
Beberapa hari kemudian, aku membawa koperku ke kantor, siap untuk naik pesawat dan pergi ke Italia bersama Scott.
Kami akan melakukan pemeriksaan langsung di Delilah Estate di Tuscany, dan kami akan ditemani oleh Manajer Eksekutif Imperial Findings—perusahaan yang bertanggung jawab untuk mendapatkan bahan-bahan mewah yang digunakan di sebagian besar hotel kami.
Manajer Eksekutif-nya adalah Calvin Walters, dan meskipun aku belum pernah bertemu langsung dengannya, kami sudah cukup sering bertukar email selama beberapa bulan terakhir agar aku bisa mengenalnya lebih dekat.
"Kau sudah datang," kata Scott dari belakang mejaku, saat aku mendorong koperku hingga berhenti. Dia duduk di kursiku.
Aku memeriksa jam tanganku. “Ini bahkan belum pukul tujuh. Aku datang terlalu awal. Di mana barang-barangmu? Dan apa yang kau lakukan di—?”
“Aku tidak bisa ikut dalam perjalanan ini. Kau akan mengambil alih tugasku, kau akan menjadi mata dan telingaku.”
“Apa maksudmu, kau tidak bisa datang? Ini adalah kunjungan terakhir sebelum pemesanan dilakukan, sebelum kita melakukan perekrutan tambahan!”
Scott menatapku. "Menurutmu siapa yang sedang kau ingatkan di sini?"
Saat itulah aku melihat kerutan di pipinya yang biasanya dicukur bersih, dan matanya yang merah. "Maaf," kataku. "Apakah semuanya baik-baik saja?" Aku mendorong koperku ke dinding dan duduk di kursi tamu.
"Semuanya baik-baik saja."
“Scott, aku tahu aku hanya karyawan barumu yang kontroversial, tapi kau bisa memberitahuku, kau tahu, jika ada yang salah. Aku senang bila harus membenahi masalah, tapi aku benar-benar tidak suka mengerjakannya tanpa tahu apa-apa…”
"Rosaline," dia mendesah. Rosaline, tunangannya. Tunangannya yang tengah hamil.
"Apakah dia baik-baik saja?" tanyaku sambil mencondongkan tubuh ke depan. Kekhawatiranku adalah hal yang tulus. Meskipun aku belum pernah bertemu Rosaline, dari semua yang kuketahui tentangnya, dia tampak seperti orang yang luar biasa. Dia mungkin berasal dari dunia penuh keistimewaan yang sama dengan Scott, dan mungkin dia pernah mengikuti satu atau dua kontes kecantikan, tapi dia bukan hanya sekadar wanita berambut pirang bodoh dengan dompet Chanel.
Scott menghela napas lagi. "Kupikir begitu. Dokter mengatakan semuanya tampak normal, bahwa kami tidak perlu khawatir…”
"Tapi…?"
"Jangan gila, Scott."
"Dan jika kau butuh sesuatu, punya pertanyaan—aku tidak peduli betapa bodohnya pertanyaanmu—hubungi aku."
Dia melirikku, alisnya setengah terangkat seperti mengharapkanku untuk lebih banyak melawannya. Atau mungkin dia mengharapkan dirinya untuk sedikit ragu sebelum menyerahkan kendali sepenuhnya kepadaku.
"Sungguh?" tanyanya.
"Aku bisa melakukannya sendiri. Aku serius."
"Baiklah." Dia mengangguk, berdiri. “Terima kasih, Jessica.”
“Sudahlah.”
“Oh, dan Calvin sudah di luar. Dia menunggu di mobil. Kalian berdua terbang dengan pesawat jet Michaels.”
Aku mengangguk. "Baiklah," kataku, melihat Scott berjalan keluar dari kantorku.
"Selamat bersenang-senang! Namun, jangan terlalu banyak," ucapnya dari balik bahunya.
Aku makan Oreo untuk makan malam tadi malam, dan sekarang aku terbang dengan pesawat jet pribadi ke Tuscany. Terkadang, hidup tidak begitu buruk.
"Kau belum mengatakan sepatah kata pun."
Calvin Walters tersenyum kepadaku dari sisi lain limosin. Karena mobil kota normal, atau bahkan Range Rover, akan terlalu biasa untuknya. Aku mendongak dari buku agendaku di pangkuanku.
"Maaf. Ada banyak hal yang kupikirkan.”
“Katakan saja.”
Aku menatapnya. Dia adalah Manajer Eksekutif perusahaan material hotel terbesar di Inggris, dan usianya tidak terlihat lebih dari 30 tahun. Dia memiliki rambut hitam yang tajam dan mata biru kristal, dan dia memiliki kepercayaan diri yang akan melelehkan hati gadis mana pun.
