Direnggut - Book cover

Direnggut

DzenisaJas

Bab Tiga

Clarice Mont

"Selamat malam, sayang," bisik Kim kepada putrinya yang berbaring dengan tenang di bawah selimut beludru berwarna mawar, dengan tangan terselip di bawah bantal berwarna serasi.

"Bu..." Claire terdiam, giginya sedikit menyentuh bibirnya dengan gugup saat dia menatap dinding di depannya.

"Iya, sayang?" tanya ibunya, berhenti di dekat kusen pintu menghadap putrinya yang terlalu polos.

"Siapa Alpha dari semua Kaum Serigala, dan mengapa dia begitu penting?" dia bertanya penuh keingintahuan, tatapannya tidak beralih dari dinding di depannya.

"Yah, dia seperti seorang Raja. Dia berkuasa atas semua jenis manusia serigala, dan dia seperti Alpha kita, tetapi jauh lebih kuat. Apakah kamu mengerti?"

"Ya, agak. Apakah dia orang jahat? Kenapa Ibu dan Ayah tidak pernah menyebut dia sebelumnya?" Claire bertanya sambil mengernyit dan warna matanya ada putaran gelap karena serigalanya yang gelisah.

"Em, dia bukan orang terbaik di luar sana, tetapi siapa Ibu untuk menilai seorang pria yang belum pernah ditemui? Dan kami belum pernah pernah punya alasan untuk menyebutnya. Sekarang, selamat malam, sayang, tidur yang nyenyak."

Clarice tidak memiliki kesempatan untuk bertanya lebih jauh, melihatnya dengan cepat mematikan lampu kamar dan menutup pintu.

Clarice diselimuti kegelapan kamarnya, dan tatapannya masih terpaku pada dinding saat pertanyaan tentang Alpha yang kuat mulai menari di pikirannya.

"Alpha dari semua Kaum Serigala," bisiknya pelan sebelum dia merasa matanya sayu karena kelelahan yang tiba-tiba membebani tubuh kecilnya.

***

"Greta, apakah kamu pergi ke rapat kawanan kemarin?" Claire bertanya kepada sahabatnya dengan penasaran, Greta menyampirkan seikat rambut cokelat gelap keritingnya ke belakang telinganya sebelum mengangguk.

"Ya. Dengan saudara laki-laki dan ayahku, ibuku tidak bisa datang karena sakit, ia berubah wujud di bagian hutan yang salah dan terkena terlalu banyak bakteri."

Greta adalah tipe orang yang jika dia tidak tahu harus berkata apa lagi saat berbicara, dia akan menyampaikan informasi sembarangan yang tidak perlu diketahui siapa pun.

"Aku tidak percaya kawanan kita akan dikunjungi Raja Alpha yang kuat hari ini. Ini sangat mendebarkan," kata Claire penuh semangat.

Wajah Greta turun dan dia menatap Claire seolah dia telah tumbuh tiga kepala.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" Claire bertanya kepadanya sambil tersipu malu, Greta menghela napas.

"Apakah orang tuamu tidak memberitahumu tentang hobi dan kepribadian Raja Alpha?" Greta bertanya dengan hati-hati. Claire membeku - dia akhirnya menyadari bahwa dia sebenarnya tidak memiliki informasi yang benar tentang pria yang akan mengunjungi kawanan mereka.

"Tidak."

"Yah, hobinya adalah segala sesuatu yang dimulai dengan pembunuhan dan diakhiri dengan pembunuhan. Dia yang tertua dari bangsa kita, dan tampaknya..." Greta mendekati Claire yang bersemangat, terkejut dan jijik dengan informasi kecil yang didengarnya.

"Tampaknya, dia tidak dikaruniai belahan jiwa seperti setiap manusia serigala lainnya karena sudah lama sekali, dan belum pernah terdengar dia bersama seseorang. Dari apa yang kudengar, dia juga memiliki kepribadian yang sangat buruk," lanjut Greta.

