
Itulah yang dicatat oleh otakku pada momen itu sebelum seluruhnya menghilang dari sekeliling kami. Aroma maskulinnya merajut keajaiban di indraku. Matanya yang luar biasa memenjaraku.
Udara di sekitar kami tebal, berdengung dan mendesis dengan arus listrik.
Aku begitu tersesat di dalamnya dan tidak menyadari apa pun selain kami berdua.
Detik, menit, jam? Aku tidak tahu berapa lama aku terbaring di sana menatapnya.
Ketika dia akhirnya bergerak, aku merasa seperti terbangun dari mimpi. Ya Tuhan! Apa yang telah kulakukan? Dengan pemikiran yang menakutkan itu.
Entah bagaimana aku baru menyadari bahwa dia bukan manusia. Pria ini juga bukan manusia serigala.
Aku mengenali aromanya dari Caspian, jodoh Quincy, dan teman-teman mereka.
Aku hanya setengah manusia serigala, dan aku tidak bisa berubah seperti saudaraku, tetapi satu hal yang kumiliki dari ayahku selain penampilan adalah indra penciumanku yang tajam.
Bahkan lebih tajam dari beberapa manusia serigala.
Aku bersumpah, terkadang aku bisa mencium ketika seseorang berbohong. Kelenjar keringatnya bekerja lembur.
Dia seorang lycan!
Detak jantungku menjadi tiga kali lipat saat menyadarinya. Aku juga menyadari bahwa dia sedang mempelajari aku dengan ekspresi paling intens.
Dia menatapku seperti kagum, hampir seperti tidak percaya kalau aku nyata. Seperti sedang melihat penampakan.
Dia mendekati leherku dan menghirup, mengendusku. Jantungku terhenti. Lubang hidungnya mengembang, dan menutup matanya seolah-olah sedang menikmati aroma terharum di dunia.
Ini menjadikanku peka akan diriku. Ini membuatku ingin mengendus diriku sendiri. Aku bekerja sejak pagi tadi. Aku pasti bau!
Pertemuan paling aneh dan intens yang pernah kualami sepanjang hidupku, dan aku harus mengingatkan diriku sendiri bahwa lycan berbahaya.
Sangat berbahaya.
“Ah…Hai,” kataku akhirnya.
Dia mengangkat kepalanya seperti terkejut, lalu menatapku.
Matanya.
"Halo," katanya.
Ya Tuhan, suaranya.
"Hai," sapaku lagi.
"Halo," katanya lagi, dan kali ini bibirnya perlahan melengkung tersenyum geli. Senyumnya begitu indah.
"Ya, halo," kataku.
"Hai." senyumnya melebar.
"Hai."
Dia terlihat seperti sedang menahan tertawa. Aku baru saja bertemu dengan pria terseksi di planet ini dan sekarang dia pasti menganggap aku konyol…dan dia masih menindihku.
Di ranjang! Di tempat tidurnya!
Aku bergegas untuk bangun, tetapi berat badannya menahanku, jadi yang kulakukan hanyalah menggeliat di bawahnya dan menggesekkan tubuhku ke sekujur tubuhnya.
Payudaraku menggesek dadanya dan pinggulku bergesekan dengan selangkangannya. Tubuhnya keras.
Seluruhnya.
Aku berhenti bergerak dan melihat matanya membesar. Matanya meluncur ke bawah untuk melihat di mana saja tubuh kami menempel, lalu kembali menatap mataku. Mataku sendiri pasti terbelalak.
Udara di sekitar kami kembali menebal. Menyetrum. Aku melihat jakunnya bergerak saat menelan, dan yang ingin kulakukan hanyalah menempelkan mulutku di tenggorokannya dan menjilatnya…
"Jangan bergerak," katanya. Aku perhatikan dia bernapas dengan cepat. Sebelum aku bisa memahami apa yang dikatakan, dia berguling dariku. Aku langsung merasa kehilangan. Aku ingin ditindih lagi.
Aku ingin merasakan tubuh hangatnya, seluruh tubuhnya, menekan tubuhku erat.
Udaranya terasa dingin di kulitku.
Aku terkesiap saat menyadari bahwa rok seragamku telah naik ke atas pahaku dan celana dalam Superman-ku terpampang. Aku cukup yakin dia melihatnya sebelum matanya berkedip kembali ke wajahku.
Aku menarik rokku ke bawah sementara wajahku memerah. Kulit cokelat mudaku cukup terang untuk menunjukkan rona merah di pipiku.
Dia mengulurkan tangannya untuk membantuku bangun dan aku mengambilnya. Panas dan tenaga dari tangannya mengirimkan kegelian.
Menggelitik sepanjang lenganku dan turun ke tulang belakangku. Ini membuat jantungku berdegup kencang.
Rasanya nikmat. Rasanya terlalu nikmat.
Mungkin itu hanya imajinasiku, sebelum tanganku dilepaskan, aku merasakan tangannya mengerat sebentar seolah tidak mau melepaskannya.
Sekarang setelah kami berdiri, aku menyadari betapa dia tinggi. Maksudku, aku 1,75 meter, dan sering kali aku tidak bisa memakai sepatu hak ketika pergi berkencan dengan pria yang lebih pendek.
Namun, berdiri di sampingnya sekarang, dia menjulang di atasku. Dia pasti sekitar 1,95 meter.
"Siapa namamu?" dia bertanya kepadaku. Suaranya berat dan seksi. Logat Inggris mewah, bercampur dengan beberapa logat lain, benar-benar melelehkan celana dalamku.
Bukan celana dalam Superman-ku.
"Mengapa?" tanyaku.
