
Pagi ini aku bangun dengan tekad baru. Sebuah permainan baru yang pasti bisa kumenangkan.
Tadi malam dia berada paling dekat denganku, paling lama berada bersamaku, dan sekarang aku tahu tiga hal pasti tentangnya.
Satu: namanya Soren.
Dua: matanya abu-abu tua, hampir hitam yang menyala terang dengan cincin merah saat dia bergairah.
Dan tiga: dia sangat mudah untuk dibuat bergairah.
Jika saja aku tahu hanya butuh sentuhan sederhana agar dia melunak, seharusnya sudah kulakukan sedari dahulu!
Beberapa saat setelah beranjak dari tempat tidur, aku menyadari bahwa tempat tidurku telah dipindahkan kembali ke tempat semula.
Bajingan nakal itu menungguku tidur dahulu sebelum masuk ke kamarku.
Aku tergelak kepada diriku sendiri, berdiri, meregangkan semua ototku, kemudian meraih tank dan celana pendekku.
Saat menuruni tangga dan ke dapur, aku mendengar percakapan si kembar.
"Entahlah, Drax, tapi aku bilang aku mencium baunya."
Melemparkan diriku ke konter di sebelah Drax, aku tidak bisa menahan rasa penasaranku. "Apa yang kamu cium, Drayden?"
Mencemooh sifat usilku seperti biasanya, Drayden mengangkat alisnya ke arahku, langsung memberitahuku bahwa ini adalah urusan alpha dan, seperti biasa, tidak mau aku ikut campur.
"Terserah, kamu tahu dia juga ayahku." Aku menyingkir dari meja, pagi ini cukup sudah aku menghadapi sikap meremehkan mereka.
"Aku juga bisa dengan mudah mengambil alih kawanan seperti halnya dirimu." Sambil melangkah keluar dari dapur dan ke ruang tamu, aku melihat ayahku berbicara dengan sepupuku, Paisley.
Berjalan mendekat, aku mendengus keras, tingkahku yang selalu menarik perhatian ayahku.
"Ada apa, Zayla?"
Ayahku tampak tegang saat mengamatiku, memastikan aku hanya menggodanya dan tidak benar-benar terluka atau membutuhkan sesuatu.
“Si kembar sangat menyebalkan! Mereka lupa bahwa aku juga mampu mengambil alih kawanan ini seperti mereka. Aku muak dengan mereka yang selalu membungkamku!”
Mengentakkan kakiku seperti anak kecil saat kalimatku berakhir menyebabkan Paisley terkikik, dan ayahku memutar matanya.
Mereka berdua sepenuhnya sadar bahwa aku tidak peduli tentang memiliki peran dalam mengambil alih kawanan ketika orang tua dan pamanku turun dari posisinya.
Seperti kata ibuku, pikiranku selalu di awang-awang. Namun, sebenarnya pikiranku selalu tertuju kepada Soren.
Tak seorang pun di rumah ini yang tahu bagaimana rasanya jika jodohnya tidak ingin bersama mereka, atau hanya cukup untuk mencium bau satu sama lain.
Semua orang di keluarga ini pergi tidur setiap malam ditemani jodoh mereka, kecuali aku.
Nah, sedangkan aku, untuk sekedar mengetahui warna matanya saja aku harus bercinta dengan diriku sendiri.
Jadi tidak, aku tidak terlalu peduli dengan urusan kawanan ini, dan ayahku tahu itu, tapi aku ingin tahu apa yang sudah diendus oleh Drayden.
Dan sementara aku menyembunyikannya di balik kebohongan tentang keinginan untuk terlibat dalam urusan kawanan ini, jujur saja, aku akan melakukan apa saja untuk mengenal Soren.
Termasuk berkelahi dengan kedua kakakku karena masalah bau tadi.
"Omong kosong, Zay, kamu bahkan tidak peduli untuk menjadi seorang Alpha," teriak Paisley sambil berusaha menahan tawanya.
“Ada apa ini, Zayla? Sejak kapan rahasia si kembar menjadi sesuatu yang membuatmu kesal?” Kualihkan pandanganku dari sepupuku yang tertawa ke arah ayahku dan mengamati wajahnya. Dia tampak khawatir dan curiga.
Membersihkan tenggorokanku, aku menyiapkan omong kosong terbesar yang aku bisa.
Maksudku, persetan lah, aku sudah bangun pagi dengan sangat bodoh tanpa alasan jelas, sekalian saja membual…kan?
Membersihkan tenggorokanku, aku mencoba terlihat secanggung mungkin.
