
Kesalahan Indah
Setelah teman-teman Kyla membujuknya untuk bangkit kembali dari mantan pacarnya yang telah berselingkuh dengan cara cinta satu malam, kini dia yakin bisa menghapus cinta dan nafsu sesaat dari pikirannya untuk selamanya. Sekarang dia bisa fokus pada kariernya sebagai asisten pemasaran. Namun, tanpa dia sadari, orang asing berwajah tampan yang baru mengguncang dunianya ternyata bos barunya sendiri. Kyla memutuskan untuk menjaga hubungan mereka tetap profesional, tetapi bos miliardernya tidak mudah menyerah...
Janji
RINGKASAN
Kebanyakan wanita pada umumnya akan mengutamakan cinta, karier kedua. Namun, aku bukan kebanyakan wanita. Di usia 26 tahun, aku adalah asisten pemasaran termuda di perusahaan kami dan aku tidak akan membiarkan semua perjuangan keras untuk bisa mencapai posisi itu terbuang begitu saja hanya karena hari jadi.
Jangan salah paham, aku mencintai Alden. Dan aku merasa tidak enak sudah mengacaukan rencana kami. Namun, aku tahu jika dia benar-benar mencintaiku, dia akan mengerti.
Aku hanya bisa mengejek dan menggelengkan kepala. Coleen, teman-temanku, mereka tidak akan pernah mengerti. Seks? Cinta? Mereka bukan prioritasku. Ada yang salah dengan itu?
Dan sebagai wanita karier yang menginginkan stabilitas, itulah yang aku butuhkan!
Jadi, mengapa di malam hari ketika Alden memberiku seks oral...aku hampir tidak merasakan apa-apa? Mengapa ketika dia memasukkan batang kemaluannya ke dalam diriku berulang-ulang, aku malah memikirkan laporan peringkat konsumen?
Tidak penting. Aku berjanji kepada diriku sendiri bahwa malam ini, untuk sekali ini saja, aku akan membuktikan kepada Alden dan diriku sendiri bahwa hubungan kami penting. Aku akan memberinya seks terbaik dalam hidupnya.
Alden sangat berharga.
Tadinya kupikir begitu.
Setelah membaca pesan dari Alden berulang-ulang dan menyadari betapa berartinya hari jadi ini untuknya, aku berhasil meyakinkan bosku, Tn. Leach, untuk mengizinkan aku pulang lebih awal. Aku sempat berpikir untuk memberi tahu Alden kalau aku sedang dalam perjalanan pulang.
Namun, untuk apa memberitahunya kalau aku bisa memberikan dia kejutan?
Dalam perjalanan pulang, aku bertemu dengan sahabatku, Coleen, dan mampir di sebuah toko pakaian dalam. Dia membantuku memilih celana dalam paling seksi di toko itu. Bahan renda hitam dan transparan di bagian yang tepat.
Aku sudah tidak sabar melihat ekspresi wajah Alden saat aku melucuti rok pensilku. Dia akan sangat terkejut.
Di kasir, karyawan toko mulai membungkus celana dalam itu dan dimasukkan ke kantung belanja, tetapi aku menggelengkan kepala. “Tidak perlu.”
Dia mengangkat alis sembari menyeringai, dan menyerahkan celana dalamnya apa adanya.
Aku mengucapkan selamat tinggal kepada Coleen dan naik bus yang hampir kosong, kemudian melepas celana dalam biasa yang aku kenakan dan mengenakan celana dalam seksi ini. Aku bisa saja melakukannya di ruang ganti, tetapi rasanya kurang seru.
Turun dari bus, aku langsung melompat ke dalam lift, merasa kegirangan. Meskipun aku lelah bekerja dan habis bertengkar dengan Tn. Leach seharian, aku seperti kedatangan semangat baru.
Tiba-tiba aku merasa pusing dan nakal, membayangkan semua hal yang akan kulakukan kepada pria yang kucintai.
Ketika pintu lift akhirnya terbuka, aku bergegas menuju pintu kami, tidak sengaja air liurku menetes karena memikirkan dia.
Aku memutar kunci, membuka pintu, dan tersenyum paling seksi, senyum jahatku.
“Kejutan, sayang!” seruku.
Namun, ternyata akulah yang mendapat kejutan. Karena saat aku melangkah ke kamar tidur kami, aku menemukan pria yang kucintai, pria yang telah menghabiskan tiga tahun bersamaku, pria yang akhirnya kujadikan prioritas, sedang telanjang bulat dengan wanita lain.
Aku berdiri, membeku, menatap, menolak untuk memercayai apa yang aku lihat. Ini tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin terjadi kepadaku. Ini pasti salah satu adegan dalam film, bukan pengkhianatan kejam di kehidupan nyata.
"Sayang," dia tergagap. “Ya Tuhan, aku pikir—kamu tidak seharusnya…”
"Bedebah,” bisikku.
Aku terdiam. Hampir tidak bisa bernapas. Wanita lain itu, sedang menungganginya dengan posisi koboi, berbalik melihat ke arahku, terkejut.
"Kamu," kataku, naik pitam.
