Galatea logo
Galatea logobyInkitt logo
Get Unlimited Access
Categories
Log in
  • Home
  • Categories
  • Log in
  • Get Unlimited Access
  • Support
Galatea Logo
Support
Werewolves
Mafia
Billionaires
Bully Romance
Slow Burn
Enemies to Lovers
Paranormal & Fantasy
Spicy
Dark
Sports
College
See All Categories
Rated 4.6 on the App Store
Terms of ServicePrivacyImprint
/images/icons/facebook.svg/images/icons/instagram.svg/images/icons/tiktok.svg
Cover image for Kakak Tiriku adalah Manusia Beruang

Kakak Tiriku adalah Manusia Beruang

Panggilan Alam

HELEN

Mataku perlahan terbuka. Kelopak mataku masih berat karena masih mengantuk, tapi mayat pun tidak bisa mati dengan tenang dalam cahaya sialan ini.

Di mana aku?

Saat nilon di sekelilingku terlihat jelas, aku mulai sadar.

Aku menghabiskan malam di tenda. Berkemah. Untuk pertama kalinya.

Aku sendirian di hutan.

Berduaan dengan Sam.

Yang mengejutkan, kayak tiriku yang misterius tidak menyentuhku sama sekali.

Mungkin Ibu benar. Mungkin aku bisa memercayainya.

MUNGKIN.

Terlalu meremehkan kalau bilang aku ketakutan karena tidur di sebelahnya. Pria itu tampak seakan ingin bercinta denganku sejak dia melihatku.

Namun, setelah dia mendirikan tenda, membuat api unggun, dan mulai memasak hot dog yang dia bawakan untuk kami…

Sejujurnya, dia tidak seburuk itu.

Pembohong itu telah membawa ganja bersamanya (ditanam sendiri oleh seorang “teman” katanya—ya terserah kau saja, pecandu ganja).

Kami berbagi makanan dan menatap bintang-bintang, duduk di dekat perapian untuk menghangatkan diri saat malam mendingin.

Ketika waktu tidur tiba, aku tidak suka tidur di lantai, jadi Sam membiarkanku menggunakan kasur tiup yang dia kemas untuk dirinya sendiri.

Dia membawakan dua kantong tidur untuk kami, jadi aku tidak perlu khawatir dengan apa pun di tengah malam. Bahkan, dia tidur di sisi seberang tenda supaya aku merasa lebih nyaman.

Sam telah tertidur lebih dulu. Aku berbaring terjaga untuk sementara waktu. Wajahnya terlihat begitu damai dan tenang saat dia tidak menggodaku atau menatap terlalu intens.

Ternyata dia pria sejati…

Jika kau melupakan kenyataan bahwa bajingan itu telah menipuku untuk berkemah.

"Kalau aku tidak berbohong, kau tidak akan pernah mencobanya," katanya kepadaku semalam.

Yah... dia benar kali ini.

Aku duduk di dalam kantong tidur, menggosok mata di bawah sinar matahari pagi. Pasti ini masih pagi sekali.

Di mana bajingan itu?

Tasnya sudah diisi dan diletakkan di sudut tenda.

GRRRRRRRRR…
Astaga!
Apa-apaan itu?

Aku mendengar langkah kaki yang besar.

Ada seekor binatang ada di luar tenda, dan suaranya terdengar besar. Seperti serigala—atau beruang.

Mungkin itu beruang grizzly dari beberapa hari yang lalu, dan dia kembali untuk menghabisiku.

Sam, dasar anjing! Di mana kau?!

Aku memeluk tas erat-erat sambil gemetar. Jantungku berdebar-debar begitu kencang.

TOLONG!

Aku berusaha keras untuk menahan diri agar tidak berteriak.

Langkah kaki itu pun perlahan menghilang, lalu aku mendengar ranting-ranting bergoyang dan patah dari arah yang sepertinya arah jalan setapak.

Detak jantungku melambat, lalu aku melihat ke luar jendela tenda.

Aku sudah aman.

Jadi, seperti inilah berkemah…

Ya. Masih bukan untukku.~

Dengan hati-hati, aku membuka ritsleting penutup tenda dan melangkah keluar.

Serius, di mana Sam?

Aku bisa saja menjadi santapan sarapan beruang!

