Tania Shava
Talia
Melelahkan sekali hari ini di sekolah. Segera setelah Talia melepas tas selempangnya dan meletakkannya di tempat tidurnya, dia langsung tertidur.
Dia terbangun oleh dering telepon dan menjawabnya dengan gelagapan. "Halo?"
“Talia, kau tidak bisa dipercaya, tahu?”
Segera saja, dia tahu yang di ujung telepon adalah sahabatnya, Mia.
"Kau tidak lupa tentang acara malam ini, kan?" kata Mia.
“Oh sial!” dia bergumam. Talia sungguh lupa bahwa hari ini seharusnya mereka bekerja sebagai pelayan di suatu acara.
"Sebaiknya kau ganti baju, Talia, aku akan menjemputmu 30 menit lagi." Kemudian dia menutup telepon. Dia menyadari bahwa dia telah tidur selama empat jam dan sekarang sudah pukul 19.30 malam.
Dia dengan cepat melompat dari ranjang dan mandi sebentar. Talia mengenakan seragam yang diberikan kepada mereka untuk acara tersebut.
Dia mengikat rambut hitamnya dan memandang cermin untuk melihat mata hijau kebiruan miliknya. Dia memakai sedikit riasan dan siap pergi.
Talia mendengar Mia membunyikan klakson di luar dan dengan cepat berlari ke arahnya. “Talia!” dia memekik. “Mantap, bukan? Kita akan melayani orang kaya malam ini!”
Talia hanya bisa tertawa.
Ketika mereka tiba, dia melihat tempat itu sangat besar, di sepanjang pintu tertulis ‘Empress’.
“Wah,” gumamnya, dan Mia juga punya ekspresi wajah takjub yang sama.
"Memang wah, Talia."
Mereka keluar mobil secepat-cepatnya dan segera masuk ke dalam. Tempat itu sangat besar, dengan lampu gantung, karpet merah, meja, dan lantai dansa.
Talia melapor kepada wanita berusia pertengahan 40-an. Wanita ini tampak anggun dan mulai membagi tugas-tugas dan mempersiapkan mereka untuk melayani para tamu.
Setelah selesai, mereka disuruh berdiri di samping agar para tamu bisa masuk.
Setelah 20 menit, tempat itu penuh sesak dengan para tamu. Semua tampak flamboyan.
Sangat capek dan melelahkan berlarian ke sana kemari memenuhi permintaan yang tidak ada habisnya dari orang-orang ini.
"Talia," dia mendengar bosnya memanggilnya, "ini." Dia mendorong nampan ke tangan Talia. "Pergi ke meja itu dan letakkan gelas ini di depan seorang pria bernama Axel."
Talia mengambil nampannya dan pergi ke meja dengan sekitar 16 orang duduk mengelilinginya. Mereka tampak yang paling kaya dari semua tamu, sejauh ini. Dia mengamati meja sampai melihat nama Axel.
Semua orang terlibat percakapan yang mendalam saat Talia meletakkan gelas di sebelah Axel. Ketika dia hendak beranjak, seorang wanita menjerit, mengundang perhatian semua orang.
"Serius? Tidak bisakah kau bawa seluruh botol sialan itu.”
Talia belum pernah semerah ini dalam hidupnya, dia memutuskan untuk segera meminta maaf. "Maaf, Nyonya," dia tergagap. Sebelum bisa berkata apa-apa lagi, dia berlari untuk mengambil sebotol chardonnay.
Dia segera kembali dengan sebotoh chardonnay, berharap mereka tidak menyadarinya.
Ketika dia kembali dan melihat bahwa wanita itu tidak ada di tempat duduknya, dia membaca labelnya dan melihat namanya adalah Sophie. Talia lega karena bisa segera meletakkan botol di atas meja dan pergi.
Talia meletakkan sebotol chardonnay yang dibawanya di atas meja dan ketika hendak pergi, dia mendengar suara menggelegar, sedikit terperanjat karenanya.
"Kau pikir mau pergi ke mana?"
Sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangannya, menariknya mendekat.
“Um....saya.. harus...pergi...melayani meja-meja yang lain, Tuan,” dia tergagap.
"Namun, apakah aku sudah mengizinkanmu pergi?" Matanya menyala-nyala, dan suaranya rendah tapi tegas.
Pada saat itu, Talia sangat lega ketika melihat teman kencan si pria ini mendekat. Teman kencan si pria ini sudah kembali dan pria ini membiarkan Talia pergi. Saat itu juga, Talia pergi.
Namun, ketika pergi, Talia bisa merasakan mata pria ini menatapnya dari belakang.