Dia mengangkat alisnya mendengar nada waspadaku. "Saya hanya ingin tahu nama wanita cantik yang saya ajak bicara."
Aku tahu aku bukan mahkluk buruk rupa, tapi dia tidak mungkin menggodaku. Maksudku, orang ini sangat tampan, gila!
Demi apa pun, dia lycan! Jelas sangat jauh dari jangkauanku, sejauh planet lain.
Jadi, tidak… Aku rasa dia tidak sedang menggodaku.
“Layla,” kataku kepadanya akhirnya.
"Layla," ulangnya. Entah kenapa mendengarkan suaranya menyebut namaku, caranya bergulir dari lidahnya, membuat perutku melilit lagi. Sensasi dingin nikmat menjalar di tulang belakangku.
“Yah…oke, sebaiknya saya kembali bekerja.” Aku mundur selangkah darinya. “Banyak yang harus dilakukan.
“Kamar mandi harus dibersihkan, tempat tidur harus dirapikan…emmm, ya…tentang itu. Tentang tidur di ranjang Anda? Saya minta maaf. Saya tidak akan melakukannya lagi. Saya berjanji."
Dia mengambil langkah ke arahku dan aku mundur selangkah lagi. “Saya belum pernah melakukan itu sebelumnya. Saya tidak biasa tidur di ranjang pria asing.”
"Itu bagus," katanya.
"Saya bukan menganggap Anda aneh," aku cepat-cepat mengoreksi. Ya, hanya seorang lycan. Aku harus berhenti bicara. “Hanya saja saya sangat lelah. Saya sudah mulai membersihkan dari pagi dan saya membersihkan tadi malam…”
Alisnya turun dan sepertinya dia marah tentang sesuatu, jadi aku berhenti bicara.
“Yah… saya akan, em, menyelesaikannya kalau begitu.” Aku segera berbalik untuk melarikan diri. Aku harus melepaskan diri dari tarikan magnet aneh yang kurasakan untuk orang asing ini.
“Anda jangan membersihkan kamar saya…atau kamar lain. Anda tidak akan pernah bersih-bersih lagi,” geramnya tiba-tiba.
Aku segera berbalik untuk melihatnya.
“Yah, agak sulit untuk tidak, karena ini adalah pekerjaan saya…kecuali jika Anda melaporkan ke bos saya. Tunggu! Apakah benar? Apa Anda akan membuat saya dipecat?”
Ya Tuhan! Itu dia! "Dengar, saya sangat menyesal, oke? Saya berjanji tidak akan pernah melakukannya lagi. Selamanya!”
Aku hampir tidak mampu membayar sewaku bulan ini dan sudah siap untuk mengemis.
Matanya menyipit saat dia menatapku. "Maukah kamu kencan denganku, Layla?"
"Kencan denganku. Apakah besok malam kamu bisa?”
“Ah… Saya… Aku, em… aku bekerja pada Jumat malam,” kataku kepadanya sambil otakku berputar.
Dia mengerutkan kening seolah-olah apa yang baru saja kukatakan menyinggung perasaannya. “Kalau begitu, bagaimana dengan Sabtu malam? Aku akan menjemputmu pukul tujuh.”
Oh tidak, hari Sabtu. Ibuku mendesakku untuk pulang dan makan malam keluarga seperti biasa dengan Kofi.
Tidak hanya itu, aku sudah mengiakan untuk kencan dengan Derek. Sebenarnya, sekarang aku tidak ingin lagi pergi dengan Derek, dan lebih tidak ingin lagi untuk kembali dan melihat Kofi di seberang meja makan.
Namun, aku sudah membatalkan dengan Derek tiga kali, dan itu sangat tidak baik.
Lagi pula, bukankah pria ini tinggal dengan seseorang? Tunangan atau pacar seperti yang dikatakan Marnie hari ini? Berpikiran itu menyakitkan.
Tidak, itu membuatku kesal.
"Tidak, terima kasih. Itu tidak bisa,” kataku kepadanya.
"Mengapa? Apakah kamu sudah memiliki kencan? Kamu sedang punya hubungan dengan orang lain?” Matanya menajam. Seluruh ekspresinya menjadi dingin dan tangguh.
Dia pasti melihat sesuatu dalam ekspresiku karena wajahnya menjadi lebih mengancam. Rahangnya mengencang dan lubang hidungnya mengembang.
Dia mencengkeram lenganku dan tiba-tiba aku sudah terpojok pada dinding di samping tempat tidur. Dia membungkuk dan hidung serta bibirnya menyentuh leherku.
"Layla..." dia menghela napas. Suaranya rendah dan parau. Udara tebal dan bermuatan. Aku merasakan energi mengelilingi kami. Jantungku bergemuruh dan payudaraku menyerempet dadanya di setiap napas terengah-engahku.
“Layla-ku…” katanya sebelum dia menggerakkan hidung dan bibirnya lebih dalam ke leherku dan tulang selangkaku. “Katakan kau milikku. Katakan tidak ada yang lainnya.”
Ya Tuhan, kulitku terasa geli karena sentuhannya. Percikan kecil menjalar ke seluruh tubuhku. Berdenyut melalui nadiku dan berenang dalam darahku.
Saat aku merasakan lidahnya yang hangat, basah, dan halus menyentuh kulitku, mencicipiku, aku mengerang keras dan melingkarkan tanganku di lehernya untuk menariknya lebih dekat. Aku merasa seperti kabel setrum.
Dia membuka mulut dan menutupnya di sekitar lekukan pangkal leherku, mengisap. Tubuhku membara.
Tidak pernah ada yang senikmat ini.