“Sam?” aku mendesis. “Saaaaaam?”

“Di sini, Dik!” suaranya yang angkuh menggelegar dari pepohonan.

Ah. Dasar berengsek!

Sam muncul dari hutan dengan rambut berantakan—atau lebih tepatnya, sangat berantakan—. Bukan berarti aku akan terlihat jauh lebih baik setelah tidur dengan pakaianku.

Dia mengancingkan ritsleting celana jinsnya seolah itu bukan masalah besar. Aku mengalihkan pandangan.

“Apa-apaan?! Kau sedang buang air kecil?”

"Panggilan alam," katanya tanpa basa-basi.

Menjijikkan!

Aku berbalik saat dia berjongkok di dekat sisa-sisa api unggun semalam. Dia menyalakan korek api untuk menyalakan api lagi.

Apakah dia tidak pernah mendengar tentang pemantik api? Kami juga memanaskan mangkuk dengan korek api semalam.

Aneh.

“Apa yang akan kita makan untuk sarapan?” tanyaku.

"Kau hampir menginjaknya," katanya, tanpa berbalik dari nyala api kecil yang dia buat.

Ketika melihat ke bawah, aku hampir melompat ke pohon.

Ada dua kelinci mati, tepat di dekat kakiku!

"Apa-apaan ini, Sam!"

Bajingan itu tertawa.

“Aku bangun pagi untuk memasang jebakan. Tidak ada sarapan yang lebih baik dari daging kelinci.”

Aku mengerutkan kening. “Aku lebih suka Pop-Tart.”

"Kau benar-benar orang rumahan, ya?"

"Setidaknya aku tidak liar."

Aku berbicara dengan ragu. "Omong-omong..."

Setelah melihat Sam buang air kecil, aku teringat belum buang air kecil sejak meninggalkan rumah kemarin. Aku sudah menahannya begitu lama hingga mulai terasa sakit.

"Eh... apakah ada toilet wanita di sini?"

“Itulah hebatnya alam bebas. Dunia adalah toiletmu, dan tisu toilet tumbuh dari pohon.”

Aku mengerang. “Ayo, Sam! Tolong aku. Tidak semua orang eksibisionis.”

“Dengar, jika mencari toilet modern, kau kurang beruntung. Namun, kau bisa pergi ke sana di pepohonan, ” ucapnya sambil menunjuk ke jalan setapak, “hati-hati dengan tanaman merambat beracun. Itu tanaman kecil dengan tiga daun. Terkadang, tanaman itu memiliki rona kemerahan.”

"Baiklah," kataku sambil mencoba menyembunyikan ketakutan bahwa aku mungkin akan segera menyeka pantat dengan tanaman beracun. Aku berjalan menuju hutan. "Jangan berani mengintip!"

***

Setelah sarapan—yang tidak terlalu buruk ketika aku mencoba melupakan dari mana asalnya—Sam memadamkan api sementara aku mencoba membongkar tenda.

Setelah 20 menit, aku masih berjuang melepas tiang tenda. Sayangnya, pria besar itu datang untuk menyelamatkanku.

Dia ingin mendaki ke Danau Forest. Cuacanya masih bagus, dan dia pikir itu waktu yang bagus untuk berenang.

Kau tidak akan bisa melihatku di danau tua yang kotor. Aku bahkan tidak punya baju renang.

Sam mungkin hanya ingin melihat bra dan celana dalamku.

Kakak tiriku jelas-jelas berpikiran satu arah.

Jalan setapak menuju danau sangat curam, dan aku terengah-engah seperti babi yang menderita asma. Sebagai aturan, aku benci olahraga kardio. Aku belum pernah bertemu gadis dengan tubuh berisi yang menyukainya.

Tanah terasa longgar di bawah kaki. Jika aku tidak hati-hati, tanah yang kuinjak bisa saja longsor sewaktu-waktu, lalu aku akan jatuh sampai ke pantai di bawah.

Aku terpeleset di atas batu yang lepas, lalu Sam meraih pinggangku sebelum aku jatuh.

"Terima kasih," aku mengatur napas.

Mungkinkah aku kurang fit secara fisik?

Sam melepaskan tangannya perlahan.

"Kau baik-baik saja?"