“Drayden bilang dia mencium sesuatu yang tidak bisa dia pastikan. Kau tahu betapa aku menikmati lariku, Ayah. Bagaimana jika itu sesuatu yang serius dan membuatku terluka karena si kembar mengira itu hanya urusan para alpha?”
Melihat raut muka ayah benar-benar menyenangkan. Wajahnya berubah dari khawatir, menjadi tidak yakin, menjadi kesal dengan omong kosongku, lalu kembali menjadi tidak yakin semuanya dalam hitungan detik saja.
"Tidak perlu, Zay, aku hanya mencium bau manusia." Drayden berjalan di belakangku, menarikku ke dadanya.
"Pembohong," bisiknya di telingaku.
Draxel ikut-ikutan bersandar ke sisiku yang lain, dia meniru Drayden membisikkan: "Celana terbakar."
Mereka kemudian memutuskan untuk mencecarku sementara Ayah mengawasi kami dengan curiga.
"Tidak baik mengadu kepada Ayah, Zay."
“Enggak heran, kamu menempel terus.”
"Kami tahu kamu tidak peduli dengan keselamatanmu saat berlari, Zayla."
"Jadi, kenapa kamu begitu penasaran?"
Memutar mataku, aku menjauh dari mereka, lalu berbalik menghadap mereka. “Karena aku berhak tahu.”
Aku tidak bermaksud memprotes mereka, tetapi begitulah yang terjadi. Serigalaku frustrasi karena mereka terus saja menjahiliku.
Karena merasakan ketegangan yang semakin meningkat yang coba kusembunyikan, Paisley meraih lenganku, menarikku keluar dari ruangan. Sempat kulihat si kembar memutar mata ke arahku.
Paisley menarikku ke kamar cadangan dan mengunci pintunya, menatapku dengan curiga.
"Oke, sampaikan sekarang, jalang, karena tadi itu terlalu dramatis!"
"Aku hanya ingin tahu apa yang dia cium," jawabku, dan meskipun jujur, kata-kataku terdengar canggung dan palsu.
"Mengapa? Sepenting apa sampai-sampai kau ribut dengan si kembar pada pukul enam pagi?”
Aku menghela napas panjang dan berusaha menahannya. Untuk menjaga rahasiaku. Namun, sejujurnya aku tidak tahan lagi.
Tidak memiliki teman curhat membuat serigalaku dan aku selalu gelisah, perasaan kesepian dan kesedihan menjadi emosi kami yang paling kuat dan paling sulit untuk disembunyikan.
“Apakah seburuk itu sampai kamu tidak bisa memberitahuku, Zayla? Tidak ada yang ditutup-tutupi di antara kita.”
Sambil mendesah, aku menyerah. Dia benar. Aku selalu melakukannya.
Sampai aku bertemu Soren.
Aku telah merahasiakannya. Sesuatu dalam diriku selalu ingin melindunginya, sementara setiap bagian lain dari diriku ingin bangga telah menemukannya.
Aku ingin memamerkannya, menunjukkan bahwa aku memiliki seseorang yang akan mencintaiku selamanya, seseorang yang dilahirkan hanya untukku.
Namun, bagaimana aku menjelaskan kepada orang-orang yang aku cintai bahwa jodohku— belahan jiwaku, pria yang benar-benar terlahir untuk mencintaiku—tidak menginginkanku seperti yang kuinginkan.
Bagaimana aku menjelaskan kepada orang-orang yang jodohnya menginginkan mereka, dan berjuang untuk bersama mereka, bahwa jodohku tidak begitu.
Walaupun dia mengawasiku setiap malam, hanya itulah yang ingin dilakukannya.
"Kamu terlihat seperti akan menangis, Zay, ada apa?"
Tampak jelas dari raut wajahnya. Dia tahu aku akan menangis. Emosiku hari ini tidak keruan, dan aku menyalahkan ikatan jodoh sialan itu dan—terkutuklah serigalaku!
Dia sangat bahagia tadi malam karena bisa mencium gairah jodohnya untuk pertama kalinya, tapi pagi ini seperti anjlok: dia mudah tersinggung dan frustrasi, dan sejujurnya sangat lelah.
Dengan menghela napas dalam-dalam, aku memutuskan sudah waktunya untuk berbicara. Kubocorkan saja rahasia terbesarku. Kuceritakan saja apa adanya.
Sembari menahan napas, aku akhirnya mengatakannya...
“Aku menemukan jodohku,” keluar dari mulutku dengan desahan sedih saat aku menundukkan kepalaku.