Matanya menyipit saat berbicara dan ada sedikit kegelisahan dalam suaranya.

"Dia bagaimana?" Claire bertanya, matanya sedikit lebih lebar dari biasanya dan wajahnya pucat - ayahnya benar.

Sekian lama dia telah begitu terlindungi, sehingga dia tidak kuat mendengar sesuatu yang tidak biasa.

"Dingin. Seperti es. Kejam dan tanpa ampun. Maksudku, ada desas-desus yang beredar beberapa waktu lalu bahwa dia mencabuti anggota tubuh seorang pria dan meninggalkannya untuk menderita hanya karena dia memberinya informasi palsu atau semacamnya."

Claire terkesiap pelan, seluruh tubuhnya bergetar, tapi dia hanya tertawa gugup - berharap kata-kata ini hanya lelucon.

"Mungkin... mungkin dia tidak seperti itu. Maksudku, kita tidak boleh percaya setiap rumor yang kita dengar, apalagi jika kita tidak mengenal pria itu," kata Claire dengan gemetar.

Dia menyilangkan tangannya agar tidak gemetar, tetapi dia tidak bisa menghentikan wajahnya yang terus memucat karena sangat ketakutan.

"Claire, dia adalah Raja kita. Yang tertua dari bangsa kita. Dia telah mengalami kengerian. Jadi, tentu saja tidak akan ada kemanusiaan yang tersisa dalam dirinya. Sejujurnya, kurasa itu wajar saja."

Claire menggigiti bibir bawahnya sambil menatap kuku kakinya yang baru dicat merah muda.

Greta menyadari kegelisahan di wajah Clarice dan segera berharap dia bisa mengambil kembali semua informasi yang dia berikan kepada sahabatnya yang polos.

"Mungkin... mungkin aku seharusnya tidak memberitahumu semua itu," bisik Greta pelan, tetapi karena indranya yang menajam - Clarice dengan mudah mendengarnya dan segera menggelengkan kepalanya dengan mata terbelalak.

"Tidak! Aku malah bersyukur. Tanpamu, aku akan menjadi orang luar. Aku tidak akan tahu apa yang baru saja kau katakan."

"Mungkin lebih baik orang tuamu tidak memberitahumu. Kurasa kau belum siap untuk semua informasi ini, Claire," Greta memberitahunya dengan gelisah sambil mengusap punggung sahabatnya.

"Itu tidak lebih baik bagiku! Aku akan menjadi satu-satunya orang yang bersemangat untuk kunjungannya, dan semua orang akan mempertanyakan kesehatan mentalku... Orang tuaku memperlakukanku seperti anak kecil, Greta. Aku tidak membutuhkanmu untuk memperlakukanku begitu juga."

Greta menghela napas ketika dia menyadari bahwa Clarice benar - dia bukan lagi bayi, dan menyembunyikan informasi ini darinya tidak akan baik.

"Baiklah, aku hanya tidak ingin kamu panik." Greta berkata lembut, matanya mengamati Clarice yang terlihat lelah.

Clarice menghela napas sambil mengusap pelipisnya, wajahnya masih jauh lebih pucat dari biasanya, dan Greta dengan mudah membedakannya.

"Terlambat..." goda Clarice, berusaha keras untuk mencairkan suasana, tapi cemberut Greta sudah cukup untuk membuat mereka berdua kembali gelisah.

***

"Apa yang akan kamu kenakan untuk pertemuan itu?" Kim bertanya kepada putrinya, yang duduk diam di tepi tempat tidurnya.

Clarice mengangkat bahu, ada badai kecil di mata hijaunya dan ibunya segera menyadarinya.

"Ada apa, sayang?" Kim bertanya kepadanya sambil berjalan menuju tubuh kecilnya dan meletakkan tangan di bahunya.

"Bu... Apakah dia datang ke sini untuk menyakiti seseorang?" Clarice bertanya dengan cemas, matanya melebar tapi alisnya berkerut.

