Zainab Sambo
Tidak baik melampiaskan kemarahanmu kepada anjing yang malang, terutama jika sang pemiliknyalah yang membuatmu kesal.
Aku telah berjalan-jalan bersama Pangeran selama dua puluh menit sekarang.
Beth meneleponku dan kami bicara selama lima menit. Ia tertawa terbahak-bahak hingga terjatuh dari kursi.
Percakapan kami tidak baik, aku juga tidak sempat melampiaskan kemarahan serta rasa frustrasiku kepadanya, karena yang dilakukannya hanyalah tertawa di antara omong kosong yang diucapkannya.
Aku mengakhiri telepon itu sebelum menjadi semakin marah.
Prince adalah anjing yang lucu. Jika aku bukan orang yang sibuk, maka pasti aku sudah memelihara seekor anjing. Namun, memelihara seekor anjing berarti sebuah tanggung jawab baru, begitu pula dengan uang yang harus kukeluarkan untuk membeli makanan anjing dan hal-hal lain.
Itu akan menghabiskan banyak uang. Aku sudah kesulitan menghidupi diriku sendiri.
Aku belum pernah melihat anjing yang pintar dan sombong.
Aku bersumpah, dia memiliki temperamen yang buruk, persis seperti pemiliknya.
Ketika aku membawanya ke taman terdekat dan melihat bola kotor di tanah, aku mengambilnya.
Aku ingin bermain tangkap tangan dengan Prince, tetapi anjing sialan itu memutar hidungnya dengan jijik.
Aku tidak bercanda, dia melihat bola dengan jijik...tidak seperti anjing-anjing lainnya.
Kami akhirnya meninggalkan taman demi kebahagiaan Prince. Aku berhenti untuk membeli hot dog ketika seorang wanita dengan anjingnya berhenti di depan sebuah toko.
“Lihat, Prince, bukankah anjing itu lucu? Kau ingin pergi bermain dengannya?"
Dia kemudian memberiku ekspresi, “Kau serius?” Aku memutuskan bahwa anjing itu benar-benar lebih pintar dari yang kukira jika dia bisa mengerti apa yang kukatakan. Mungkin itu semua hanya imajinasiku saja.
“Ayolah, Prince, sudah berapa kali kau melihat anjing yang lebih imut dari itu? Jangan terlalu tegang begitu.”
Dia mendengus dan membuang muka.
Aku mungkin menjadi gila karena bicara dengan seekor anjing dan berpikir bahwa anjing itu meresponsku dengan ekspresinya. Dia mulai berjalan menjauh dariku ke arah yang berlawanan.
"Prince!" Aku meraih talinya dan dia membentakku dengan giginya.
“Ya ampun, kau seperti pemilikmu. Apa kau ketularan kepribadiannya, anjing malang?” Aku menggaruk bagian belakang telinganya.
"Pasti sulit hidup dengan pria yang dingin."
Dia tidak merespons.
“Bolehkah aku memberitahumu sebuah rahasia? Kupikir jika dia melunakkan temperamennya yang buruk dan mulai bersikap baik kepada orang-orang, aku mungkin akan mulai menyukainya. Dia benar-benar seksi.”
Prince menyeringai.
Sumpah, dia benar-benar menyeringai!
“Baiklah, ayo pergi.” Aku menarik talinya, tapi dia tidak mau bergeming.
"Prince, ayo pergi."
Dia tetap di tempatnya, tidak bergerak.
"Prince!" Aku membentak, menarik talinya kuat-kuat.
Dia meluncurkan dirinya ke arahku dan dalam beberapa detik, aku mendengar suara robekan.
Aku menatap tempat yang telah dirobeknya. Robekan itu tidak kecil. Ada robekan besar yang terlihat di gaun itu, tepat di bawah lutut.
“Sial!” Aku mengutuk.
“Ya Tuhan, ini tidak benar-benar terjadi.”
Aku mencoba menarik napas dan fokus, tetapi yang bisa kulihat hanyalah label harga yang mengatakan tujuh ratus pound.
