Galatea logo
Galatea logobyInkitt logo
Get Unlimited Access
Categories
Log in
  • Home
  • Categories
  • Log in
  • Get Unlimited Access
  • Support
Galatea Logo
Support
Werewolves
Mafia
Billionaires
Bully Romance
Slow Burn
Enemies to Lovers
Paranormal & Fantasy
Spicy
Dark
Sports
College
See All Categories
Rated 4.6 on the App Store
Terms of ServicePrivacyImprint
/images/icons/facebook.svg/images/icons/instagram.svg/images/icons/tiktok.svg
Cover image for Menyelamatkan Maximus

Menyelamatkan Maximus

Bab 6

LEILA

Orang tuaku selalu menjelaskan bahwa jodoh adalah sesuatu yang akan menyembuhkan jiwamu dari kesepian dan rasa sakit selama hidupmu, bagi manusia serigala.

Dewi bulan itu adil, tapi takdir kejam dengan caranya sendiri.

Dia memberi kami harapan untuk mencintai, tetapi butuh tekad untuk menemukannya, menemukan satu-satunya jodoh sejati kami.

Aku tak dapat membayangkan atau memahami rasa sakit yang harus dialami alpha kami. Aku pernah mendengar soal studi dan cerita tentang manusia serigala yang menemukan jodoh kedua, tetapi kecil kemungkinannya.

Sejujurnya, sebagian dari diriku berharap agar alpha kami menemukan jodoh kedua.

Tak ada yang pantas mengalami kesepian seumur hidup, bahkan jika mereka sedingin dia.

Hari-hari berlalu dan Alpha Maximus tidak terlihat di mana pun—setidaknya itulah yang aku rasakan, karena aku akan mencium baunya di ruangan yang pernah dia kunjungi beberapa saat sebelumnya, tetapi dia tidak terlihat di mana pun.

Sebagian dari diriku berharap untuk melihatnya, tetapi itu sia-sia, karena sekarang sepertinya dia menghindariku dengan cara apa pun, atau dia sangat membenciku sehingga tidak sudi melihat wajahku.

Hari sudah sore. Aku sedang duduk di area umum sambil menyeruput teh hijauku, memandang ke luar jendela.

Pepohonan mulai berubah warna, dan sekarang menjadi warna musim gugur yang indah. Aku suka waktu ini sepanjang tahun karena warnanya menyatu.

Aku melihat ayahku melatih manusia serigala muda di kaki bukit. Wajahnya tegas dan tanpa ekspresi saat dia meneriakkan perintah.

Aku tenggelam dalam pikiranku ketika ibuku duduk di sebelahku. Aku meliriknya sekilas.

"Kau tampak diam beberapa hari terakhir ini," ibuku mengamati. "Ada yang salah?"

"Tidak apa-apa, Bu," gumamku, dan berbalik.

"Apa kau yakin? Kau tampak sedikit kesal,” Ibu memaksa, dan aku mendengus. Aku tahu dia mengenalku dengan baik.

"Mengapa Alpha Maximus begitu dingin?" aku bertanya.

“Kau harus mengerti bahwa dia kehilangan jodohnya. Ayahmu memberitahuku bahwa alpha berubah sejak hari itu, ketika dia bergegas pulang dan melihat potongan tubuh jodohnya.

Mereka bahkan tidak bisa melakukan penguburan yang layak, karena tidak dapat menemukan kepalanya,” ibuku memulai. Aku bergidik membayangkan kebrutalan pembunuhan itu.

“Alpha Maximus adalah pria muda yang baik. Dia penuh perhatian, dan merawat kami dengan sangat baik. Aku percaya bahwa dia hanya kesepian, karena dia tidak pernah bisa menerima kehilangan jodohnya. Dia tidak pernah dibantu untuk melanjutkan kehidupannya, sehingga menjadi seperti sekarang ini.”

Ibuku menghela napas dan menepuk pahaku. “Jangan terlalu khawatir—dia mungkin terlihat seperti orang jahat, tetapi dia berhati baik. Aku ingat ketika dia masih kecil. Dia selalu tersenyum dan ceria. Dia mencuri kue lemonku dan memakan semua saat aku membuatnya.”

Aku tersenyum memikirkan hal itu, tetapi merasa sulit membayangkannya menjadi orang seperti yang diceritakan oleh ibuku, penampilannya begitu dingin.

Seorang pria yang tidak memiliki emosi—matanya tumpul dan mati emosi saat menatapku.

Meskipun Alpha Maximus sangat menawan, dia bukanlah seseorang yang ingin kuhadapi.

Setelah mengatakan hal itu dalam hati, serigalaku membalas; dia tahu aku berbohong. Aku ingin mengenalnya lebih jauh.

Dia seperti potongan teka-teki yang ingin kupecahkan, tapi bagaimana aku bisa memecahkannya sedangkan dia tidak terlihat di mana pun? Serigalaku juga mendengus kesal.