Namun, ada sesuatu tentangnya yang membuatku…curiga.
“Aku belum pernah ke Tuscany. Sebenarnya aku belum pernah ke Italia sama sekali. Dan sekarang, aku akan melihat properti dan menyarankan dengan tepat apa yang dibutuhkannya. Ini sedikit membingungkan,” kataku, mungkin terlalu jujur. Calvin meluncur di kursi sampai dia berada di sampingku.
“Jangan khawatir, cantik, ada aku di sisimu. Dan aku cukup baik dalam pekerjaanku.”
"Benarkah?"
Dia tersenyum, senyum paling percaya diri yang pernah kulihat. “Kau tidak tahu seberapa hebatnya aku. Sekarang, ayolah. Mari kita rayakan,” katanya, membuka pintu kulkas mini yang tersembunyi dan mengeluarkan sebotol sampanye.
"Ini bahkan belum pukul setengah tujuh pagi!"
"Hei! Bukankah kau ingin mengenal orang Italia? Beginilah caramu mengenal orang Italia,” katanya sambil membuka sumbatnya seperti seorang profesional. Aku melihat uap keluar dari botol dan tidak bisa menahan tawa saat dia menuangkan segelas untukku.
"Bersulang untuk Tuscany," katanya, mendentingkan gelasnya ke gelasku.
"Untuk Tuscany," jawabku, mendekatkan gelas itu ke bibirku. Cairan itu membakar tenggorokanku dengan cara yang paling menyenangkan, dan saat aku menyesap lagi, aku sudah bisa merasakan gelembung-gelembung itu bergerak ke kepalaku.
"Jadi, katakan kepadaku, Jessica, apa yang kau lakukan untuk bersenang-senang?"
"Untuk bersenang-senang?"
"Mm," gumamnya, matanya terkunci pada mataku.
Tiba-tiba aku merasa sedikit sesak. Aku duduk lebih tegak, menarik rok pensilku lebih jauh ke bawah kakiku, dan berdeham.
“Kurasa kita benar-benar harus fokus pada rencana bisnis,” kataku, mengetuk buku agenda yang masih terbuka di pangkuanku. “Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan kepadamu, mengingat keahlianmu, sehingga begitu kita sampai di sana, kita sudah memiliki rencana serangan yang jelas.”
"Rencana serangan?" dia tertawa.
Aku mengangguk. “Aku ingin mendapat informasi sebanyak mungkin, Calvin. Dimulai dengan kamar-kamar eksklusif dan kamar dengan dua tempat tidur. Aku ingin setiap kamar di properti ini dirancang sepenuhnya pada saat kita kembali pulang pada hari Senin.”
"Kau sangat ambisius."
"Banyak yang sudah berkata begitu."
Aku memberinya anggukan cepat. "Bagus. Sempurna."
“Kau ingin mulai sekarang?”
"Mulai sekarang?" Aku mengulanginya seperti orang bodoh—tapi aku bingung, dan sampanye itu langsung masuk ke kepalaku.
Dia tertawa kecil, menepuk lututku. “Kau benar-benar luar biasa. Ya, mulai sekarang. Aku bisa memberimu ikhtisar tentang bagaimana aku biasanya menilai kamar, jadi ketika kita sampai di sana, kau takkan terlalu kebingungan.”
"Benar. Tentu."
"Mari kita mulai dengan tempat tidur," katanya, menatap tepat ke arahku. “Ketika aku memasuki kamar tidur, tidak peduli jenis kamar tidur apa itu, aku selalu melihat tempat tidurnya terlebih dahulu. Tempat tidur menceritakan kisahnya. Apa kau setuju?"
“Oke, ya. Kurasa itu masuk akal…"
“Itu masuk akal. Anggaplah seperti ini: tidak peduli apakah kau pergi ke kamar untuk beristirahat, tidur, atau bercinta, kau ada di sana untuk tidur. Itu saja, masalah selesai.”
Aku menatapnya, mencoba menyembunyikan keterkejutanku atas kelancangannya. Aku tidak ingin dia berpikir bahwa aku wanita sensitif—aku bukan wanita yang sensitif—tapi aku juga tidak ingin dia terus bicara tentang bercinta.
“Kau sudah menegaskan maksudmu, Calvin. Tempat tidur adalah tandanya. Jadi, apa selanjutnya?"
