
Pernikahanku selama ini bagaikan rumah yang terbakar begitu lama sehingga yang bisa kulakukan hanyalah menunggunya sampai hancur menjadi abu. Namun, di hari saat kupikir ini sudah hancur, Elliot datang dan menyiramkan air ke sisa-sisa pernikahan kami yang membara. Sekarang, dia melakukan segalanya untuk memperbaiki kerusakannya.
Aku berpikir dia akan menyerah. Aku berpikir dia akan pergi. Namun, dia membuatku terkejut. Dia berhenti minum. Aku melihat dia menuangkan semua botol miras di rumah kami ke wastafel, kemudian dia melangkah lebih jauh dan mulai pergi ke pertemuan khusus pecandu. Dia melakukan apa pun juga untuk membuktikan kepadaku bahwa dia telah memahamiku, bahwa dia benar-benar mau berusaha, dan dia tidak menyerah untuk pernikahan kami.
Saat hari berganti minggu dan dia tetap tidak minum, keyakinanku kepadanya meningkat. Dia menepati janjinya, dan aku melihat kilasan pria yang membuatku jatuh cinta.
Hari ini terasa seperti contoh nyata dari kemajuan Elliot.
Dia mengakhiri pekerjaan dan rapatnya, mengatakan bahwa hari ini terlalu indah untuk dihabiskan di dalam ruangan, dan membawa kami ke salah satu resor golf yang dipimpinnya untuk permainan golf santai.
Aku selalu berkunjung ke resor. Dia tidak tahu bahwa aku tidak hanya mengambil perawatan spa di resor, tetapi aku juga serius mengambil kursus golf.
Aku selalu menyukai tantangan, dan golf tentu saja merupakan tantangan kesabaran.
Jadi, ketika aku memukul ke lubang ketiga dan melesat lurus ke atas lapangan, aku tidak bisa menahan tawa melihat ekspresi Elliot. Pukulan pertamaku dia sebut kebetulan, yang kedua adalah "tembakan bagus", dan yang ketiga membuatnya terdiam.
Meski sudah berusaha, aku masih kalah di lubang kedelapan belas.
"Kau tahu apa yang menurutku lucu?" Elliot tidak bisa menyembunyikan geli dalam nada suaranya saat melihatku meluncurkan bola terakhirku. "Kau bisa mengalahkanku, tapi pukulan pendekmu payah."
"Yah, aku tidak mengerti kenapa lubangnya sangat kecil!" seruku. Selama bertahun-tahun, aku kemampuan bermain golfku membaik, tetapi aku masih payah melakukan putting.
Membaca jarak lapangan untuk memasukkan bola kecil ke dalam lubang pada dasarnya seperti ilmu dasar bagiku.
"Ayo, sayang, aku akan memberimu tips." Elliot muncul di belakangku dan membuka kakiku dengan pahanya.
"Kata pria yang menghabiskan lebih banyak waktu di semak-semak daripada di lapangan," gumamku.
"Ya, tapi siapa yang hampir mencetak birdie?" Elliot memelukku dari belakang, dadanya menempel di punggungku, tangannya di atas tanganku yang memegang putter.
"Kendurkan cengkeramanmu," dia menginstruksikan dan kemudian mulai menunjukkan kepadaku bagaimana melakukan gerakan lambat. "Ingat, sayang, perentangan sama pentingnya dengan ayunan."
Tangannya menuntun tanganku untuk beberapa pukulan dengan putter, kemudian mulutnya mendekat menuju leherku, mendaratkan ciuman kecil di kulitku.
"Kau tahu apa bagian favoritku dari permainan hari ini?"
Jantungku berdegup kencang karena dia mendekat. "Pukulanku selalu di dalam lapangan dan kau tidak?"
"Bukan." Dia memutar tubuhku, wajahnya menyeringai sedikit. "Kau mempelajari situasi dan masih salah membacanya."
Aku cemberut, dan dia dengan cepat menciumku lagi sebelum melangkah pergi agar aku bisa memukul.
Dengan bertekad, aku menggulirkan bola, tetapi meleset dua kali, dan memasukkannya pada percobaan ketiga.