“Tidak. Tidak. Tidak.”
Aku hendak mengalami hiperventilasi tepat di jalan. Apa yang akan kulakukan? Semuanya sudah berakhir bagiku.
Tidak mungkin aku bisa menghasilkan dua ratus pound, dan gaun ini harganya lebih mahal dari uang yang kumiliki.
Dan aku lebih memilih mati kehabisan darah sebelum mengambil uang yang kusimpan untuk Ayah.
"Kenapa kau melakukan itu, Prince?"
Dia tampak tidak menyesal dan aku ingin berteriak.
Apa yang akan kulakukan? Menjual TV-ku? Namun, aku tidak punya TV. Itu semua milik Beth.
Barang mahal apa yang kumiliki yang bisa kujual? Tidak ada.
Kesadaranku menyuruhku untuk memberi tahu Tuan Campbell.
Bagaimanapun, ini ulah anjing sialannya dan aku pantas dibayar untuk kerusakan atas gaun yang bukan milikku.
Namun, di sisi lain, harga diri dan egoku tidak akan membiarkanku memberitahunya.
Persetan dengan kesombongan dan egomu.
Katakan saja kepadanya.
Biarkan dia membayar gaun itu.
Bagaimana kau akan memecahkan masalah ini?
Setelah mengambil keputusan, aku meraih Prince dan menariknya bersamaku kembali ke restoran.
Kami menunggu pertemuan Pak Campbell selesai dan ketika waktunya habis, aku melihat dia berjalan keluar dengan seorang pria Cina dengan rambut beruban. Mereka berjabat tangan sebelum pria itu pergi dengan mobilnya.
Lalu dia menoleh ke arahku.
Aku melihat ke bawah sebentar sebelum mengangkat kepalaku, memberikan tali kembali kepadanya.
"Gaunku robek," kataku dengan suara sedih.
Suara hatiku berteriak dan siap mati karena penghinaan yang baru saja aku kulakukan.
"Aku bisa melihatnya. Lalu apa hubungannya denganku?”
Aku menggigit bibir bawahku, menahan teriakan.
"Prince yang merobek gaunku." Aku mencoba menghindari mata abu-abunya yang intens dan liar itu.
"Kau meminta kompensasi dariku, Nona Hart?"
Nada suaranya terdengar hampa, tak ada emosi sama sekali.
Masih memalingkan wajahku dari pandangannya, aku memainkan tanganku.
“Yah, kau lihat—”
"Lihat aku," dia memotongku.
Aku melihat ke arahnya dan aku melihat tangannya bersandar ke wajahku. Mataku melebar. Kupikir dia akan menamparku atau menyentuh wajahku.
Sebaliknya, tangannya pergi ke belakang leherku dan kemudian dia mengeluarkan label harganya.
Wajahku memerah. Aku dipermalukan. Aku ingin tanah terbuka dan menelanku saat ini juga.
Inilah yang kucoba hindari sepanjang malam.
“Sangat disayangkan,” komentarnya dengan nada malas.
"Gaunnya murah."
Apa? Dia menyebut gaun tujuh ratus pound itu murah? Aku ingin sekali melihat apa yang disebutnya mahal.
Namun, aku tidak bisa menatapnya.
Aku tak mampu menghadapinya. Aku terkejut ketika tangannya yang hangat meraih tanganku dan meletakkan beberapa lembar uang di telapak tanganku.
Aku tidak tahu berapa jumlahnya, tapi ada banyak.
Aku belum pernah memegang uang sebanyak itu.
Dia tidak mengatakan apa-apa dan sebelum aku bisa bereaksi, dia sudah berada di dalam mobilnya dan mobil itu menjauh.
Aku berdiri di sana terpaku di tempat, memelototi uang kertas di telapak tanganku.
Kenapa aku harus marah ketika dia memberiku uangnya? Bukankah seharusnya aku senang karena sekarang aku bisa membayar gaun itu?
