Summer mungkin menikah dengan seorang pengusaha tampan, tetapi dia tahu sesuatu tentang temperamennya yang tidak diketahui orang lain. Ketika kakaknya mengetahui apa yang dia alami, dia memastikan Klub Motor-nya melindunginya. Hanya saja Summer tidak ingin berurusan dengan Klub Motor-nya…hingga dia bertemu dengan ”Sang Iblis”, dan menyadari bahwa tidak ada yang bisa membuat jantungnya berdebar kencang seperti pria nakal itu.
Chapter 1
Janji yang DiingkariChapter 2
Badai Musim Panas 🌶️ ️Chapter 3
Kembalinya Sang IblisChapter 4
PemanasanRingkasan
Bayangkan bertemu pria yang sempurna. Dia sukses dan tampan. Dia senang menjamu, dan seks kalian mengagumkan. Kalian pun jatuh cinta, dan tergesa-gesa menikah, lalu dia memukulmu dan kau sadar bahwa selama ini pria sempurnamu hanya kedok.
Kau pun menyadari bahwa terkadang, kebahagiaan sesaat bisa lebih indah daripada kehidupan pernikahan. Bahwa terkadang kastel bisa menjadi penjara, dan terkadang kesatria berbaju zirah itu mengendarai sepeda motor, bukan kuda.
Siapkah kau untuk perjalanannya?
BEBERAPA MINGGU SEBELUMNYA…
Summer
Ikrar, cincin, dan barang-barang mahal—begitulah pernikahan dimulai. Dengan ikrar bahwa kita akan saling mencintai selamanya, cincin untuk menandai komitmen, dan kemudian, dalam kasusku, barang-barang mahal mulai berdatangan setiap kali janji dan ikrar ini dilanggar.
Dari sepatu hak desainer dan perhiasan indah hingga liburan mewah; semua membuatku percaya bahwa semua luka dapat disembuhkan dengan hadiah.
Hingga tadi malam.
Aku berjanji mencintainya di masa senang maupun susah, dan masa susah tidak akan bertahan selamanya.
Atau setidaknya, itulah yang terus kukatakan kepada diriku sendiri karena keadaan pasti membaik. Itu sebabnya mereka mengatakan di masa senang atau susah. Namun, semalam, topeng yang dikenakan dengan baik oleh suamiku benar-benar terlepas, dan jelas sudah bahwa aku harus keluar dari sini. Aku tidak bisa tinggal lebih lama lagi.
Aku mencintai suamiku, tetapi kemungkinan untuk menjalani masa depan bersama tidak lagi realistis.
Aku berlari ke lemari, melompat, meraih tali koper, menariknya ke bawah, dan membukanya di tengah lantai.
Kubuka satu laci, kuambil paspor dan kemudian segepok uang tunai dari laci lainnya. Semua kulempar ke dalam koper. Selanjutnya, kumasukkan juga semua isi laci perhiasan ke sana.
Mengingat saat ini tahun lalu kami sedang pergi berbulan madu dan aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa pria ini… Perlahan, semakin kuat alasanku untuk meninggalkannya.
Apa yang awalnya merupakan cacian kemarahan yang muncul sesekali, atau sebuah dorongan kecil, telah berkembang menjadi ini.
Suamiku telah memukulku. Meninju wajahku. Untuk pertama kalinya, dia melewati batas yang tidak bisa ditariknya lagi.
Aku tahu itu karena alkohol. Monster itu adalah penyakitnya—bukan Elliot.
Dia pun melawannya, itu sebabnya aku tetap tinggal.
Aku terus saja percaya bahwa aku bisa mengubahnya kembali menjadi pria yang membuatku jatuh cinta. Bahwa dia akan menjadi lebih baik. Bahwa dia berurusan dengan iblis dan tidak sepenuhnya jahat.
Kini mencapai titik di mana aku harus bertanya kepada diriku sendiri: masih adakah alasan untuk tetap tinggal? Setelah pukulan fisik pertama itu, aku tahu sudah tidak ada alasan lagi.
Aku telah melakukan semua yang aku bisa. Satu-satunya pilihanku hanyalah pergi.
Jadi, bahkan dengan air mata mengalir di wajahku, sebagian karena patah hati dan sebagian lagi karena takut ketahuan, aku pun berkemas.
Kututup ritsleting koper, kuseret keluar dari lemari melewati lorong, dan bergegas menuruni tangga.
Kunci. Kunci. Kunci. Di mana kuletakkan kunciku?!
Kenapa aku tidak menggantungkannya di pengait?
Garasi kami adalah labirin mobil, dan aku kehilangan kunci satu-satunya mobil yang bisa kukeluarkan.
Akhirnya, aku menemukannya tergeletak di atas salah satu buku sketsaku.
Aku meraih tasku, menuju ke garasi, dan membuka kunci mobil.
Kemudian, aku mendengar suara kerikil dan derakan dari sebuah mobil yang melaju di jalan masuk.
