
"Keily," Lucas, yang duduk tepat di sebelahku, berbisik.
Setelah ini, hanya satu kelas yang tersisa sebelum sekolah berakhir.
Ini adalah hari kelimaku, dan aku sudah mendapatkan beberapa teman baik, salah satunya adalah Lucas.
Menjadi kerabat Addison telah memainkan peran besar dalam pergaulanku, karena dalam hidupku, aku tidak pernah berharap akan berteman dengan kelompok siswa yang begitu populer.
Meskipun aku duduk dengan anak-anak populer, aku masih tidak kebal terhadap tatapan menghakimi; nyatanya bersama mereka membuatku lebih disorot.
Aku tidak ingin berada di tengah orang banyak yang saling melirik atau mencibir, menunjuk ke arahku, dan beberapa orang yang bersama Lucas dan Addison cenderung seperti itu.
Aku mendongak, dan mataku tanpa sadar mengarah ke James, yang duduk di sisi lain Lucas. Matanya yang menyipit sudah ditujukan kepadaku, ketidaksenangan akan keberadaanku terlihat jelas.
Tidak dapat menerima intensitas tatapannya, aku melihat ke bawah, kembali ke catatanku. Aku tahu siapa yang dimaksud dengan “kami”, pasti termasuk James.
Dia dan Lucas selalu nongkrong bersama, dan itu membuatku bingung, bagaimana mungkin orang baik seperti Lucas bisa berteman baik dengan sosok keturunan Setan seperti James?
Lucas selalu mencoba melibatkanku dalam percakapan mereka, tetapi hinaan James yang diutarakannya begitu saja membuatku menutup diri.
Terakhir kali, Lucas meminta bantuanku untuk menyelesaikan masalah dari tugas yang harus kami kerjakan, yang sudah kuselesaikan di rumah.
Namun, saat aku mengambil penaku, aku menjadi sangat sadar dengan tatapan James pada kami—saat dia dengan santai bersandar di meja tepat di depanku—dan setiap pemikiran yang jelas menghilang dari pikiranku, membuatku menatap kertas itu dengan hampa.
Aku ingin membalas dan mengatakan kepadanya bahwa dialah yang bodoh karena babi sebenarnya adalah hewan peliharaan yang paling cerdas.
Namun, itu tidak akan membuat segalanya lebih baik; dia akan balas dengan penghinaan yang lebih kejam. Namun, Lucas, pria yang hebat, membelaku, tetapi kerusakan yang diakibatkannya sudah menetap dalam diriku.
Aku harus menggigit bibirku untuk menahan tawa. Aku tidak pernah menyangka gelandang terkenal sekolah kami bisa cemberut seperti anak kecil dan terlihat sangat imut.
Aku mulai mencoret-coret catatan itu ketika bel berbunyi. Lucas berdiri di sampingku begitu Pak Penson pergi. "Kalian harus datang," katanya, ibu jarinya memainkan tali ranselnya.
“Aku tidak yakin.” Aku selesai mengemasi barang-barangku dan menutup ritsleting tas. Aku berdiri dan menoleh ke arah Lucas. "Addison ada latihan sepulang sekolah, dan aku akan berada di perpustakaan untuk mengerjakan tugas bahasa Inggris-ku."
“Jika Addison tidak bisa datang, maka setidaknya kau harus datang. Yang datang bukan hanya kami, para cowok-cowok, tapi Lola dan Sadhvi juga akan datang.”
"Bagaimana dengan tugasku?" Aku melakukan upaya penolakan pasif lainnya.
“Ini baru awal tahun ajaran baru; jangan terlalu sibuk belajar. Kau masih punya banyak waktu untuk mengerjakan tugasmu. Untuk saat ini, kau harus menikmati tahun terakhirmu di SMA.” Lucas begitu persuasif.
“Jadi, kau akan datang. Benar?" Dia menatapku dengan penuh semangat.
"Oke." Aku mengalah di bawah matanya yang besar.
"Kau harus ada di tempat parkir sepulang sekolah." Dia tersenyum saat aku mengangguk.
"Piggy," panggil James, berdiri dari tempat duduknya, "bukankah kau ada kelas komputer? Atau menggoda Lucas lebih penting?"
Wajahku tertunduk karena tuduhan itu, dan rona merah yang kuat menutupi pipiku. Lucas memelototinya.
