Ditelanjangi Sang Raja - Book cover

Ditelanjangi Sang Raja

J.M. Felic

Bab 4

LUCIEN

Sentuhanmu, menarikku. Terasa seperti melayang, membuat tubuhku bersinar.

“Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, izinkan aku memperkenalkan kalian kepada Tuan Darien Ozric, donatur paling dermawan untuk museum kita,” Dr. Danes mengumumkan saat kami mendekati meja.

Semua orang dengan cepat berdiri, tersenyum kepadaku, tapi aku hanya tertarik kepada wanita misterius yang menatapku dengan terkejut.

Ketika aku mendekati meja, Dr. Danes mulai memperkenalkan aku kepada para dermawan dan rekan-rekan lansia.

Aku memberi mereka senyum biasa bibirku, seperti sudah terlatih melakukannya, juga jabat tangan yang kuat saat kami saling berbasa-basi, sampai akhirnya aku datang kepadanya.

Wanita itu.

"Dan ini Nona Nicolette Holland, salah satu kontributor utama artefak yang akan kau lihat nanti," kata profesor.

Suaranya memudar. Fokus totalku adalah kepadanya.

Wanita yang entah bagaimana sampai ke duniaku.

Wanita yang terlihat sangat familier.

Yang sangat serupa dengan…

Tidak.

Tidak mungkin.

Saat dia berdiri dan kami saling bertatapan, aku mempelajari setiap inci tubuhnya, mencari petunjuk tentang siapa wanita ini sebenarnya.

Rambutnya indah, warna kemerahan seperti karat, ditata dengan gaya sederhana.

Dia memakai riasan tipis: lipstik warna anyelir merah muda, bedak ringan berkilau di wajahnya, dan bayangan cokelat gelap di sekitar matanya.

Kesederhanaan itu hanya menambah kecantikannya.

Dan dia mengenakan gaun merah yang memamerkan lekuk tubuhnya dengan sempurna.

Lekukan yang ingin aku telusuri, jelajahi.

Lagi pula, hanya ada satu cara untuk mengetahui siapa wanita sebenarnya~.

Memikirkannya saja sudah membuat celanaku terasa sesak.

Lagi.

Dr. Danes berdeham keras.

"Nona Holland?" katanya, mengguncang bahunya dengan pelan. Tiba-tiba, seolah-olah dia tersadar dari linglung, matanya melebar dan dia menyadari di mana dia berada.

Aku melihat rona malu membanjiri wajahnya.

"Kau terlihat seperti baru saja melihat hantu," kataku geli.

Akhirnya, dia melirik ke lantai dan kemudian kembali ke kepadaku. “Eh, hai. Suatu kehormatan bertemu denganmu, Tuan Ozric.”

“Suatu kehormatan bertemu denganmu juga, Nona Holland.”

Seolah diberi aba-aba, Dr. Danes menyela obrolan kecil kami, menunjuk ke kursi di seberang meja.

“Aku menyiapkan kursi ini untukmu, Tuan Ozric, di sebelah rektor universitas. Kau ingin duduk?"

“Kurasa aku lebih suka duduk di sebelah wanita cantik ini.”

Matanya menyipit saat aku duduk di sebelahnya, tidak peduli siapa yang seharusnya duduk di sana.

Aku harus berada di sampingnya, apa pun yang terjadi.

NICOLETTE

Dua puluh menit telah berlalu sejak Tuan Ozric duduk di sebelahku, tapi dia tidak mengatakan sepatah kata pun kepadaku, atau bahkan melirik ke arahku.

Sebaliknya, dia memikat direktur universitas dan para dermawan lainnya di meja, yang semuanya tampak menatapnya dengan ekspresi memuja, tertawa dan mengangguk pada semua yang dia katakan.

Tentu saja, masuk akal ketika aku mengetahui bahwa dia adalah CEO dan pemilik perusahaan multi-miliar dolar.

Konglomerat Internasional Ozric.