Aku membeku, koperku sudah setengah masuk ke bagasi.
Sial.
Dia kembali.
Kenapa dia sudah pulang? Kupikir aku punya lebih banyak waktu!
Rasa takut yang mencekam menyerangku saat pintu garasi terbuka dan memperlihatkan mobil sportnya yang mulus beberapa meter di depanku.
Sial. Aku tidak bisa keluar sekarang meskipun ingin.
Dia mematikan mesin mobilnya.
Seketika aku menelan ludah, melihatnya keluar dari mobil, tatapan matanya bergerak dari bagasi yang terbuka menuju ke arahku dan koper.
Aku tahu itu dia dan aku sendirian di penjara yang disebut rumah besar ini. Tidak ada yang akan mendengar aku berteriak, tidak ada yang akan mendengar aku merintih, dan tidak ada yang akan mendengar konsekuensi dari tindakanku malam ini.
"Ada yang ingin kau katakan kepadaku, Summer?"
“Aku akan pergi, Elliot. Setelah tadi malam…” Kata-kataku terputus. "Aku sudah muak."
Semua ini semestinya sederhana. Dia memukulku, aku pergi. Seharusnya aku sudah sadar dari kekerasan dan teriakannya itu. Namun, saat itu aku masih ingin memercayainya. Lalu sekarang?
Tidak. Aku tidak sanggup menghadapi lagi kejadian seperti tadi malam.
“Summer, tolong jangan lakukan ini. Aku tahu beberapa bulan ini berat. Maaf, aku tidak bermaksud melakukannya. Persetan, aku rela melakukan apa pun. Aku akan mencari sponsor untuk AA sekarang.” Dia bahkan mengeluarkan ponselnya.
Perutku terasa sakit.
Aku tahu itu langkah yang besar, terutama jika terungkap ke publik.
“Kau tahu apa yang terjadi saat aku minum. Kaulah yang memberiku gelas untuk merayakan tahun pertama kita dengan bersulang.” Kata-katanya mengandung kejujuran, dan aku tahu—atau, setidaknya, aku berharap untuk percaya—bahwa jauh di lubuk hatinya, dia tidak bermaksud begitu dan penyebabnya adalah mirasnya. Dia juga benar: aku yang saat itu telah menyerahkan gelas sampanye kepadanya.
“Ayolah, Summer, aku membutuhkanmu, tolong bantu aku melewati ini. Kita akan menghadapi ini bersama, kemudian kita bisa kembali seperti dulu. Kau, aku, kita. Mari kita kembalikan pernikahan kita ke jalur yang benar. Kau tahu aku mencintaimu."
Dia mengakui kesalahannya, memohon kepadaku, dan aku tahu hanya ada satu syarat yang akan membuatku tetap tinggal.
"Aku hanya akan tinggal jika kau cari bantuan."
"Setuju." Dia segera menyanggupinya. "Kau ingat bulan madu kita? Malam pertama, kau menyeruput sangria dan bernyanyi jelek dengan iringan band. Kita bercinta di pantai, di bawah bintang-bintang. Aku ingat setiap detailnya. Itu malam terbaik dalam hidupku karena akhirnya kau menjadi milikku. Itu malam kita memulai hidup bersama.”
Dia menatap mataku. “Ingat keesokan harinya, ketika kita berada di pasar yang ramai itu dan kau jatuh cinta dengan kalung itu, kalung yang kau pakai sekarang, dan kau tidak ingin membelinya karena menurutmu terlalu mahal?”
Suaranya halus, meyakinkan, dan tidak ofensif. Ekspresinya...dia sungguh tenang, dan itu membuatku terkejut. “Dan kukatakan kepadamu bahwa kau tidak akan pernah merasa menginginkan apa pun lagi? Kita begitu bahagia, Summer. Akan kulakukan apa pun untuk membuat kita kembali seperti itu.”
Dia dengan tenang melangkah ke arahku dan aku refleks mundur satu langkah darinya.
Emosinya begitu kuat dan aku tidak bisa menghentikan air mata yang keluar dari mataku.
Air mataku membuatnya memecah jarak di antara kami, dan sebelum aku menyadarinya, dia dengan hati-hati meraih tanganku.
Aku tanpa sadar tersentak, dan kulihat serpihan rasa malu di wajahnya atas reaksiku.
Dia memberikan ciuman termanis di pergelangan tanganku, dan itu cukup untuk mengaburkan penilaianku sejenak.
"Ayo, sayangku," kata Elliot, mengambil tasku dari bagasi. "Kita masuk ke dalam."
Dan begitu saja...aku kembali ke pria, yang selama berbulan-bulan, telah mencaciku, mendorongku, dan pada akhirnya, semalam memukuliku.
Karena dia suamiku.
Karena aku masih mencintainya.
Karena aku belum tahu apa yang akan dilakukan Elliot...