Malam harinya, aku sedang duduk di kantorku dan membaca buku tentang sejarah manusia serigala.

Buku yang merinci sejarah tentang bagaimana manusia serigala muncul—nenek moyang pertama kami, dan penemuan jodoh dan ikatan mereka.

Semuanya ditulis dalam kumpulan jurnal tentang sejarah masa lalu; kami tidak memiliki alasan ilmiah mengapa sesuatu terjadi, kami hanya mencatat semua yang terjadi di dalam kawanan kami untuk masa depan dan keturunan kami.

Semuanya ditulis dalam buku karena diturunkan dari generasi ke generasi. Berkaitan dengan aliansi, vampir, penyihir, dan jodoh.

1788, Mei—Alpha Jerome Darke, usia 27, memimpin kawanan Bulan Perak selama enam tahun ketika dia menemukan jodohnya, Selena, peringkat omega, kawanan Bulan Perak.
Tidak puas dengan perjodohan dewi bulan, dia mengusir jodohnya.
Setelah pengusiran, Alpha Jerome menjadi gelisah. Serigalanya tidak senang dengan keputusannya. Dia menginginkan jodohnya yang ditawarkan dewi bulan kepadanya, untuk mencintai dengan apa adanya.
Jerome tidak menyadari hal ini, dan telah membuang satu-satunya kesempatan sejatinya untuk bahagia.
Kawanannya sudah kesulitan selama bertahun-tahun. Jerome mengalami delusi, menjadi dingin, dan marah kepada dunia. Serigalanya patah hati dan menjadi lemah karena jauh dari jodohnya.
Akhirnya, pada tahun 1792, musim semi, Jerome berangkat mencari jodohnya. Dia mengunjungi banyak kawanan tetangga serta aliansi—

Aku merinding membaca artikel ini. Menurut pendapatku, Alpha Jerome seperti orang yang bodoh saja.

Dia tidak pantas menjadi jodoh Selena. Status maupun jabatan bukan hal yang penting dalam cinta, dan ya, aku seorang yang romantis dalam hatiku.

Aku percaya kepada cinta sejati. Aku merasa jengkel atas artikel ini, dan tidak berniat untuk membaca lebih jauh, aku membolak-balik beberapa halaman lagi dan terus membaca.

Setelah beberapa jam membaca artikel, aku menguap karena kantuk dan meregangkan tubuh sambil melirik jam. Sudah lewat pukul dua pagi.

Aku meluruskan tank top putih dan menarik celanaku ke pinggul, sebelum menutup buku dan menjejalkan buku catatanku ke dalam tas.

Aku melepas kacamata bacaku dan meletakkannya di atas meja, lalu berdiri dan mematikan lampu ruanganku, setelah keluar dari kantor, aku bersiap-siap untuk tidur. Aku menutup pintu kantorku dan memastikan terkunci.

Saat akan berbalik menuju ke lorong, aku melihat pintu ruang penyimpanan sedikit terbuka.

Aku masih ingat untuk menutupnya saat terakhir kali melakukan inventarisasi. Aku menuju ke ruang penyimpanan dengan hati-hati sambil melihat sekeliling. Ruangan itu kosong.

Aku mengerutkan kening dan menyalakan lampu untuk melihat dengan teliti, setelah kuperhatikan, ada beberapa jarum suntik dan obat penenang telah hilang dari rak. Aku heran, siapa yang membutuhkan obat penenang?

Aku memeriksa seluruh ruangan untuk mengecek apakah aku salah menaruhnya, dan sampai pada kesimpulan bahwa seseorang pasti telah mengambil jarum suntik, lalu aku mematikan lampu dan menutup pintu, menuju ke kamar tidurku.

Saat berjalan menaiki tangga dan menuruni lorong sempit dan gelap menuju kamar tidurku, aku mendengar suara langkah pelan dari lantai atas di mana alpha sedang tidur, dan mendengus, lalu aku masuk ke dalam kamar tidurku dan menjatuhkan badan ke ranjang yang lembut, membiarkan tubuhku untuk tertidur lelap.

Hal terakhir yang ada di benakku adalah "apa yang dia lakukan sampai larut malam begini?"

Keesokan paginya, aku bangun lebih awal. Sudah cukup pagi, tapi belum ada seorang pun yang bangun. Aku segera mandi dan menggosok gigi.

Aku menyanggul rambutku dan mengambil celana olahraga dan kaus putih untuk kukenakan. Aku meraih iPod, memasang penyuara telinga, dan berjingkat turun ke dapur.

Hari ini, aku akan membuat kue lemon yang terkenal ala ibuku.

Aku bangun lebih awal sehingga Maximus tidak akan bisa menghindariku. Aku tak tahu mengapa, tapi aku bertekad menghadapinya.