Tidak heran mereka meneteskan air liur setelah melihatnya. Tidak hanya karena dia sangat memesona, dialah yang pada dasarnya membayar gaji untuk semua orang di meja itu.

Namun, aku hanya duduk di sana, diam, menatap tanganku.

“Kau suka bepergian, Nona Holland?” dia bertanya, sedikit senyum di wajahnya.

“Untuk pekerjaan, ya.”

“Bukan untuk bersenang-senang?”

“Pekerjaanku membuatku sangat sibuk.”

"Ya tentu saja. Bepergian ke segala macam tempat eksotis dan misterius. Kukira tempat-tempat berbahaya juga.”

“Kadang-kadang,” kataku, berdeham dan mencoba fokus pada meringue manggaku.

Namun, saat aku merasakan tangannya meluncur dan meraih kulit pahaku yang tak tertutup apa pun, aku hampir tersedak.

"Kau pergi ke tempat yang menarik baru-baru ini?" dia berbisik di telingaku. Suaranya berbisik dan menggoda, tetapi mengandung sedikit ancaman.

"Permisi, aku ingin ke kamar kecil," kataku cepat, berdiri dan merasakan tangannya menjauh dari kakiku.

Tanpa meliriknya, aku berbalik dan berjalan melintasi ruangan, merasakan tatapannya membakarku dari belakang.

Bergegas ke kamar mandi wanita yang terang dan berubin putih, aku bergegas ke wastafel.

Tanganku terasa sedingin es, jadi aku membuka keran dan menyesuaikannya menjadi hangat. Air yang mengalir segera menenangkanku.

Aku menatap diriku di cermin. Aku menghela napas dan memejamkan mata sejenak.

Tenang, Nikki.

Ya, pria itu terlihat persis seperti pria dalam mimpi.

Namun, itu tidak mungkin.

Aku bisa mendengar kata-katanya dalam pikiranku. "Kau pergi ke tempat yang menarik baru-baru ini?"

Dia mengatakannya seperti sedang mempermainkanku.

Seperti dia tahu.

Aku tersadar, ketika menyangkut pria ini, aku tidak tahu apa yang sedang aku hadapi.

Aku masih bisa merasakan pahaku kesemutan dari tempat dia mencengkeramnya.

Jantungku berdebar kencang, mengancam akan melompat keluar dari dadaku.

Aku harus pergi.

Sekarang.

Aku menyingkirkan cermin untuk menjauh dari semua kegilaan ini.

Entah bagaimana, kutukan itu mengikutiku.

Namun, tidak.

Aku mengatupkan rahangku dan membuka mataku, dengan tekad mengalir di dalam diriku. Dengan tatapan tajam, aku mulai memberi semangat pada diriku sendiri.

Kau bukan anak sekolah, Nikki.

Kau di sini untuk bekerja.

Kau harus menunjukkan dirimu.

Jangan biarkan pria sombong merayapi kulitmu dengan mudah.

Aku mungkin satu-satunya wanita di dalam ruang serbaguna yang tidak memberinya tatapan penuh nafsu saat dia masuk, dan aku bangga akan hal itu.

Setelah menarik napas dalam-dalam lagi, aku meninggalkan kamar mandi dan kembali ke meja, dengan ketenangan baru di wajahku.

Ketika aku duduk, dia masih di sana, dengan bahunya yang lebar, dia duduk dengan santai, menyesap anggurnya.

"Kupikir kau kabur," katanya.

"Dan apa yang membuatmu berpikir aku akan melakukan itu, Tuan Ozric?" Aku menjawab.

“Kau seperti… terintimidasi olehku.”

Tawa pendek dan lembut keluar dari mulutku.

Pria ini lugas.

“Aku bahkan tidak mengenalmu. Kenapa aku harus begitu?” Aku menjawab, menjaga suaraku tetap tajam tanpa terputus.

Dia menatapku dengan mata menginterogasi.

Mata yang bisa menelanjangimu hingga ke jiwamu.