Elliot membungkuk dan mempelajari situasi, dan aku tahu dia bisa berhasil di kali pertama. Namun, dia gagal tiga kali sebelum memasukkannya pada percobaan keempat. Aku sama sekali tak menduga.
“Kau sengaja membuatnya meleset,” kataku, membungkuk untuk mengambil bola kami dari lubang.
Dia memberiku kedipan. “Kau tahu apa yang kupikirkan?”
Aku mengangkat alisku agar dia melanjutkan.
“Kau harus lebih sering memakai rok saat kita bermain golf.”
Aku memutar mataku. “Dasar pria.” Aku mengerutkan kening sesaat, melihat sekeliling lapangan kosong.
"Kau sadar kita belum berpapasan dengan orang lain di lapangan?"
"Sayang, saat melihat pakaian yang kau kenakan saat kita pergi, aku mengusir semua orang ke clubhouse." Elliot menyeringai, matanya menelusuri sepanjang tubuhku.
Aku terkesiap. "Tidak mungkin!"
"Aku tidak mau semua orang di lapangan mengikuti kita hanya agar mereka bisa melihatmu mengayun," godanya.
Aku menepuk pelan bahunya. "Kau mesum, suamiku."
"Itu hakku sebagai suami." Dia memutar-mutar tubuhku, mengambil tongkatku, dan mencium bibirku. “Kau siap kembali ke clubhouse? Aku sudah memesankan pijat pasangan untuk kita pada pukul dua.
"Biar kutebak..." Aku tersenyum. "Pemijatku wanita?"
"Benar sekali. Aku satu-satunya pria yang boleh menyentuhmu.”
Dia menggandeng tanganku saat kami berjalan kembali ke mobil golf.
Aku sudah lupa betapa aku merindukan Elliot yang seperti ini. Sifatnya yang suka bercanda dan santai itulah yang awalnya membuatku tertarik padanya. Sekarang, di lapangan ini, hubungan kami kembali terasa indah.
Namun, ada gelagat yang menahanku untuk tidak menyerahkan diriku seutuhnya kepadanya. Seperti surat yang kuterima awal minggu ini.
Aku mencoba berhati-hati untuk memutuskan kapan harus membicarakannya, takut pertengkaran sekecil apa pun akan menyebabkan kemunduran dalam hubungan kami. Namun, aku tahu Elliot paling benci jika aku tidak jujur.
"Aku mendapat surat beberapa hari yang lalu." Sulit untuk menatap matanya saat dia sedang memasukkan tongkat golf ke dalam tasku. “Dari IRS. Mereka mengatakan ingin menyelidiki bisnisku untuk kemungkinan penipuan pajak.”
Elliot membeku sesaat, lalu menjawab, “Itu bukan apa-apa, sayang. Hanya investigasi rutin.”
“Aku tidak tahu bahwa aku memiliki bisnis...ternyata ada. Mengapa mengatasnamakan bisnismu dengan namaku?” aku menggalinya.
Elliot meletakkan tangannya di bahuku, menatap lurus ke mataku. “Andai kelak terjadi sesuatu, aku harus tahu kau akan baik-baik saja. Bahwa kelab malam akan baik-baik saja.
Ada beberapa orang yang bekerja denganku, yang tidak kupercayai untuk memegang bisnisku.” Dia memberiku senyuman yang menenangkan. “Aku percaya kepadamu, istriku. Kita bekerja sama dengan baik. Tidak ada orang lain yang lebih kupercaya di timku. Mengerti?”
Aku mengangguk. Elliot mencium keningku, lalu kami naik ke mobil golf.
Aku memikirkan kata-katanya saat kami berkendara kembali ke clubhouse.
Tanggapannya terdengar masuk akal.
Elliot telah membuktikan kepadaku bahwa dia ingin segalanya berjalan baik di antara kami. Itu berarti aku juga harus memercayainya.
Lobi itu penuh dengan anggota klub lain ketika kami masuk. Mataku tertuju kepada Danielle, salah satu teman wanitaku, yang sedang bersama suaminya. Mereka duduk berkelompok dengan teman-teman Elliot dan semuanya menyambut saat kami mendekat.
Aku melihat bahwa mereka semua memegang minuman di tangannya.