Sebagian dari diriku bertanya, “Mengapa aku melakukan ini? Bukankah seharusnya aku senang dia mengabaikanku?” Namun, aku tetap merasa jengkel kepadanya!

Bagaimanapun juga, pria ini tidak akan lepas dari genggamanku hari ini. Aku bahkan bangun lebih pagi untuk membuatkannya kue lemon. Lebih baik dia menyadari tawaran perdamaianku.

Aku sedang menyenandungkan lagu dari daftar putarku dan menggoyangkan kepala, sampai aku merasakan seseorang menatapku dari belakang. Aku menoleh untuk melihat siapa itu, ternyata Alpha Maximus.

Matanya menatapku tajam dengan emosi yang tak bisa kujelaskan, dia menatapku dan matanya menjadi tanpa ekspresi lagi.

Aku memutar mataku saat dia berjalan ke meja makan untuk membaca kertas yang terletak di atas meja.

Aku meliriknya beberapa kali dan melihat ketegangan di bahunya, dan ketika aku membuka oven, rasanya seolah-olah ada yang menatapku, tetapi ketika aku melihat Alpha Maximus, ternyata dia sedang menatap kertas di atas meja.

Aku mulai berpikir aku mulai gila karena membutuhkannya memberiku bentuk emosi apa pun.

Ketika kueku sudah matang, aku mengeluarkannya dari oven, aroma kuenya sangat harum. Aroma jeruk dan manis. Aku menunggu beberapa menit sebelum memotongnya.

"Aku sudah lama tidak melihatmu," aku memulai percakapan.

Dia tidak menjawabku. Dia benar-benar tidak sopan. Aku ingin memukul wajahnya yang tampan, dan pada saat yang sama, aku ingin menatapnya selamanya.

Aku merasa sedikit bipolar sekarang, tapi tak apa-apa, karena dia berada di depanku. Aku meletakkan kue di piring dan berjalan menuju ke meja.

"Apakah kau ingin mencobanya?" Aku bertanya dengan harapan.

"Tidak," gumamnya.

Aku benar-benar jengkel, karena aku bangun lebih awal hari ini dan hanya tidur selama dua jam. Sekarang aku benar-benar ingin memukul wajahnya yang menawan.

Astaga, kenapa dia harus terlihat begitu tampan hari ini, mengenakan kaus putih polos dan celana jins gelap?

Rambutnya yang pirang acak-acakan, dan aku ingin mengelusnya untuk melihat apakah benar-benar selembut seperti yang terlihat.

Baik.

Jika dia tidak mau mencoba kuenya, aku akan makan di depannya. Aku berjalan menuju kursi di seberangnya. Aku duduk dan mengambil sepotong kue.

Terasa lembut dan lembap. Mulutku berair melihatnya.

Aku menjilat bibirku dan hendak memakan kuenya. Saat kue itu ada dalam mulutku, rasa jeruk manisnya meledak, dan aku mengerang senang.

"Apa yang sedang kau lakukan?" Dia memelototiku.

"Makan," jawabku polos, dan menjilat remah-remah di bibirku. Matanya menjadi lebih gelap dan dia menatap bibirku.

Tanpa sadar aku menjilat bibir lagi dan menggeliat di kursiku, dia menatap seolah itu adalah hal yang paling menarik di dunia.

Suasana terasa canggung.

Tatapannya akhirnya beralih dari bibirku dan kembali ke mataku, muncul emosi lagi di matanya—sebelum dia berkedip dan emosinya hilang.

"Kau tidak perlu menjilat bibirmu saat makan," bentaknya, dan kejengkelanku bertambah. Aku memelototinya.

“Aku bisa memakannya sesukaku,” aku balas membentak, dan menggigit kue lagi hanya untuk membuatnya kesal, melawan keinginan untuk memejamkan mata dan menikmati rasa kuenya. Aku kembali menatapnya dan lagi-lagi dia membalas tatapanku.

"Apakah kau yakin tidak menginginkannya?" Aku menyeringai saat memamerkan kueku yang telah tergigit di depan wajahnya.

"Tidak," dia menggeram.

"Oke, kau yang rugi," kataku senang, dan memakannya. Lalu aku berdiri dengan sepotong kue dan berjalan di belakangnya.

Aku membungkuk sehingga wajahku tepat berada di sebelahnya.

“Lezat, lembap, manis, dan rasa jeruk. Saat menyentuh mulutmu, kuenya akan membuat mulutmu semakin berair.”

Apa yang dia lakukan selanjutnya benar-benar tidak terduga.

Continue to the next chapter of Menyelamatkan Maximus

Discover Galatea

Jalan Menuju SteelTidak Semua Hal TentangmuRatu LycanPemahaman yang MenyimpangPara Penunggang Tyr

Newest Publications

Serigala MileniumMerasa DibakarAkhir PerjalananAsisten Sang Miliarder TeknologiBerahi Tak Terkendali