Entah kenapa, aku tidak menyukainya. Aku tidak menginginkan uangnya.
Aku memasukkannya ke dalam dompetku dengan harapan bisa mengembalikannya kepadanya di kantor. Besok. Jika aku tahu di mana dia tinggal, aku akan langsung pergi ke sana.
"Kau akan melakukan apa?" tanya Beth saat aku menceritakan kisah lengkapnya.
"Aku akan mengembalikan uangnya," jawabku, menggeser gaun itu ke bawah kakiku.
"Kenapa? Itu milikmu. Dia memberikannya kepadamu.”
"Yah, tapi aku tidak menginginkannya."
"Kau sudah gila? Bagaimana kau bisa membayar gaun itu? Anjingnya yang telah merobeknya, jadi sudah kewajibannya membayarnya. Berhentilah berpikir negatif dan lihat sisi baiknya. Kau juga harus menyimpan gaun itu."
Aku melemparkan gaun itu ke tempat tidur dan meletakkan tanganku di pinggul, menatap Beth.
“Dia memberiku dua ribu pound. Apa yang harus kulakukan dengan uang sebanyak itu? Aku tidak butuh sumbangan, Beth.
“Aku punya harga diri. Aku tidak bisa begitu saja menerima uang darinya. Itu penghinaan!”
Dia memutar matanya. “Menghina apanya? Kau hanya enggan menerimanya.”
Aku menahan kesal ketika bertanya, “Kau sudah bertemu pria itu? Dia adalah seorang pria berengsek! Dan dia akan selalu seperti itu. Kau pikir dia tidak akan mengejekku?
"Kau tidak tahu." Aku masih mencoba menjilat harga diriku yang terluka, masih mencoba menerima apa yang telah terjadi.
Dia tidak ada di sana, tidak bisa melihat apa yang kulihat di mata Mason Campbell.
“Oke, kenapa kau tidak mengambil tujuh ratus pound dan mengembalikan sisanya kepadanya? Dan katakan kau akan membayar tujuh ratus setelah menerima gajimu. Lihat, aku sudah memecahkan masalahmu.”
"Kaulah yang pertama kali menciptakannya!"
Dia menggoyangkan jarinya ke arahku.
"Tidak, Laurie, kaulah yang mengira bahwa dirimu diundang untuk makan malam bersama mereka." Dia tertawa kecil.
"Andai saja aku ada di sana dan bisa melihat wajahmu ketika dia memberitahumu bahwa kau hanya akan mengajak jalan anjingnya."
“Aku yakin dia juga menemukan humor dalam penghinaanku. Katakan, apakah begitu sulit untuk memberitahuku apa yang akan kulakukan di sana?” Aku mengeluh. “Dia bisa saja berkata, ’Nona Hart, kau akan mengajak anjingku jalan-jalan malam ini,’
jadi aku tidak akan mempermalukan diriku sendiri."
Bahkan jika kami disidang di pengadilan dan berdiri di depan hakim, yang harus disalahkan adalah bosku karena tidak mengklarifikasinya.
Aku tidak bersalah, aku yang dipermalukan dan aku yang kehilangan banyak uang malam ini, cukup untuk membuatku kurang tidur, tetapi aku tahu dia akan mendengkur karena memiliki uang miliaran di rekening banknya.
Aku mengerang, menggosok dahiku.
Kepalaku terasa pening.
“Aku sangat membencinya.”
Beth berpura-pura terkejut.
“Bagaimana mungkin kau bisa membenci pria terseksi di Inggris? Kau tahu, aku sangat iri kepadamu. Kau bisa memandangnya sepanjang hari dan mengagumi setiap bagian tubuhnya yang memanggil-manggil namaku.”
Aku memukulnya.
"Diam. Aku tidak memandangnya. Aku bahkan tidak memperhatikannya.”
Pembohong.
“Aku hanya memperhatikan pekerjaanku saja.”
Sepertinya aku patut mendapatkan gelar dalam bidang kebohongan.
Dia tampak seolah tak percaya kepadaku.
