Leila Vy
LEILA
Aku bekerja lembur di ruangan yang nantinya akan menjadi kantorku, dengan cahaya remang-remang dari lampu kecil yang diletakkan di sudut mejaku.
Aku membuat banyak catatan saat membaca buku kedokteran manusia serigala.
Kadang-kadang aku menggosok dahi atau bagian belakang leherku karena kelelahan, tetapi aku bertekad untuk menyelesaikan proposal sebanyak 50 halaman yang harus kuserahkan sebagai syarat kelulusan.
Sekilas aku melirik ke cangkir kopi Wolverine yang sudah kosong.
Aku meletakkan pensilku dan berdiri untuk meregangkan badan, meredakan rasa sakit dari tubuhku. Setelah selesai, aku mengambil cangkir kopiku dan berjalan menuju ke dapur.
Rumah kawanan sekarang sunyi karena sudah larut malam, dan semua orang telah tertidur. Aku mengambil teko kopi dan menuangkan sisa kopinya ke cangkirku.
Setelah itu, aku beristirahat sejenak dan meregangkan kakiku sebentar. Aku berjalan menuju ke ruang rekreasi, dan melihat keluar jendela dalam keheningan malam.
Di luar benar-benar gelap. Satu-satunya cahaya pada malam hari ini adalah bintang dan bulan. Aku mendongak dan mengagumi betapa indahnya bulan. Dia memberiku kenyamanan.
Sambil menyeruput kopi, aku melihat ke tepi hutan, dan dengan mata manusia serigalaku, tak sengaja aku melihat Alpha Maximus sedang berubah wujud, benar-benar telanjang di depanku.
Aku menyadari bahwa tidak seharusnya aku melihat, tetapi dia berada tepat dalam jangkauan pandanganku dengan segala keagungannya.
Aku menarik napas dalam-dalam ketika melihat betapa kekar tubuhnya. Tubuhku merespons secara otomatis, dan serigalaku mendengkur saat melihatnya, dia sangat senang melihat laki-laki yang begitu sedap untuk dipandang berada dalam pandangan kami.
Alpha Maximus berdiri di bawah terang sinar bulan, dan bahkan dalam kegelapan, aku bisa melihat bentuk otot bahu dan bisepnya saat dia membungkuk untuk mengambil celana pendek dan mengenakannya.
Pipi pantatnya yang kencang menatap ke arahku, aku menelan ludah karena bentuknya yang sempurna. Tiba-tiba aku memiliki keinginan untuk tahu bagaimana rasanya menyentuh tubuhnya yang kekar.
Dia menarik celana pendek dan mataku mengikuti gerakan ke bagian tengah tubuhnya, aku melihat abdomen dan garis V yang mengarah ke kemaluannya.
Aku tidak bisa menghentikan air liur yang semakin banyak di mulutku, dan aku harus menggigit bibir untuk menghalangi pikiranku dari semua perasaan yang bergejolak di tubuhku.
Tanpa malu-malu aku masih menatap tubuhnya dan pandanganku beralih ke wajahnya. Aku melihatnya sedang menatapku.
Kengerian melintasi wajahku dan panas menjalar ke leher dan pipiku begitu cepat, aku yakin dia juga melihatnya. Aku langsung membalikkan badan dan menarik diri dari jendela.
Tentunya dia akan marah karena mendapatiku sedang menatapnya. Aku harus pergi sebelum dia sampai di rumah kawanan. Aku dengan cepat berjalan menuju ke bagian medis.
Aku menuju ke kantorku untuk melanjutkan proposal yang belum terselesaikan, tetapi serigalaku memberikan gambaran tealpha kami yang telanjang ke dalam pikiranku, aku mengeluarkan geraman frustrasi, membanting pensilku ke meja dengan kesal.
Aku membutuhkan pengalih perhatian.
Aku berdiri dan memutuskan untuk memeriksa bayi Ellen dan Charles.
Aku berjalan menuju ke kamar mereka dan perlahan membuka pintunya, melihat bahwa Charles sedang meringkuk dengan jodohnya, bayi mereka sedang tidur nyenyak di keranjang.
Aku menghela napas dan menutup pintu dengan perlahan sebelum kembali ke kantorku untuk menyelesaikan tugasku, sambil tetap membayangkan Alpha Maximus.
Aku tidak akan bisa melupakan apa yang kulihat dalam waktu dekat, jadi sebisa mungkin aku menikmatinya.