"Kalian berdua mau bergabung dengan kami untuk koktail sore?" Danielle bergumam saat aku mencium pipinya. Dia memberi isyarat kepada seorang pelayan.
“Tidak, terima kasih. Kami ada janji.” Elliot menolak minuman itu, dan hatiku sangat bangga. Aku tahu itu tidak mudah baginya.
Tanpa berpikir panjang, aku mendaratkan tanganku ke lehernya, dan mendekatkan bibirnya ke bibirku. Itu terjadi dengan cepat, tetapi juga penuh gairah, dan ketika aku menarik bibirku, aku menatap lekat matanya.
"Aku mencintaimu."
Aku tidak bermaksud mengucapkan beberapa kata itu. Aku sangat bangga kepadanya.
Teman-teman kami semua tersenyum menghargai.
Bibir Elliot berkedut, tangannya menyentuh pipiku. "Aku pun mencintaimu."
Kemudian ponsel di sakunya berdering dan mengalihkan perhatiannya dariku.
“Jawablah itu. Sepanjang hari ini kau mengabaikan pekerjaanmu demi aku.” Aku memberinya senyuman menenangkan.
Elliot mengedipkan mata, lalu mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menjauhkan diri dari kelompoknya sementara dia menangani apa pun masalah di tempat kerjanya.
Aku berjalan ke dalam bar. Salah satu dinding telah runtuh setelah ledakan, tapi aku tahu dia akan tetap di sini. Dia selalu mabuk-mabukan, dan tidak peduli apa yang orang pikirkan tentangnya. Dia hidup dengan diet miras. Sarapannya adalah bir.
"Dive," aku meminta perhatiannya dan matanya beralih dari minuman di depannya. "Aku butuh saranmu."
Selama bertahun-tahun, layanan dan peran Dive sebagai penasihat di klub telah memberinya hak untuk mengetahui elemen bisnis yang sebagian besar anggota lain tidak tahu.
"Kita akan kehilangan bisnis Elliot." Aku menarik bangku dan membanting ponselku ke meja bar. “Jika aku tidak membunuh Colt, Elliot akan merenggut semua usahaku. Kemampuan klub ini untuk menghasilkan uang, kekuasaanku—semuanya.”
Dive menengadahkan kepalanya ke belakang, tampak berpikir sejenak. "Aku akan memberitahumu sesuatu yang telah kupelajari seumur hidupku, dan Colt sangat memahami itu.”
Aku mengangkat alisku agar dia melanjutkan.
“Biasanya pria seperti Elliot tidak bisa disentuh. Dia memiliki semua kekuatan, tetapi dia juga memiliki kelemahan. Kelemahan itulah yang harus kau serang.”
Dia meletakkan birnya, pertanda jelas bahwa dia serius. Kurasa aku belum pernah melihatnya meletakkan minuman.
"Kendalikan Colt, atau"—matanya menatap mataku—"...mungkin ada solusi lain...yang melibatkan Scorp."
"Scorp?" Aku masih berharap Scorp akan kembali kepada kita.
Bagaimanapun, ada alasan mengapa dia menjadi penegak di klub. Meskipun aku tidak pernah bisa sepenuhnya memercayainya dan reaksinya terhadap kebebasan Colt membuktikan bahwa firasatku benar. Loyalitas Scorp terletak pada mantan ketua.
Dive duduk mendekat, matanya sedikit menggelap. "Loyalitas Scorp pada Colt bisa diragukan jika terjadi sesuatu kepada...seseorang yang spesial baginya."
Dia bersandar di bangku, mengambil birnya. Sekarang aku mengerti apa yang dikatakan bajingan tua dengan teka-tekinya ini.
"Kurasa kau ada benarnya," kataku, mengangguk.
"Dua burung dengan satu batu, Pick," katanya. "Kau memiliki kuasa lebih besar dari yang kau duga."
Dia benar. Apa yang sama-sama berharga bagi Elliot dan Scorp? Wanita cantik yang mereka sebut Summer, itulah dia.
Dive memberiku seringai ompong. "Aku akan mengatur pertemuan lain."
Aku mengangguk, berdiri. Memanfaatkan adik perempuan Scorp mungkin akan berhasil.