“Jadi, kau kebal terhadap keseksiannya? Tidak tertarik kepadanya? Sama sekali?"
"Maaf telah mengecewakanmu, Sayang.” Kau benar-benar seorang pembohong, Lauren.
"Aku tahu kau berbohong." Bibirnya melengkung membentuk senyuman.
"Kau hanya tidak ingin mengakui bahwa kau juga menyukai bosmu.”
“Aku tidak naksir bosku! Dia bosku! Itu sangat dilarang.”
"Apakah di dalam buku panduan disebutkan bahwa kau tidak boleh melirik bosmu?”
Aku tersenyum.
“Peraturan nomor 78: Tidak ada karyawan yang boleh melakukan tindakan fisik atau menjalin hubungan dengan rekan kerja.” Aku menepuk punggungku sendiri karena telah berhasil mengingat beberapa aturan.
Meskipun aku belum membaca seluruh isi buku panduan, aku senang berhasil membaca beberapa dan menghindari menjadi pelanggar aturan.
"Tidak disebutkan soal bos pada peraturan itu," adalah jawaban cerdasnya.
"Serius? Itu argumenmu?” Aku bertanya, mengangkat kedua alisku dan dia mengangkat bahu sebagai balasannya. "Terserah, aku akan tidur."
Dia bangun dari tempat tidurku.
"Kita punya acara di akhir pekan ini, kan?"
“Acara khusus wanita, bukan? Tentu. Bolehkah aku mengundang temanku, Athena?"
"Ya. Kau juga bisa mengundang bosmu juga. Semakin banyak yang datang, tentu menjadi semakin meriah.” Dia mengedipkan mata.
"Sialan kau, Bethany."
Ayah ada jadwal temu dokter hari ini.
Perawatnya, Becky, berjanji akan memberiku kabar terbaru tentangnya. Aku memberi diriku waktu singkat untuk mengatakan kepada diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Dia akan menjalani kemoterapinya seperti pemberani.
Dia akan baik-baik saja dan akan hidup cukup lama untuk melihat cucunya.
Aku sangat khawatir bahwa dia harus melaluinya sendirian tanpa seorang pun di sisinya, tetapi Becky meyakinkan aku bahwa dia akan bersamanya.
Aku khawatir Ayah akan marah karena pekerjaanku membuatku tidak bisa bersamanya di sana, tetapi SMS darinya membuatku rileks.
Itu adalah salah satu hari di mana aku merasa sangat membenci wanita yang melahirkanku.
Dia yang seharusnya bersama Ayah, bukan perawatnya.
Hanya Tuhan yang tahu di mana dia berada saat ini, atau apakah dia masih memikirkan ayahku.
Meskipun Ayah berkata tidak keberatan aku tidak ada di sana, aku masih merasa sangat buruk.
Aku adalah satu-satunya anggota keluarganya yang tersisa, dan aku terlalu sibuk menjalankan tugas untuk Mason Campbell.
Aku menavigasi melalui lalu lintas pejalan kaki yang padat ke kedai kopi terdekat yang berjarak dua blok dari kantor. Aku membeli latte dengan busa ekstra sebelum melaju ke gedung kami.
Cuaca dingin menerpa wajahku dan aku meringkuk lebih dalam ke kardiganku.
Lift itu kosong ketika aku masuk ke dalam dan menekan nomor lantaiku. Aku gugup, tetapi sebagian besar masih merasa malu tiap kali mengingat apa yang terjadi tadi malam.
Penghinaan itu masih membara di dalam otakku, membuatku takut melihat Pak Campbell.
Aku berharap ini sudah akhir pekan, jadi aku tidak harus menghadapinya secepat ini lagi. Entah apa yang dipikirkannya tentangku.
Kenapa satu-satunya orang yang mana di hadapannya kau tidak ingin mempermalukan dirimu, malah justru menjadi orang yang di mana kau mempermalukan dirimu?
Tepat ketika pintu lift akan menutup, sebuah tangan menghantam di antara kedua logam itu, membuat pintu terbuka.
