah-olah hanya punya satu emosi, yaitu rasa tidak suka yang intensif terhadap orang-orang.
Dia belum lama bersama Hunter dan Liam. Mungkin sekitar tiga atau empat tahun, tapi dia sangat cocok karena penampilannya dan dia sangat setia kepada mereka.
Oh, dan apakah aku sudah bilang bahwa mereka semua kaya? Sangat kaya, mereka dapat membeli sekolah dengan mudah jika mau dan tidak ada yang akan menghentikan mereka.
Semua orang menghormati mereka. Para guru, siswa, aku yakin bahkan beberapa orang tua takut kepada mereka dan akan melakukan apa pun yang mereka minta.
Ada desas-desus bahwa mereka terlibat dalam beberapa hal mengerikan, seperti geng dan narkoba, tetapi polisi terlalu takut untuk bertindak. Dengan uang mereka, aku yakin mereka bisa menyuap polisi.
Tidak ada yang benar-benar tahu apakah itu benar atau tidak, tetapi tidak ada yang berani bertanya.
Jadi, begitulah, ketiga laki-laki ini pada dasarnya memimpin sekolah, dan tidak ada yang menantang mereka.
Aku berpaling dari mereka saat mereka melewatiku dan menundukkan kepalaku. Aku suka tidak terlihat, aku tidak suka perhatian, atau mungkin aku hanya tidak suka apa akibat perhatian untukku, yaitu rasa sakit dan ketakutan.
Aku mengerang saat bel berbunyi, lalu Lily dan aku berjalan ke kelas pertama kami, matematika.
***
Berjalan keluar kelas dan dengan hati-hati berjalan mengitari siswa lain, aku mulai mengeluh kepada Lily tentang sekolah.
Orang-orang berjalan di mana-mana dengan terburu-buru dan aku berusaha sebisanya untuk menghindari mereka agar aku tidak mendapatkan serangan balik.
“Ini penyiksaan! Apakah mereka benar-benar mengharapkan kita mengerjakan matematika pada hari Senin pagi?”
Lily hanya terkikik dan menggelengkan kepalanya mendengar teriakan bodohku.
“Yah, mereka pasti sangat membenci kita tahun ini.”
Nadanya sarkastis dan aku berbalik untuk memelototinya sebelum kami berdua tertawa terbahak-bahak. Aku tidak buruk dalam matematika, hanya saja aku membenci mata pelajaran itu.
Aku bahkan tidak tahu mengapa aku memilihnya sebagai mata pelajaran wajib, tidak ada gunanya dan kapan aku akan diminta untuk mengerjakan aljabar atau teorema lingkaran? Jawabannya adalah tidak akan pernah!
Lily dan aku berjalan ke kelas kami berikutnya, menghindari orang-orang dan mengabaikan teriakan dari siswa dan guru. Aku sangat terganggu oleh semua kebisingan yang terjadi di sekitarku sehingga tidak memperhatikan arah tujuanku. Aku terkejut ketika seorang pria muncul di depanku tanpa diduga. Kami menabrak satu sama lain.
Setelah tersentak karena tubrukan, aku tersandung sedikit ke belakang sambil memegangi perutku dan menatap mata pria yang membuatku kesakitan ini.
Melalui air mata di mataku, aku bisa melihat wajahnya, kami saling menatap sebelum dia menerobos kami serta hampir menjatuhkanku dan menghamburkan buku-bukuku.
Seolah-olah angin yang merobohkanku tidak cukup, dia harus menghamburkan buku-bukuku yang berhasil aku tahan pada serangan pertama.
“Maaf, cantik.”
Dia berkata dengan mengedipkan mata ke arahku sebelum hilang di lautan siswa. Aku berdiri kaget. Seorang pria, dan bahkan pria keren, memanggilku cantik dan mengedipkan mata kepadaku! Seseorang memperhatikanku!
Aku merasa pipiku merona merah sebelum menundukkan kepala dan terus berjalan menyeret Lily yang sangat bingung di belakangku, dia telah mengumpulkan semua bukuku karena malu dengan insiden itu.