“Jangan buang napasmu. Dia tidak akan pernah menyukai gadis sepertimu,” dia menyelesaikan ucapannya dengan nada monoton.
Sepertinya James sedang dalam misi untuk menghancurkan semua hal baik dalam hidupku, termasuk persahabatanku dengan Lucas.
Aku telah diingatkan berkali-kali olehnya bahwa aku tidak cukup baik untuk temannya, meski sebenarnya aku tidak tertarik.
Aku tidak pernah menyalahartikan kebaikan Lucas sebagai sesuatu yang lebih dari persahabatan.
“Aku tidak keberatan bersama Keily. Dia cantik, pintar, dan yang terpenting, bukan bajingan sosok berengsek. Bahkan, aku akan merasa sangat beruntung jika dia mau berkencan denganku.”
Aku menatap James dan tampak tersentak pada tatapan tajam yang diberikannya kepada Lucas. Seolah-olah dia tahu aku sedang menatapnya, dia menoleh ke arahku, seringai jahat menghiasi wajahnya.
"Jangan harap aku akan menarikmu keluar saat kau terlindas di bawah sapi," dia menggeram, matanya menatap tubuhku dengan hina.
"Sialan, James!" teriak Lucas, menarik perhatian orang lain yang masih berada di dalam kelas. “Kau bertindak terlalu jauh—”
Aku mendengar Lucas memanggilku dari belakang, tetapi aku terlalu rentan untuk menghadapinya sekarang dan mempertahankan langkahku sampai aku mencapai lab komputer.
Aku duduk di komputer yang ditugaskan kepadaku dan mengambil napas dalam-dalam. Tangan dan kakiku terasa gemetar, dan pandanganku sedikit kabur, memperingatkan akan air mata yang akan keluar.
Ada saatnya ketika kau tidak bisa mengabaikannya, dan kata-kata itu mulai menempel denganmu, menggerogoti harga dirimu. Dan sekarang, setiap penghinaannya mulai menempel padaku.
Cara dia merendahkanku di depan Lucas... Itu terlalu berlebihan.
Aku menarik napas panjang, menatap langit-langit untuk menghentikan air mata yang jatuh. Aku tidak akan kehilangan kendali di tengah lab sekolah dengan orang lain di sekitar.
Aku mendengar kursi di sampingku bergerak dan tubuh besar merosot di atasnya dengan malas. Aku tidak menatapnya, menolak mengakui kehadirannya, dan menatap ke depan.
"Setidaknya nyalakan komputer, jika kau berencana memelototinya." Nada suaranya santai seolah-olah beberapa menit terakhir tidak terjadi.
Pipiku memerah ketika aku menyadari bahwa aku sedang menatap layar kosong.
Segera, aku menekan tombol daya dan menyalakan komputer bodoh untuk menghindari mempermalukan diriku lebih jauh, karena James menyukainya.
Aku merasakan matanya menatapku, seperti biasa, mencoba menjepitku ke dalam kekacauan yang berkeringat dan gelisah. Namun, saat ini aku terlalu marah untuk memberinya kepuasan melihatku sadar diri seperti hari-hari lainnya.
Tiba-tiba, kulitku terasa geli, dan aku tahu tatapannya menjadi lebih tajam ribuan kali lipat, hampir membuatku menggeliat. Sepertinya dia terganggu karena tidak mendapat reaksi dariku.
“Sepertinya Piggy-ku marah kepadaku,” katanya, dan aku sudah bisa membayangkan seringai bodoh di wajahnya yang bodoh.
“Harus kuakui, aku suka melihatmu merona begitu. Warna merah muda cocok untukmu, semakin menegaskan teoriku bahwa kau memang benar-benar babi.”
Wajahku semakin memerah. Ya Tuhan, aku ingin meraih kepalanya dan membenturkannya ke layar di depannya. Namun aku malah mengeluarkan buku catatan dari tasku, berpura-pura dia tidak ada di sana.
"Kau mengabaikan aku, ya?" James cemberut,"
Dan aku memang mengabaikannya seolah-olah dia tidak pernah ada. Anehnya, dia memutuskan untuk melakukan hal sama denganku. Beberapa menit kemudian, guru kami datang dan memulai pelajaran tentang desain web.