Jantungku berdebar kencang saat melihat pria yang kupikirkan lima detik yang lalu.
Pak Campbell berjalan masuk ke dalam lift, dan berdiri di sampingku.
Rambutnya dipangkas dengan potongan gaya yang membuatnya terlihat sangat bagus.
Dan dia juga sangat wangi.
Seharusnya aku tidak memikirkannya.
Dia adalah seseorang yang tidak pernah bisa kuraih, meskipun aku tidak pernah memikirkannya seperti itu.
Dia tidak bicara kepadaku, dan juga tidak melirikku. Pintu lift tertutup dan pintu ketegangan pun terbuka lebar.
Aku menundukkan kepalaku, terpesona oleh latte-ku padahal kenyataannya aku berusaha keras untuk tidak menatapnya.
Aku harus mengatakan sesuatu.
Aku harus menyapanya. Dia adalah bosku.
Pengungkapan kecil itu seperti tamparan di wajah. Aku panik kami berada di ruang tertutup bersama-sama sehingga tidak terpikir olehku untuk menyapanya.
"Selamat pagi, Pak." Aku tidak mendapat balasan apa pun darinya.
Yah, bukannya aku berharap dia akan mengatakan sesuatu setelah sekian lama menyadari kesalahanku.
“Jadi, kau ingat siapa bosmu. Kupikir entah bagaimana kau lupa apa yang seharusnya dilakukan seorang asisten ketika dia melihat bosnya.”
Aku melirik sekilas ke arahnya dan melihatnya sedang melihat jam tangannya yang mahal.
"Satu menit, tiga puluh detik." Dia mendongak dari arlojinya ke arahku, matanya tidak menunjukkan apa-apa.
"Itulah waktu yang dibutuhkan otakmu sebelum mulai berfungsi dengan baik."
Aku berdiri tak bergerak, mengatupkan rahangku sampai aku bisa menemukan ketenangan dan pengendalian diri yang diperlukan untuk bicara dengan tenang.
“Kenapa kau selalu menghinaku dan mengatakan bahwa aku bodoh? Sebenarnya aku pintar.”
Dia bergeser dan mengeluarkan tangannya dari sakunya saat aku terus menatapnya sementara dia terus menatap lurus ke depan.
Dia mengepalkan tangannya di depannya.
“Orang pintar tidak menyebut diri mereka pintar. Bila kau pintar dan menyadarinya, kau akan membiarkan orang berpikir kau tidak pintar. Kau menunjukkannya ketika mereka tidak menduganya.”
Aku mengangkat alis.
“Begitukah caramu menjadi salah satu pria paling berkuasa?
"Dengan berpura-pura kau tidak pintar?" Jadi, aku gagal mengikuti nasihatku sendiri tentang tidak mengajukan pertanyaan yang bukan urusanku dan pasti akan berpengaruh terhadap gajiku.
Ayah bilang aku punya kebiasaan menjadi orang yang usil dan tidak tahu kapan harus tutup mulut.
"Salah satu? Nona Hart, aku orang paling berkuasa di Inggris. Sesuatu yang jelas-jelas gagal kau sadari.”
“Aku tidak gagal untuk menyadari apa pun. Aku hanya bersikap rasional, Pak. Aku setuju dengan fakta bahwa kau berhasil menjadi salah satu orang paling berkuasa, tetapi di seluruh Inggris?
"Kau lupa kita masih memiliki seorang Ratu dan Perdana Menteri?"
Kata-kata itu keluar dari mulutku bahkan ketika aku menyadari bahwa tidak selayaknya aku mengatakannya.
“Tugasku sebagai bos adalah membiarkan karyawanku berkomentar seperti itu.” Nadanya yang angkuh membuatku sangat menyesal telah mengatakannya.
Aku tetap diam, menatap angka berwarna merah yang bergerak naik, masing-masing membutuhkan waktu sampai kami mencapai lantai kami.
Mungkin sebaiknya aku tutup mulut saja.
