Kakak Tiriku adalah Manusia Beruang - Book cover

Kakak Tiriku adalah Manusia Beruang

Kelly Lord

Seks untuk Sarapan

HELEN

Pintu itu ditempati oleh apa yang hanya bisa aku gambarkan sebagai fantasi berjalan setiap wanita.

Pria tinggi, berkulit gelap, dan tampan sedang menatapku seolah aku adalah kue ulang tahun yang belum dia makan selama berhari-hari. Mata abu-abunya yang lapar menari-nari di sekujur tubuhku, mengamatiku yang berpakaian minim.

Aku menyilangkan tangan di depan dada, tapi tatapannya yang membara seperti penglihatan sinar-X. Aku merasa telanjang di hadapannya.

Dan mungkin bagian terkecil dari diriku memang ingin telanjang…

Helen! Kendalikan dirimu!

Aku terdiam saat dia menghampiriku. Dia sangat tinggi, tubuhnya yang kecokelatan dan berotot keluar dari celana piama tipis yang menggantung di pinggulnya.

"Apakah kau Sam?" Aku bertanya dengan bodoh, tersandung lidahku sendiri.

Dia mengangguk. "Kau pasti Helen," katanya, mulut di antara tulang pipinya yang sempurna terbelah menjadi seringai berkilau.

Aku mengangguk. “Ya…

Aku terbata-bata. Kecerdasanku mundur menjadi seperti wanita gua sialan.

Dia melambat di depanku. Di bawah kaus tipis, aku merasakan putingku menunjuk ke arahnya.

Kenapa aku tidak memakai bra?!

Aku mundur ke meja granit saat dia mendekat ke arahku, kontak mata kami tidak pernah terputus. Aku terjepit oleh perutnya yang sekeras batu.

Inti tubuhku secara naluriah menegang…

SIAL. Bagaimana bisa dia membuatku basah tanpa menyentuhku?

Setidaknya, dia tidak menyentuhku…BELUM.

HELEN!!!

Aku menguatkan diri saat tangannya bergerak mendekat…semakin mendekat…

Apa yang dia lakukan?

Kulitnya menyerempet kulitku…

Ya Tuhan!

Aku membutuhkan selang pemadam kebakaran yang penuh dengan air suci untuk membersihkan diriku.

"'Permisi,” katanya sambil membuka lemari es. Dia mengeluarkan sekotak susu. “Mau sereal?”

Baiklah, aku lapar.

Untuk buah terlarang.

“Aku…eh…”

“Selamat pagiiiii!” Suara ibu bernyanyi di dapur. Sam dan aku berbalik saat orang tua kami berjalan melewati pintu.

Tiba-tiba, keheningan itu pecah.

Aku tidak percaya kalau sudah terangsang oleh KAKAK TIRIKU!

Aku melirik ke arah Sam. Tentu, dia seksi—tapi jelas aku tidak bisa bercinta dengannya.

Itu benar-benar perbuatan yang salah.

Mungkin, aku masih sedikit mabuk dari malam sebelumnya.

Jelas aku tidak berpikir jernih.

Aku menghindar darinya saat Ibu dan Jack meletakkan beberapa stoples madu di meja dapur.

"Akhirnya kalian berdua bertemu," kata Ibu sambil tersenyum saat dia melihat ke antara Sam dan aku. Aku mengangguk pelan, berharap dia tidak menyadari rona merah yang mewarnai pipiku.

Sama seperti aku tak mengerti fisika kuantum, aku juga tak mengerti bagaimana bisa Ibu tak pengar sepertiku.

"Ya, kami sudah bertemu," kata Sam. Aku menghindari matanya, tapi aku bisa mendengar seringai dalam suaranya.

"Kalian ingin sarapan?" tanya Jack, menatap telur dan daging asap yang kuambil dari lemari es. "Aku bisa makan rusa."

"Tidak lapar!" teriakku saat bergegas keluar pintu dengan pipi merah, "aku akan pergi berpakaian!"

Aku berlari ke atas menuju kamar secepat mungkin.

Mandi akan meluruskan pikiranku.

Seharusnya begitu.

***

Pernikahan diadakan di halaman belakang sekitar tengah hari.

Yah, terlalu meremehkan kalau dibilang halaman belakang.

Jack rupanya memiliki tanah beberapa hektare di sini, jadi halaman belakang rumahnya lebih seperti hutan pribadinya. Hari itu adalah hari hangat di pegunungan, dan bahkan aku harus mengakui bahwa hutan belantara memiliki pesona tertentu.

Namun, itu akan jauh lebih menawan tanpa serangga.

Aku menggerakkan tangan ke kiri dan ke kanan untuk menepuk serangga sialan itu.