Suasana hatiku yang buruk disingkirkan untuk sementara waktu, saat aku mendengarkan penjelasannya dengan penuh perhatian. Aku sudah berpengalaman dalam tag HTML yang dijelaskannya.
Aku telah bekerja dengan ayahku berkali-kali, membantunya merancang dan mengembangkan situs web untuk kliennya. Itu kulakukan untuk menghabiskan waktu dan meringankan beban kerjanya.
Bu Green sedang membahas dasar-dasar tingkat pemula, dan itu membuatku sedikit bangga dengan fakta bahwa aku sudah jauh lebih maju dalam topik ini.
Ketika pelajaran hanya tersisa 15 menit, dia memberi kami proyek kecil untuk mendesain tabel. Aku menulis kodeku dalam dua menit.
Aku berpikir untuk menambahkan warna ke teks dan baris untuk memanfaatkan waktu, tetapi memutuskan untuk tidak melakukannya, karena Bu Green belum memulai perintah penataan CSS, dan lebih baik tidak berlagak sok pintar di depan orang yang menilai laporan serta hasil ujianmu.
"Sial!" Kutukan samar datang dari sisiku, mengingatkanku bahwa musuh bebuyutanku masih ada di sini. Ketiadaan tatapannya dan fokusku pada kelas kami hampir membuatku melupakannya.
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak meliriknya sekilas. Dia memelototi layar komputernya, bibirnya mengerucut dalam konsentrasi saat matanya bergerak ke atas dan ke bawah monitor.
Aku menoleh ke arah monitornya dan diam-diam membaca kodenya. Dia tidak menulis tag penutup pada setiap entri baris, dia telah menggunakan tag data sederhana untuk judul, dan tidak menulis tag rentang di tempat yang benar.
Dalam hati, aku mentertawakan kesalahannya. Sebelum dia bisa memergokiku melirik ke arahnya, aku berbalik, menggigit pipiku untuk menghentikan seringai licik.
"Kau harus berusaha lebih keras, James." Bu Green mengerutkan kening, melihat ke monitor James. Ketika hanya tersisa lima menit, dia sudah mulai pergi ke tempat duduk semua orang.
"Pelajari buku teksmu di rumah." James hanya mengangguk dengan cemberut.
“Kerja bagus, Keily,” dia memuji saat sampai di tempatku, melihat halaman web dan kode notepad, kedua tab diletakkan berdampingan.
"Terima kasih." Aku tersenyum, menikmati penghinaan kecil yang dialami James dan merasakan tatapan kematiannya.
Bu Green pindah untuk melihat pekerjaan orang lain. Tak lama kemudian, bel berbunyi dan sekolah akhirnya berakhir. Aku segera mengambil tasku dan bergegas keluar pintu, tidak ingin bertemu lagi dengan James.
Setelah mengunci barang-barangku di loker, aku menghela napas dan menyandarkan kepalaku ke loker. Aku tidak ingin pergi ke kedai es krim dengan yang lain.
Energiku terkuras setelah seluruh tragedi di pelajaran kalkulus, dan aku tidak ingin menghadapi James lagi. Aku juga tidak ingin melihat Lucas setelah semua hal yang dikatakannya.
Dia mungkin mengatakan semua itu untuk memancing James, tetapi kata-katanya telah meninggalkan kesan yang lebih besar padaku daripada yang kuinginkan.
Aku mengerang, pelipisku berdenyut-denyut. Aku hanya ingin pulang dan tidur untuk melupakannya.
Aku tidak tahu apakah Lucas masih berencana menungguku di tempat parkir. Aku memutuskan untuk mengirim SMS kepadanya untuk memberitahunya bahwa aku tidak akan datang, lalu aku pergi ke perpustakaan dan duduk di sana sampai Addison siap untuk pulang.
Aku mengeluarkan ponselku dari tas dan mulai berjalan menuju perpustakaan, menggulir nama Lucas di ponselku secara bersamaan.
Tiba-tiba, aku terseret ke belakang, hampir terpeleset di lantai yang keras. Bunyi cicit memalukan keluar dari mulutku.
"Kau mau ke mana, Piggy?" James memegang tali tas ranselku. Dia mencondongkan tubuh lebih dekat, napasnya membelai telingaku. "Tempat parkirnya ke arah sana."