Sebelum dia bisa menjawab, Profesor Mallorie menepuk pundakku.

"Nona Holland, Tuan Ozric, silakan kemari. Saatnya memasuki museum.”

Mata Tn. Ozric beralih dari mataku, dan aku merasakan beban terangkat dari pundakku.

Aku mengambil tas tanganku, bersiap untuk berdiri, tapi Tn. Ozric sudah terlihat berdiri lebih dahulu dengan tangan terentang.

"Mari pergi?"

Aku melirik Profesor Mallorie, yang berpura-pura tidak melihat ketertarikan pria itu kepadaku.

"Tentu saja," kataku, mengabaikan tangannya dan berdiri, berjalan sendirian menuju kelompok kecil yang memasuki lantai pertama museum.

Tidak terlalu sombong sekarang, kan?

Aku berlama-lama di depan kelompok itu, mencoba untuk tetap berada di dekat profesor, dan menambahkan komentar tentang artefak, banyak di antaranya adalah sumbangan dari aku sendiri.

Beberapa dari perjalananku ke Mesir, Skandinavia, dan China.

Tidak seperti cermin yang tersembunyi di arsip, ini adalah beberapa penemuanku yang paling membanggakan, yang ditampilkan untuk dilihat semua orang.

Meski begitu, aku hanya bisa tersipu malu ketika kami tiba di sebuah patung raksasa, kayu, berbentuk penis.

"Nona Holland, bisakah kau mengatakan beberapa patah kata tentang patung yang kau temukan di Afrika Selatan ini?”

“Meskipun kita tidak tahu orang mana yang menciptakannya, kita bisa mengatakan bahwa ini…” Aku berdeham, “penis yang ukurannya dilebih-lebihkan, kemungkinan adalah representasi dari kedewasaan dewa mereka. Gadis mana pun yang melewatinya kemungkinan besar akan lupa diri karena senang.”

Beberapa orang tua dalam kelompok itu tampak tidak nyaman. Namun, secara tidak sengaja, mataku menjelajah ke Tn. Ozric di belakang.

Bibirnya sedikit melengkung ketika dia menatapku, dan kemudian pandangannya menerobos ke belahan dadaku—ke garis lekukan gaunku yang kukira konservatif, dan kemudian menembus kain di bawahnya.

Rasanya seperti dia membuatnya tembus pandang hanya dengan satu tatapan.

"Beralih ke bagian lain yang disumbangkan oleh Nona Holland," kata Profesor Mallorie saat kelompok itu berbelok di tikungan. "Sebuah cermin yang dia temukan dalam penggalian baru-baru ini di Malta."

"Apa?" Aku mendesis, memutar kepalaku untuk melihat cermin terkutuk yang tergantung di dinding.

"Kupikir benda ini disembunyikan di arsip?" kataku, berusaha untuk mengecilkan suaraku.

"Yah, kami punya ruang lebih di pameran, dan itu adalah cermin yang indah..." jawab Profesor, tampak bingung. "Apakah semuanya baik-baik saja, Nikki?"

"Y-Ya, aku baik-baik saja." Aku mencoba menenangkan diri ketika seluruh kelompok memandangku, gelisah. Secara khusus, aku bisa merasakan mata Tuan Ozric mengamatiku dengan penuh minat.

"Kalau begitu, mari kita lanjutkan," kata profesor, bersemangat untuk melanjutkan tur.

Kelompok itu mulai mengikuti ketika tiba-tiba, aku merasa dia meraih lenganku untuk menghentikanku.

Dia menggenggamku sampai mereka berbelok di tikungan di depan dan menghilang dari pandangan, dan kami sendirian di galeri.

"Sebuah cermin?" dia bertanya, suaranya diperkecil.

“Ya, itu cermin. Sangat terlihat jelas, Tuan Ozric,” aku menjawabnya dengan blak-blakan.

Dia melangkah di depannya, dan dari tempat aku berdiri, aku hanya bisa melihat bayangannya.