Aku menyeringai saat memikirkannya. Lagi pula, dia terlalu seksi untuk dilupakan.
Keesokan paginya, aku menguap dan menggosok mataku. Aku menatap diriku di cermin kamar mandi dan bisa kulihat muncul kantung mata, tanda kurang tidur.
Aku hanya tidur tidur beberapa jam. Kalau saja aku bisa tidur lagi. Namun, sepertinya aku tidak bisa melakukannya—mungkin karena kejadian semalam atau memang aku yang semakin tua.
Aku melakukan rutinitas pagiku dan memutuskan untuk tidak joging.
Aku mengenakan celana legging dan kaus besar, mengikat rambutku ke atas.
Ketika turun ke lantai bawah, aku mendapati ibuku sedang memasak di dapur. Ayahku sedang duduk di meja bersama Alpha Maximus yang sudah sarapan.
Aku mencium pipi ibuku dan mengambil piring untuk diriku sendiri, dan duduk jauh di ujung meja untuk menghindari Alpha Maximus.
"Lee, kenapa kamu duduk jauh di sana?" Ayahku mengerutkan kening.
Pipiku memerah, dan saat aku menatap ayahku dengan canggung, aku melihat tatapan tajam Alpha Maximus padaku.
Aku mengangkat bahu sebagai jawaban dan kembali menyantap panekuk, mencoba memakannya secepat mungkin agar bisa melarikan diri.
Untungnya, ayahku menghentikan pembicaraan, meskipun dia melirik aku sesekali dengan mengerutkan kening. Aku menghabiskan sarapanku dalam hitungan lima menit dan segera berdiri.
“Bu, Ayah, aku akan pergi ke kota. Aku akan kembali hari ini,” kataku sambil menaruh piring ke wastafel, dan dengan cepat naik menuju ke kamar tidurku untuk mengambil dompet, jaket, dan kunciku.
Aku segera mengambil dompet dan kunci di atas meja komputerku dan tak lupa juga jaketku.
Aku ingin segera keluar dari rumah, tidak ingin tahu apa yang akan dilakukan alpha kepadaku setelah kejadian semalam.
Rona merah di pipiku masih ada. Aku menyentuh pipiku dengan hati-hati.
"Pergi," gumamku pelan ke pipiku yang menghangat. "Berhenti memerah!"
Aku menggeram frustrasi sambil menunggu rona merah itu hilang. Aku menjatuhkan diri ke atas ranjang dan membenamkan wajahku ke selimut. Aku mendengar pintuku berderit terbuka.
"Bu, tolong tinggalkan aku sendiri," gumamku ke dalam selimut.
"Mulai sekarang, kau tidak boleh bergadang," kata Maximus dengan suara serak dan maskulin. Tubuhku menegang.
"Maksudmu?" Aku berbalik untuk menatapnya.
“Kau kembali ke dalam kawanan setelah sekian tahun dan berpikir bahwa kau dapat melakukan apa pun yang kau inginkan karena akan mendapatkan gelar sebagai dokter kawanan.
“Biarkan aku memberitahumu sesuatu, Thorn: segalanya tidak berubah—aku adalah alpha-mu dan aku menuntut rasa hormat. Kau tidak boleh menganggapku setara denganmu,” dia menggerutu.
Kelopak mataku berkedut. Benar-benar berkedut. Aku tahu bahwa aku tidak setara dengannya, tetapi aku tidak bermaksud untuk tidak menghormatinya.
"Terserah," gerutuku, dan mencoba berjalan melewatinya, tapi dia menarikku kembali dengan kasar ke depannya.
"Apa kau mendengarku? Aku bilang mulai sekarang kau jangan bergadang seperti kemarin lagi,” ujarnya marah.
"Siapa kau? Ayahku? Apakah kau selalu memberlakukan jam malam untuk setiap anggota kawananmu?” Aku tak tahu dari mana datangnya keberanian ini, tetapi aku menyukainya.
"Kau akan mematuhiku," katanya dengan nada rendah dan mengancam. "Aku akan menghukummu, dan jangan berpikir bahwa aku tidak akan berani melakukannya."
"Hukum aku dan aku akan keluar dari kawanan," aku mengancam kembali, dan akhirnya melihat tatapannya yang gelap dan marah.
"Kau pikir aku tidak bisa melakukannya?" Pembuluh darah di lehernya tampak berdenyut sekarang. Dia jelas berusaha menahan amarahnya.
Apa sebenarnya masalahnya? Dia marah karena aku melihatnya telanjang?