Sekarang, rasa kagetku berubah menjadi amarah memuncak. Tanganku gemetar. Gigiku gemertak. Rasanya mataku bisa copot sebentar lagi.
"Kyla, ini bukan—" mulainya dengan gugup.
"Keluar, dasar pelacur," kataku dengan dingin.
"Sayang," kata Alden, sembari memakai celana boksernya dan berdiri, mendekatiku. “Kita bisa melalui ini. Kamu dan aku, kita berharga—”
"Jangan mendekat."
Dia berhenti. Aku tidak pernah merasa sekesal ini sepanjang hidupku. Rasanya seperti ada kuasa lain yang mengambil alih diriku sepenuhnya, dan yang bisa kulakukan hanyalah berdiri terdiam dan menonton, sembari tak berdaya.
"Mallory, dia tidak berarti apa-apa," kata Alden. “Dia yang mendatangiku. Kami tadi hanya berbicara sambil minum kopi, dan kemudian...satu hal mengarah ke yang lain...dan..."
Aku berkedip. Mendengar nama perempuan jalang itu kembali menyulut emosiku. Aku kemudian mengangkat satu kaki dan melepas salah satu sepatu hak tinggiku. Alden mengerutkan keningnya.
"Apa yang kamu—?"
Lalu aku melemparkannya sekeras mungkin ke wajahnya. Sayangnya meleset, menabrak lampu, dan jatuh ke lantai.
"Ya Tuhan, Kyla!" katanya sambil mundur selangkah.
Kecewa karena meleset, aku dengan pelan mengangkat kakiku yang lain, melepas sepatu hak tinggi yang satu lagi.
“Hei, tunggu dulu.”
Kali ini, aku tepat sasaran. Sepatuku mengenai wajah Alden. Dia membungkuk kesakitan sambil memegangi hidungnya.
“Ahh! Sialan!"
"Alden, dengarkan aku," kataku. "Waktumu satu hari."
“Satu hari apa?” katanya dengan suara sayu, tangannya masih menutupi hidungnya yang luka.
"Untuk mengumpulkan semua barangmu dan keluar dari apartemen ini."
Matanya melebar, sambil menurunkan tangannya. Dia kemudian maju selangkah.
"Tolong, Kyla," katanya sambil menangis. “Jangan terburu-buru mengambil keputusan sebelum kita menyesal—”
Dan sekarang, bagian luar yang dingin dan tenang yang entah bagaimana berhasil aku pertahankan sampai sekarang, mulai retak. Kenyataan ini membuatku seperti dilempar sepatu tepat di wajah. Tiga tahun sia-sia. Dengan bajingan ini.
"Menyesal?!" Aku tersedak. "MENYESAL?! Kamu ingin menceramahiku soal PENYESALAN?!”
"Kyla," dia masih mencoba.
"Tidak. Kamu tidak boleh bicara lagi. Kamu tidak usah bawa-bawa tentang penyesalan. Atau cinta. Kamu sudah merusaknya. Kita. Semuanya. Hanya ada satu penyesalan yang layak disebutkan. Aku menyesal pernah mencintaimu.”
Lututnya lantas tampak lemas. Bibirnya bergetar. Dia akhirnya mengerti: ini adalah akhir hubungan kita.
"Satu hari," aku terengah-engah, kehabisan napas.
Kemudian, aku berbalik dan berjalan keluar, telanjang kaki, ke mobilku. Setelah sampai dan check in ke hotel satu jam kemudian dan duduk di tempat tidur yang asing, air mataku mulai menetes.
Aku tidak tahu berapa lama aku menangis, tetapi ketika selesai, aku berjanji kepada diri sendiri. Aku tidak akan pernah mencintai lagi. Mulai saat ini, karierlah yang akan aku dahulukan. Tidak ada satu pun orang yang dapat merenggut kekuatanku lagi.
Namun, seperti yang aku pelajari nantinya, itulah masalahnya janji.
Tidak ada yang pernah menepatinya.
TIGA BULAN KEMUDIAN…
Tak kusangka aku akan pergi kencan. Ya, tiga bulan adalah waktu yang lama untuk tidak berhubungan seks. Namun, saat aku memakai sepatu wedges Marc Jacobs ini, yang bisa kupikirkan hanyalah sepatu hak tinggi yang kulempar ke wajah Alden.
Yang membuatku teringat dia dan Mallory di ranjang itu. Yang membuatku memutar ulang kejadian di malam menjijikkan itu lagi.
Ya Tuhan, bagaimana aku bisa menghapus kenangan buruk ini? Aku telah memaksakan diriku untuk fokus pada pekerjaan, memusatkan seluruh energiku pada klien kami, dan melakukan semua yang aku bisa untuk mengalihkan perhatianku. Namun, tetap saja, tiga bulan kemudian, aku masih tersiksa.
Namun, aku sudah di sini, didandani, siap pergi ke bar asing untuk berhubungan seks dengan orang asing.
Sejak kapan cinta satu malam dapat memperbaiki keadaan apa pun?
Namun, ketika malam berlanjut, aku sadar, rencana lain sudah menungguku.














