Dia mengangkat alisnya kepadaku. “Jadi, selanjutnya, cantik, kau harus membuat tempat tidurnya menonjol. Ini tanggung jawabmu. Tempat tidur adalah puting dari ruangan, dan kau harus memusatkan semua perhatian padanya. Dan bertentangan dengan kepercayaan populer, ukuran itu memang faktor penting,” katanya sambil mengedipkan mata.
"Jadi, maksudmu, semakin besar semakin baik?" tanyaku dengan polos. Aku akan mengalahkan pengusaha sombong ini dengan permainannya sendiri.
"Yah, itu tergantung," katanya, beringsut lebih dekat ke arahku. “Pada ukuran ruangan, seberapa berantakannya perlengkapan lainnya… kau tidak ingin ruangan terasa terlalu penuh, karena itu membuat tamu merasa… dikucilkan.”
“Benar, dan kita tidak bisa membiarkan tamu merasa dikucilkan di kamar mereka sendiri.”
“Sekarang kau mengerti. Jadi, kita akan memilih tempat tidur yang paling menawan, tapi juga yang paling mengundang. Bukan hanya puting kamar—sekarang, puting tamu juga.”
Aku hendak melontarkan ucapan selamat untuknya karena telah menggunakan kata puting beberapa kali dalam satu kalimat, tapi tepat di saat itu, limosin berhenti. Sopir menurunkan panel pemisah. "Pak Walters, kita sudah di landasan.”
“Jet sudah siap?” tanya Calvin.
"Mereka sudah memberiku izin," jawab pengemudi itu.
“Sempurna. Mari?" dia bertanya kepadaku, dan aku mengangguk, menutup agendaku.
Saat aku turun dari limosin dan melangkah ke landasan, rasanya bagaikan salah satu momen yang terjadi sekali seumur hidup yang tidak akan pernah kulupakan. Karena di sanalah aku berdiri, di sebelah limosin panjang, dan beberapa meter dariku, sebuah pesawat jet pribadi. Sang pengemudi memasukkan barang bawaanku ke dalam pesawat.
“Cantik, apa kamu ikut? Apa kau ingin difoto atau semacamnya?” Calvin terkekeh. Dia sudah mulai berjalan menuju pesawat jet dan berjalan mundur sekarang, mentertawakan ekspresiku yang tercengang.
Aku menarik napas dalam-dalam.
"Aku datang. Jangan mengejekku begitu,” jawabku setelah menutup jarak dan melangkah melewatinya, mulai menaiki tangga menuju pesawat jet. Aku merasakan gelombang kebanggaan membengkak dalam diriku. Aku telah menanganinya, dan aku berjalan menaiki tangga tanpa tersandung.
Aku berada di pesawat jet pertamaku!
Dan sungguh indah!
Interiornya berwarna krem dengan panel emas, dan pramugari menyambutku dengan senyuman paling ramah yang pernah kulihat. “Selamat pagi, Nona Turner. Duduklah di kursi mana pun yang kau inginkan. ”
Saat aku berbelok ke kabin, pikiranku terguncang. Semua sempurna. Terlalu sempurna. Aku tidak pantas mendapatkannya. Semuanya terlalu mewah—tapi kemudian napasku tercekat di tenggorokan, dan rasa geli menjalari setiap sel di tubuhku.
Pandanganku yang berbunga-bunga menghilang.
Matanya tertutup, dan dia mengenakan sweater putih kulit telur. Berbahan kasmir. Celana jins gelapnya tampak modis, begitu pula dengan rambutnya yang acak-acakan dan seringai malas di wajahnya.
“Bagaimana…bagaimana kau—?”
"Apa, kau benar-benar berpikir adikku akan mengirimmu dalam perjalanan seperti ini sendirian saja?" tanyanya, seringainya berubah menjadi senyuman. “Ayo, ambil tempat duduk.” Dia menepuk kursi di sebelahnya.
Aku mendengar langkah kaki Calvin menaiki tangga di belakangku, tapi aku membeku. Pikiranku berputar lebih cepat sekarang—jauh lebih cepat. Aku tidak hanya akan melakukan perjalanan terpenting dalam karier profesionalku, tetapi aku akan pergi ke Italia dengan dua pria.
"Cantik, kenapa diam?" Calvin bertanya dari belakangku. Dia mendorongku ke depan, sampai aku berjarak satu lengan dari Spencer.
Aku memejamkan mataku sebentar saja. Akhir pekan di Tuscany. Itu tidak terlalu buruk.
Namun, kemudian Spencer meraih tanganku dan menarikku ke kursi di sampingnya. "Biar kutebak, kau belum pernah ke Tuscany," bisiknya di telingaku.