Kami semua berdiri di gazebo kayu yang mewah—aku di sisi Ibu, dan Sam di sisi Jack. Aku mengenakan gaun kuning bagus yang kupinjam dari Emma. Kain itu menempel di lekuk tubuhku seperti bungkus plastik merek Saran, tapi sahabatku bersikeras bahwa pakaian ini lebih cocok untukku daripada untuk dia.

Terserah kau, gadis.

Ibu mengenakan gaun malam sederhana, sementara kedua pria itu mengenakan kemeja kotak-kotak bersih yang diselipkan ke dalam celana jins terbaik mereka.

Hanya ada beberapa tamu lain. Joe Erling, sahabat Jack, yang meresmikan upacara tersebut. Dia ditemani oleh istrinya, Nina, dan putranya, Luke, seorang pria berusia dua puluhan yang hampir setampan Sam…

Maksudku, TIDAK tampan!

Ibu tidak pernah punya banyak teman, tapi tetap saja, kenyataan bahwa aku adalah satu-satunya orang di sini untuknya terasa agak aneh. Kami tidak sendirian di dunia ini. Kami memang punya kerabat—walaupun kebanyakan dari mereka sangat menyebalkan.

Aku bisa menghargai keinginan Ibu yang menginginkan pernikahan intim. Dia adalah orang yang tertutup.

Aku memiliki impian di mana Emma dan aku akan menjalani pernikahan bersama dengan model kembar Calvin Klein, tetapi aku menyadari pernikahan seperti itu bukan untuk semua orang.

“…Saya sekarang meresmikan kalian sebagai Tuan dan Nyonya Jack Larsen. Pengantin pria dipersilakan mencium pengantin wanita.”

Aku berbalik untuk melihat Jack memberikan ciuman mesra di bibir Ibu. Salah satu kaki Ibu melesat ke belakang ke udara, seakan berada di film kuno.

Kami semua bertepuk tangan, lalu pandanganku kabur karena air mata.

Senang rasanya melihat Ibu begitu bahagia.

Meskipun memang itu artinya aku akan menghabiskan lebih banyak waktu di Bear Creek.

Aku menyeka air mata dan menepuk lengan, membunuh lalat hitam lainnya.

Bear Creek sialan.

"Satu hal lagi sebelum kita minum-minum," kata Sam, melompat di depan orang tua kami. Dia memberi Luke kedipan nakal, lalu Luke berlari dari gazebo. Para orang tua di sana tampak bingung.

Ada kejutan apa dari Sam?

Dia menarik perhatianku, memberi kedipan juga.

Mengapa pria ini bersikap seperti tertarik kepadaku? Apakah dia menyadari betapa menjijikkannya kalau kita saling menyukai?

Mungkin tidak ada banyak pilihan wanita untuk dijadikan pasangan di sini, tapi itu tidak berarti dia harus melewati batas sampai melakukan inses.

Luke kembali, membawa sebuah perabot kayu yang besar. Ia meletakkannya di depan tangga gazebo. Sam tersenyum berseri-seri kepada orang tua kami.

“Aku membuatkan kursi cinta untuk memperingati hari istimewa kalian,” katanya dengan bangga, “Elena, terima kasih telah datang ke kehidupan kami dan menjadikan ayahku beruang paling bahagia di Man Creek…maksudku—”

Namun, kelakuannya sudah membuat semua orang tertawa. Sial, aku bahkan tersenyum—terlepas dari kenyataan bahwa dia membuatku terlihat seperti tidak berguna karena tidak memberikan apa pun untuk Ibu dan Jack.

Kursi cinta yang dia buat benar-benar menakjubkan: diukir dengan desain rumit yang mengingatkan aku akan seni rakyat Skandinavia yang pernah aku lihat di salah satu buku teks sejarah seni.

Aneh. Mungkin keterampilan keluarga Larsen?

Dengan wajah memerah karena malu, Sam melanjutkan, “Pokoknya, aku menghargai kalian yang bertahan dengan adanya orang lain beberapa bulan terakhir ini, dan aku berjanji tidak akan terlalu lama tinggal di sini sebelum mencari tempat sendiri. Kalian sepasang kekasih layak untuk mendapatkan tempat sendiri.”

"Oh, diamlah," Jack tertawa, memeluk putranya dengan erat. "Kau bisa tetap tinggal di sini selama yang kau suka, dasar penipu kecil."

"Kami menyayangimu, Sam," kata Ibu sambil menangis, ikut berpelukan. "Hadiah yang luar biasa."

Aku melihat mereka bertiga bersama. Mungkin Sam tidak seaneh yang aku duga…

“Jangan berpikir untuk tidak ikut berpelukan, Dik,” katanya sambil menyeringai kepadaku melewati kepala orang tua kami. "Pelukan keluarga."

Sambil menghela napas, aku berjalan mendekat untuk ikut berpelukan. Sam menarikku ke dalam lingkaran yang ketat, dan untuk sesaat, aku senang menjadi bagian dari keluarga baru yang aneh ini.