Aku akan jauh lebih baik jika kau tidak pernah menyentuhku sejak awal, pikirku.
Namun, jika tidak aku mungkin juga sudah mati.

Setelah satu jam mendaki gunung, akhirnya kami sampai di pantai.

Danau itu sangat besar dan indah, terbentang di antara dua puncak Gunung Rocky yang bersalju.

Pantainya terpencil, tetapi aku melihat dermaga kecil menjorok keluar dari pantai seberang. Bahkan, aku melihat beberapa perahu sedang berlayar di atas air.

Ada sebuah komunitas besar di sini…

Aneh.

Bear Creek tampak begitu terpencil. Kau tidak akan pernah berpikir kalau akan ada banyak orang di sini.

"Danau Forest membagi semua kota kecil di sini," kata Sam, berbicara seolah sudah membaca pikiranku, “Sisi tempat kami tinggal bernama Danau High, di mana airnya paling dalam. Danau Shade ada di samping, di mana airnya lebih dangkal.”

Dia melanjutkan, “Ada sebuah kota bernama Hawcroft di pantai utara. Di situlah para penduduk Danau High dan Danau Shade berkumpul dan berbaur.”

“Terdengar agak politis,” kataku.

"Lebih dari yang kau tahu..." gumam Sam.

Sebelum aku bisa bertanya lebih banyak, dia menanggalkan kemejanya. Aku menutup mata, mengawasinya melalui celah jemari.

“Sam! Kau ini apa-apaan?”

"Sudah kubilang, aku akan berenang!" Dia melepas celananya, lalu meraih karet celana boksernya…

Kali ini, aku benar-benar berpaling. Tidak mungkin aku ingin melihat apa yang ada di balik ikat pinggang kakak tiriku. Itu ilegal!
BYUR!

Aku mendengar Sam menyelam ke dalam air. Sebuah teriakan besar bergema di seberang danau.

"Sial, airnya dingin!"

“Hei! Ini bulan Maret!” teriakku sambil mundur ke barisan pepohonan. Aku mendengarnya berenang ke arahku.

"Apakah kau tidak akan ikut berenang?"

“Tidak, Sam! Kau benar-benar telanjang!” Wajahku terbakar, dan itu bukan karena sinar matahari.

"Maksudmu, kau tidak pernah berenang telanjang?"

“Aku bukan orang dusun!”

"Kau belum pernah mendengar tentang pantai telanjang?" ucapnya sambil tertawa, "kudengar pantai seperti itu ada di seluruh Eropa!"

“Sam, menjijikkan! Kita ini keluarga!”

"Apa yang kau bicarakan? Justru karena itu, makanya tidak aneh!”

Aku mengerang. “Aku tidak akan masuk, Sam. Jangan tanya aku lagi.”

Sepertinya pria besar itu paham maksudku karena aku mendengarnya berenang menjauh. Aku mempertaruhkan diri untuk melihat ke arah danau. Syukurlah, dia menyelam cukup dalam sehingga aku tidak bisa melihat apa-apa selain kepalanya yang terombang-ambing di atas danau.

Aku berjalan kembali ke danau dan memasukkan ujung jari kaki ke dalam air.

Langitnya biru bersih, tapi air danau tampak hijau dan keruh—aku lebih suka laut—atau lebih baik lagi, kolam renang.

Tetap saja, pemandangannya sangat menakjubkan. Seperti sesuatu yang pernah aku lihat di acara Planet Earth saat teler. Aku belum pernah melihat pemandangan seperti ini dalam kehidupan nyata.

Aku mengeluarkan buku sketsa dari ransel. Aku harus menyelesaikan tugas liburan musim semi untuk Profesor Hammond—sebuah karya yang terinspirasi dari apa yang kami lakukan selama liburan.

Aku berharap ada beberapa cat untuk melukis warna pemandangan ini, tetapi mungkin nanti aku dapat mewarnainya lagi berdasarkan ingatan untuk memberikan kesan impresionis pada karya tersebut.

Aku merasa terinspirasi.

Penaku menari-nari di atas halaman kosong, membentuk pegunungan dan danau. Saat mulai mengisi detailnya, percikan air membasahi buku catatanku.

"Apa yang kau lakukan?"

“SAM!”