"Apa? Siapa?" ibunya bertanya dengan bingung, menatap putri kecilnya dengan penasaran.

"Raja."

"Apa? Untuk apa dia menyakiti seseorang?" Kim mencoba untuk tetap tenang, tetapi bahkan dia tidak bisa berbohong ketika berbicara tentang Raja yang berbahaya.

Clarice mengangkat bahu, lalu bangun dan mengambil pakaian yang sudah disiapkan, kemudian dengan cepat pergi ke kamar mandinya.

Kim khawatir dan tercengang - yang bisa dipikirkan hanyalah - 'siapa yang memberitahunya bahwa Raja akan datang untuk menyakiti seseorang?'

Setelah sepuluh menit mempersiapkan diri, Clarice akhirnya keluar dari kamar mandinya dan menyadari bahwa ibunya masih berada di kamarnya.

"Bu, kenapa masih di sini? Apakah Ibu tidak harus bersiap-siap juga?" Clarice bertanya sambil melihat pakaian biasa ibunya.

"Emm, Ibu hanya ingin melihat pakaian yang kamu pilih, dan Ibu senang dengan itu. Sekarang, Ibu bisa pergi... emm, selamat tinggal," Kim tergagap sebelum berlari keluar dari kamar putrinya.

"Aneh," gumam Clarice pelan sebelum menarik napas dalam-dalam dan menggelengkan kepalanya.

Dia melihat ke bawah kepada pakaian 'pantas untuk pertemuan' miliknya dan tersenyum.

Dia mengenakan gaun pendek biru muda yang menyanjung tubuhnya, sepanjang setengah paha, ia memasangkannya dengan sepatu balerina putih.

Dia berbalik menghadap cermin bundarnya, dan memutuskan hanya akan menata rambut cokelat kemerahannya yang sulit diatur menjadi sanggul berantakan.

Begitu dia menata rambutnya, dia meronakan pipinya yang cokelat, sedikit pelembab ke bibirnya tipisnya dan sedikit maskara di bulu matanya yang sudah panjang.

"Itu saja," katanya, lalu mengembalikan riasan terakhir yang digunakan, dan berjalan keluar dari kamarnya yang kecil.

"Ayo, gadis-gadis! Kita harus pergi!" Ayahnya terdengar sangat gelisah, dan dia menyadarinya, tetapi tidak mengatakan apa-apa saat sampai di bawah tangga.

"Yah, kamu cantik sekali, sayang." Clarice tersipu mendengar pujian ayahnya sambil menundukkan kepalanya sedikit, dia mengikik.

"Dan itu jodohku yang cantik," kata Nathaniel saat Kim menuruni tangga dan menghampiri mereka - Clarice berbalik dan melihat penampilan ibunya.

Sama seperti Clarice, dia mengenakan gaun pendek, tapi warnanya merah, dan panjangnya sampai di bawah lututnya. Dia memasangkan gaun itu dengan sepatu berhak berwarna krem dan rambutnya dikucir kuda yang rapi.

"Nathaniel." Kim tersipu sambil menggelengkan kepalanya - Clarice tetap diam, dan orang tuanya tidak menyadarinya bahkan sampai mereka semua mulai meninggalkan rumah tanpa suara.

Clarice menyadari bahwa orang tuanya memblokir dia dari kepala mereka yang berarti mereka sedang bertelepati dan dia tidak bisa menahan perasaan serigalanya menggeram dengan gelisah.

Dia ingin tahu apa yang mereka bicarakan, tetapi mereka tidak mengizinkannya untuk mendengar - bahkan ketika mereka memasuki rumah kawanan di mana ada banyak obrolan keras, dan banyak kekacauan.

Next chapter
Diberi nilai 4.4 dari 5 di App Store
82.5K Ratings
Galatea logo

Unlimited books, immersive experiences.

Galatea FacebookGalatea InstagramGalatea TikTok