Pak Campbell sibuk selama berjam-jam, jadi aku tidak punya waktu untuk bicara dengannya dan mengembalikan uangnya. Aku benar-benar berusaha menghindarinya juga, tetapi aku tidak bisa menghindari melihatnya di pertemuan itu.
Ketika masuk ke ruang konferensi, aku memutuskan untuk duduk di tempat yang dimintanya terakhir kali untuk menghindari kerumitan, dan yang kumaksud dengan kerumitan adalah mendapat perhatian yang tak perlu.
Merasa nyaman di tempat dudukku, aku menunggu rapat dimulai.
Para karyawan lainnya yang tak kusukai karena tidak mengakui keberadaanku atau memilih jalan lain agar tidak perlu bertemu denganku, menganggukkan kepala mereka kepadaku.
Rapat dimulai pada waktu yang tepat dan Pak Campbell memusatkan perhatiannya kepada semua orang di ruangan itu.
Kuperhatikan bahwa ketika dia bicara, semua orang sangat ingin setuju dengan apa yang dikatakannya dan semua tampak mendengarkan dengan saksama.
Namun, ketika karyawan lain mulai bicara, mereka tidak terlalu fokus.
Ketika Pak Campbell bicara, kau tidak bisa menahan diri untuk tidak mendengarkan.
Mereka bukan mendengarkan kata-kata yang diucapkannya, tapi nada suaranya yang penuh wibawa serta betapa seksinya suaranya.
Setiap mata tertuju kepadanya, tergantung setiap kata yang dikatakannya.
Cynthia, dari riset pemasaran, memulai presentasinya, dan aku mencatat seperti yang diinginkan Pak Campbell.
Selama satu jam berikutnya, aku melakukan yang terbaik untuk menjadi bagian dari itu, bahkan jika yang kulakukan hanyalah mengangguk setuju dengan apa yang kuanggap hebat dan menuliskannya, tanpa harus menggunakan mulutku.
Setelah mereka melakukan semuanya untuk hari ini, Pak Campbell berdiri. “Kerja bagus hari ini. Lanjutkan kerja baik kalian."
Semua orang menjauh dari tempat duduk mereka dan berjalan keluar dari ruang konferensi.
Aku menyadari bahwa Pak Campbell belum bangkit untuk pergi. Saat aku hendak pergi, dia berdeham.
"Nona Hart, sebentar.”
Aku berbalik ke arahnya.
Dia masih berdiri, dan aku akan lebih menghargainya jika dia duduk saja.
Dia sangat menakutkan dan terlihat besar ketika dia berdiri.
Aku selalu merasa dia akan menginjakku di bawah sepatu kulitnya yang mahal.
"Apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan kepadaku?"
Aku menelan ludah dengan gelisah.
“Ehm, kurasa tidak, Pak. Apakah ada sesuatu?"
Wanita bodoh. Wanita bodoh. Katakan saja!
"Jika ada yang ingin kau katakan, kau harus mengatakannya sekarang," ulangnya, mengabaikan pertanyaanku. Apakah pria ini pembaca pikiran? Bagaimana dia bisa tahu bahwa aku ingin bicara dengannya?
Mungkin karena kau telah menghindarinya dan terlihat gelisah di hadapannya.
"Ini kesempatanmu," tambahnya.
Lakukanlah, Lauren.
Aku maju selangkah, tiba-tiba gugup. Namun, aku tidak akan membiarkan kegugupanku menghentikanku dari melakukan apa yang benar.
Dan itu adalah menyelamatkan harga diriku.
“A..aku ingin memberimu sesuatu.”
Dia mengerutkan alis.
"Apakah aku memberimu kesan bahwa aku menginginkan sesuatu darimu?" tanyanya dengan nada bosan.
Yang bisa kulakukan hanyalah mendengus.
“Ada di tasku. Biarkan aku mengambilnya.” Aku segera berbalik dan meninggalkan ruang konferensi sebelum dia menghentikanku lagi.