Itu mengingatkanku tentang tadi malam.

Pria di cermin itu…

Pria ini?

Melucuti aku.

Menyentuh aku.

"Kita harus mengejar ketinggalan dengan kelompok," kataku cepat, menarik pikiranku dari antara kedua kakiku yang mulai basah.

"Di mana kau menyimpan cermin ini sebelum kau memberikannya?" Lucien bertanya, mencondongkan tubuh lebih dekat seolah dia bisa merasakan gairahku.

"Di kamar tidurku."

“Hmm, kamar tidurmu, ya …”

Aku tidak yakin apakah itu hanya imajinasiku, tetapi kupikir aku mendengar suaranya menjadi lebih serak ketika dia mengatakannya.

Dia melangkah mendekat, menatapku dengan dalam.

"Di mana kau mendapatkan cermin ini, Nicolette?" katanya, nama depanku meluncur dari lidahnya seperti sudah ditakdirkan berada di sana.

“Seperti yang dikatakan Profesor Mallorie. Malta."

Matanya yang dingin menatapku, mengirimkan rasa dingin ke tulang punggungku.

Namun, tidak memadamkan api yang tumbuh di hatiku untuk pria ini.

Kami cukup dekat sehingga aku bisa mencium bau kolonye yang memabukkan. Matanya turun ke bibirku.

Aku merasakan tangannya meraih pinggulku, menarikku lebih dekat.

“Jangan bohong, Nona Holland. Di mana kau sebenarnya menemukannya?”

Sebelum aku bisa menjawab, aku merasakan tangannya meluncur ke samping dan ke atas bagian dadaku, ke arah wajahku.

Namun, dia berhenti, jari-jarinya melingkari tenggorokanku.

"Jawab aku."

“Aku… aku, ahh,” aku tergagap. "Kupikir... aku harus pergi."

Aku merasakan jemarinya mengencang seperti tang.

Detak jantungku bertambah cepat, saat rasa takut dan gairah mulai menyatu menjadi jaring, membuatku terjebak dalam genggamannya.

Wajahnya berubah dari menggoda menjadi marah; cemberut di wajahnya sama dengan yang diberikan pria berambut panjang itu kepadaku.

Genggaman jari-jarinya yang diremas di tenggorokanku juga identik.

Pada saat itu aku tahu, tanpa ragu, bahwa mereka adalah orang yang sama.

"Biarkan aku pergi!" kataku dengan gigi terkatup. “Kau… kau menyakitiku.”

Genggamannya semakin erat, wajahnya semakin dekat. Matanya yang dingin sekarang dipenuhi dengan api.

"Siapa kau? Kau bekerja untuk siapa?" dia mendesis.

"Nona Holland? Tuan Ozric?” Suara Profesor Mallorie bergema di galeri.

Syukurlah.

Aku merasakan tangan Tuan Ozric mengendur, tepat pada saat profesor melangkah ke tikungan.

Ketika dia melihat betapa dekatnya kami, dia berdeham dengan canggung.

"Apakah aku mengganggu?" Profesor Mallorie bertanya, melihat wajahku yang khawatir.

“Tidak, tidak sama sekali, Profesor. Dia baru saja menjelaskan sejarah cermin yang menakjubkan ini,” jawabnya, seolah-olah tidak ada yang terjadi sama sekali.

"Maukah kau ikut dengan kami di lantai dua?"

Kami berdua mengangguk dan mengikutinya, tetapi sekarang pikiranku berpacu, mencoba mencari cara untuk membuat jarak sejauh mungkin antara aku dan pria yang baru saja mengalungkan jarinya di tenggorokanku.

Aku bisa merasakan tatapan badainya di punggungku, mengawasiku.

Siapa yang tahu apa yang akan terjadi jika diri kami sendiri lagi?

Next chapter
Diberi nilai 4.4 dari 5 di App Store
82.5K Ratings
Galatea logo

Unlimited books, immersive experiences.

Galatea FacebookGalatea InstagramGalatea TikTok