Lalu, aku merasakan ada sentuhan tangan yang meluncur ke pantatku.

Aku tidak perlu menebak tangan siapa itu.

***

Semua orang membaur setelah upacara untuk menikmati barbekyu. Mengenal teman-teman baru ibuku tidak terlalu buruk.

Ternyata warga Bear Creek cukup banyak minum seperti anak kuliah, jadi setidaknya kami memiliki kesamaan.

Aku menghabiskan sebagian besar waktuku di sore hari di teras dengan vodka dan minuman soda di tangan sambil mengobrol bersama Ibu dan Nina, yang sangat baik. Mereka langsung berteman sejak Ibu pindah dan telah menghabiskan banyak waktu bersama. Bukan hanya Jack dan Joe yang bersahabat, tapi Sam dan Luke juga.

Orang-orang menghabiskan sebagian besar waktu mereka di sore hari dengan bermain bola dan menenggak bir.

Sesekali, aku memergoki Sam menatapku dengan nafsu sama seperti yang dia tunjukkan di dapur pagi ini. Aku terus berusaha untuk mengabaikannya.

Sepertinya berahi dia sedang naik.

Saat matahari mulai terbenam, aku kehabisan Smirnoff. Aku banyak minum tanpa sadar jauh lebih cepat dari yang diharapkan.

"Mau bir, sayang?" Ibu bertanya sambil berbaring di kursi geladak. Dia melambai ke pendingin terbuka di dekatnya.

"Aku tidak minum bir, Bu," desahku, “itu membuatku kembung.”

“Oh, sayang, tidak usah sungkan. Kau luar biasa cantik,” Nina bersikeras. Dia berbaring di kursi sebelah Ibu. "Kau bisa makan dan minum apa pun yang kau mau."

“Aku ingin minuman soda dan vodka lagi,” jawabku, "dan sepertinya kau juga menginginkannya."

"Benar," Nina tertawa sambil melepas kacamata hitamnya yang terlalu besar untuk menyerap sinar matahari terakhir.

"Aku akan segera kembali," kataku kepada mereka, lalu berjalan ke rumah untuk mengambil botol Smirnoff terakhir dari bagasiku. Mungkin aku menghabiskan bekalku terlalu cepat, tapi Ibu hanya menikah sekali.

Eh… dua kali.

Sial. Apakah aku minum terlalu banyak?

Aku mendengar suara para pria yang berasal dari jalan masuk. Mereka pergi untuk merokok beberapa waktu yang lalu, dan aku tidak ingin mengganggu mereka. Lagi pula, aku benci baunya.

Sambil mabuk, aku memutuskan untuk menguping apa yang mereka bicarakan. Mungkin Sam memberi tahu mereka semua tentang rasa cintanya yang tidak terlalu rahasia kepadaku.

Cabul!

Pria cabul yang seksi…

HELEN!!!

"...Aku dengar Tove mengacau di dewan," terdengar suara Joe. Dari sudut pandangku di sudut rumah, aku melihat asap mengepul di udara. "Dia tidak terlalu senang dengan lebih banyak orang luar yang datang ke sini."

"Yah, aku juga anggota dewan," jawab Jack dengan kasar, "dan kurasa suaraku sudah sama lantangnya dengan dia."

Dewan? Apa yang mereka bicarakan? Apakah "orang luar" yang mereka maksud adalah ibuku?

Aku?

"Jangan melakukan sesuatu yang gila," desak Joe, “dia punya anggota lain di pihaknya.”

“Aku sedang jatuh cinta, Joe. Kau tidak bisa mengharapkanku untuk tidak bertindak sedikit gila.”

"Jack—"

Tiba-tiba, ada suara di belakangku.

“Hei, Dik.”

Jack dan Joe terdiam, lalu aku merasakan tangan yang berat di pundakku.

“Hei, Sam.”

“Kau sedang menguping mereka?” Kakak tiriku membalikkan tubuhku untuk menghadapnya.

Suhu tubuhku naik karena sentuhannya. Dia menatapku, mengisap cerutunya dengan bibir yang rapat. Aku tidak bisa membaca wajahnya.

Apakah dia kesal karena aku menguping?

Apakah ada sesuatu yang seharusnya tidak aku dengar?

Kenapa dia menatapku seperti itu?

Luke muncul di belakang Sam, melempar bola ke atas dan ke bawah dengan satu tangan. Jack dan Joe datang dari jalan masuk.

Aku melihat sekeliling pada ekspresi diam mereka. Semua mata tertuju kepadaku.

Sial!

Apa yang sudah kulakukan?

Yang aku inginkan tadi hanyalah vodka!

Next chapter
Diberi nilai 4.4 dari 5 di App Store
82.5K Ratings
Galatea logo

Unlimited books, immersive experiences.

Galatea FacebookGalatea InstagramGalatea TikTok