Ketika aku kembali, dia sudah berdiri tegak di dekat jendela besar, memandang ke arah kota.
Aku tahu dia sadar aku sudah kembali, tapi dia tidak berbalik dan aku tidak tahu harus berkata apa, memegang uangnya di tanganku yang tiba-tiba terasa berat.
"Aku sudah mengambilnya."
"Yah, apakah kau perlu aku memberitahumu dua kali untuk mendekat?"
"Tidak, Pak."
Aku melangkah maju sampai bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Dia perlahan berbalik.
Mata abu-abu gelapnya menahanku dalam semacam mimpi.
Dia sangat tampan.
Bagaimana dia bisa diberkati dengan kesempurnaan seperti itu?
Namun, tidak dikaruniai kepribadian yang menyenangkan?
Karena tidak ada yang bisa memiliki semuanya, Lauren.
Pandangannya jatuh ke tanganku.
Aku membersihkan tenggorokanku.
“Terima kasih untuk tadi malam, tapi aku bisa—”
"Tadi malam?" Dia memiringkan kepalanya, tampak tersesat.
"Apakah ada sesuatu yang terjadi tadi malam yang tidak kusadari?"
Alisku menyatu membentuk kerutan tidak percaya.
“Um, ya.”
“Katakan.”
Apakah dia melakukan ini dengan sengaja? Mencoba membuatku bicara tentang semalam ketika dia tahu aku sudah merasa terhina?
“Aku tidak tahu kenapa kau memberiku dua ribu pound ketika gaun itu berharga tujuh ratus pound. Namun, bagaimanapun, aku harus mengembalikan sisanya kepadamu.
“Aku berjanji setelah menerima gajiku, aku akan mengembalikan tujuh ratus pound kepadamu, atau kau bisa memotongnya,” kataku, terengah-engah.
"Apakah aku terlihat seperti kehilangan waktu tidur hanya karena uang dua ribu pound?"
"Tidak, tapi—"
“Kau membutuhkannya, bukan?” tanyanya..
“Prince merusak gaunmu dan aku bersedia membayarnya. Aku merasa cukup murah hati untuk menggandakan angkanya. Kenapa kau harus mempermasalahkannya?”
"Aku tidak.." Aku berhenti bicara ketika menyadari bahwa aku akan meninggikan suaraku dan mengambil napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya.
“Aku tidak mempermasalahkannya, Pak. Terima kasih atas kebaikanmu, tapi aku tidak menginginkannya.”
"Karena kau terlalu baik untuk menerimanya?”
"Bukan itu," kataku frustrasi.
"Aku tidak ingin uang belas kasihanmu."
“Apakah itu masalahnya? Uang kasihan?”
“Aku bukan orang yang suka mengambil uang orang tanpa bekerja keras untuk mendapatkannya. Aku merasa tidak nyaman mengetahui aku berutang kepadamu sekarang, jadi tolong, Pak, ambil saja. Aku benar-benar tidak menginginkannya.”
"Kalau begitu, buang saja," dia datar.
"Apa?"
"Kau mendengarku. Buang saja. Atau berikan kepada seseorang. Terserah kau, Nona Hart.”
Dia mulai berjalan pergi, dan aku mengulurkan tanganku untuk menghentikannya.
Begitu jari-jariku menyentuh lengannya, aku merasakan sentakan kejutan menjalari tubuhku dan aku dengan cepat menarik kembali jari-jariku.
Pak Campbell memelototiku.
"Jangan pernah mencoba menyentuhku lagi," katanya dingin, nadanya lebih dingin dari sebelumnya.
"Hormati dirimu. Aku adalah bosmu dan kita sedang ada di kantor.
“Sangat tidak profesional untuk menyentuh atasanmu. Kau memahamiku dengan jelas, Nona Hart?”
Merasa terguncang, aku mengangguk sambil menelan ludah.
"Ya, Pak, aku minta maaf."
Matanya menyipit sebelum dia bicara dengan nada perintah yang tegas.
"Kembali bekerja."