Kakak tiriku sedang berenang di dekatku sambil mengawasi. Aku menjauh darinya, lalu merasa lega karena danau keruh itu membuat mustahil untuk melihat apa pun yang ada di bawah lehernya.

"Aku tidak tahu kalau kau seorang seniman," katanya.

Aku menghela napas. “Sedang mencoba menjadi seniman.”

Aku merasakan air di punggungku. Keparat itu memercikkan air lagi ke arahku.

"Aku bersumpah demi Tuhan, jika kau melakukan itu sekali lagi—"

"Apa? Kau akan datang ke sini dan menangkapku?”

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menatapnya. Dan seringai bodohnya.

"Jangan harap," aku mendengus, kembali ke buku catatanku.

“Kenapa kau tidak mencobanya, Helen? Tidak perlu menyelam, cukup berenang saja.”

"Sudah kubilang, jangan bertanya lagi—"

BYUR!

Air membasahi wajahku.

Dasar berengsek!

Aku menyimpan buku catatan sebelum aku meneteskan air ke atasnya dan berjalan lebih dekat ke pantai.

“Baiklah, kau menang, oke?. Jika kau setuju untuk meninggalkanku sendirian dan membiarkan aku menyelesaikan gambar, aku akan memasukkan kaki ke dalam danau.”

"Tapi—"

“Hanya satu kaki saja. Setuju atau tidak?"

Kami saling menatap.

"Setuju," kata Sam.

Aku melepas sepatu dan kaus kaki, lalu melangkah lebih dekat ke air. Mata Sam terpaku kepadaku.

“Oke, ini dia…”

Dengan satu kaki di bebatuan pinggiran danau, aku mencelupkan kaki satu lagi dalam air.

BRRRR!!!

Danau itu dingin sekali!

Namun, kalau boleh jujur, agak menyegarkan juga…

Aku berjalan lebih jauh ke dalam danau.

"Lihat? Tidak seburuk itu, kan?” kata Sam. Dia pun berenang mendekat…

"Mundur, pengganggu!" aku memperingatkannya, “jangan macam-macam!”

Sambil tertawa, Sam pun mundur.

Aku menjuntaikan kaki lebih jauh, naik ke tulang kering…

Mungkin aku akan masuk sedikit lebih dalam…

Namun, kemudian aku melihat ikan berenang beberapa inci dari jari kakiku…

“AAAAAAAAAAHH!”

Aku menjerit dan kehilangan keseimbangan, lalu jatuh ke danau dengan percikan besar. Rasanya seperti tenggelam di Samudra Arktik.

Kepalaku naik ke permukaan. Aku memuntahkan air ke arah suara tawa Sam.

"Ha ha. Ya, ya, sangat lucu,” kataku sambil berteriak dan naik ke atas bebatuan.

Sam berenang mendekat. "Kau baik-baik saja? Aku serius."

Aku merasakan kesungguhannya lagi. Aku tidak sering mendengar dia seperti itu, tetapi ketika mendengarnya, Sam seakan berubah menjadi orang berbeda. Seorang kakak tiri yang bisa aku percayai—bukan yang harus dihindari.

"Sedikit air tidak akan membunuhku," aku mengakui, lalu melepas jaketku. Aku memerasnya di atas danau. “Sebenarnya, agak menyenangkan.”

Sam menyeringai. Seringainya menular—aku harus tersenyum kembali.

DOR! DOR! DOR! DOR!

Suara tembakan dari kejauhan bergema di telingaku.

Pemburu? Aku bertanya-tanya.

Aku melihat ke arah Sam untuk meminta penjelasan. Senyumnya telah menghilang. Dia berenang ke pantai dengan ekspresi wajah kurang sedap.

"Apa itu tadi?" aku berteriak.

"Tidak ada waktu untuk menjelaskan," dia membentak, “kita harus pulang. Sekarang.”
Continue to the next chapter of Kakak Tiriku adalah Manusia Beruang

Discover Galatea

Peperangan SerigalaJodoh Raja Alpha yang Berdarah CampuranMilik PriceBudak Sang NagaIlmu Sejarah Manusia Serigala

Newest Publications

Serigala MileniumMerasa DibakarAkhir PerjalananAsisten Sang Miliarder TeknologiBerahi Tak Terkendali