
Aku duduk di tepi tempat tidurku selama berjam-jam, tidak bisa tidur. Kalau aku menebak, ini karena hawa panas di kamarku dan juga kegugupan yang belum juga hilang.
Mengatakan ya kepada Kace di lamaran itu akan selamanya menjadi kenangan buruk yang membara di benakku.
Belum lagi foto-foto keluargaku di sekitar ruangan ini yang semakin membuat pikiranku kacau. Ini pasti cara Kaden untuk mengintimidasi orang-orang yang diculiknya.
Aku berdiri dan mondar-mandir selama beberapa saat.
Aku memiliki sifat bawaan penasaran yang tinggi, dan saat ini perasaan itu mendesak, memintaku untuk menurutinya. Aku ingin keluar dari sini—bukan keluar untuk kabur, hanya untuk menjelajah sebentar, dan aku tidak akan mencoba hal-hal bodoh semacam berlari kabur, karena aku tahu hal itu hanya akan gagal.
Meskipun jika nanti sebuah kesempatan itu muncul dengan sendirinya…
Setelah mengumpulkan keberanianku, aku mencoba membuka pintu. Yang mengejutkannya, pintu itu berayun terbuka.
Aku mengintip keluar, melihat ke bawah lorong. Aku berharap melihat Coen di sana, tetapi tempat itu sepi. Aku merasakan senyum licik melayang di bibirku.
Aku berjalan menyusuri lorong, menjaga langkah kakiku seringan mungkin. Akan sangat mengecewakan jika aku tertangkap sebelum melakukan apa pun saat ini.
Yang juga mengejutkan adalah, tempat itu begitu sunyi, tanpa tanda-tanda kehidupan di mana pun.
Hal ini membuatku gugup, rasanya seperti sedang berjalan menuju ke dalam jebakan.
Aku menuruni beberapa anak tangga, memeriksa sebelah kiri dan kananku. Keadaannya aman, dan aku memilih pergi ke kanan.
Rute yang aku pilih membawaku ke dalam kegelapan, semakin aku jauh pergi, semakin redup lampu yang menerangi langkahku. Perasaanku kini sedikit ngeri.
Kenyataan bahwa aku dapat ditangkap setiap saat memberikanku perasaan yang anehnya mengasyikkan.
Aku tidak pernah keluar dari aturan selama hidupku, dan ini adalah risiko pertama yang berani aku ambil.
Aku menuruni dua anak tangga lagi.
Yang pertama terlihat baru saja dipoles, dan aku bisa kapan saja tergelincir di sana.
Anak tangga berikutnya terbuat dari batu dan memiliki satu lampu yang meneranginya.
Aku tahu aku harus berhenti sekarang dan menelusuri kembali langkahku, kembali ke kamar dan tidur, tetapi rasa ingin tahuku lebih besar dan menarik diriku seperti anjing yang terikat.
Semakin jauh aku pergi, semakin aku ingin pergi dari sini.
Aku berhenti. Suara aneh terdengar muncul dari bawah yang langsung membuatku menggigil ketakutan.
Suara itu hanya bisa digambarkan seperti suara benturan keras, seperti logam yang beradu di atas logam yang lain.
Hal itu membuatku merinding dalam sekejap dan membuat darahku menjadi dingin dengan seketika.
Aku harus menyelidiki sumber suara itu, atau aku akan menghabiskan sepanjang malam di kamar dengan penasaran dan bertanya-tanya suara apa itu.
Aku bergerak dengan lebih lambat sekarang, menuruni tangga dengan lebih hati-hati, aku berjalan menuju ke arah suara itu berasal.
Terdengar semakin keras saat aku terus menuju ke bawah.
Pada saat aku berada di kaki tangga, suara itu terdengar begitu keras, hampir-hampir memecahkan gendang telingaku.
Di bawah sini suhunya jauh lebih tinggi, dan aku bisa merasakan keringat mengucur di dahiku.
Aku merapikan rambutku yang tergerai ke wajahku dan terus bergerak.
Aku masih tidak tahu apa yang akan aku temukan di sini.
Orang normal mungkin akan berbalik pulang pada saat ini, tetapi setelah aku pikir-pikir aku tidak akan rugi apa-apa, jadi aku terus berjalan.
Aku melewati beberapa pintu, memeriksa setiap kamar saat aku lewat dan mengetahui bahwa suara itu berasal dari ujung lorong tempat aku masuk tadi.
Aku kini berada di depan pintu yang terbuka sebagian dan mendengar seseorang bergerak di dalam, sedang menggedor-gedor sesuatu.
Aku tidak tahu apa yang mungkin akan aku temukan, dan aku tahu aku sedang mempertaruhkan hidupku saat ini.
Aku menggigit bibirku, dan merayap mendekat dengan berjinjit. Berdoa agar tidak ketahuan, aku mengintip dari balik pintu dan terkesiap melihat apa yang kulihat.
Seorang pria. Telanjang. Yah, hampir telanjang.
Mataku mulai menyapu dari kakinya, lalu naik ke celana hitamnya, ke punggungnya yang telanjang.
Garis-garis tinta yang rumit menghiasi otot-ototnya yang berwarna kecokelatan dan bermandikan sedikit keringat.
Tatapanku kini melihat ke arah lengannya yang berotot, yang sedang memegang semacam palu baja besar.
Rambutnya yang hitam sedikit berantakan di atas kepalanya.
Orang asing itu mengayunkan palu ke sesuatu yang terbuat dari logam dengan sangat keras, membuatku melompat terkejut.
Aku ingin melihat apa yang dia lakukan, dan, saat dia membelakangiku, aku menyelinap ke dalam ruangan. Aku tahu ini bodoh, tapi aku tidak bisa menahan diriku sendiri.
Sekarang aku melihat bahwa dinding ini tertutup dengan berbagai senjata.
Ada pedang, belati, segala macam pisau dan senjata lainnya, semuanya berkilau dan terlihat mematikan.
Tidak seharusnya aku berada di sini. Pria ini mungkin psikopat yang akan langsung membunuhku jika dia melihatku.
Aku tergoda untuk mengambil salah satu senjata untuk digunakan melawannya, tapi, sekali lagi, aku tahu aku tidak punya nyali untuk benar-benar melakukannya. Dan juga, hal itu bertentangan dengan agamaku.
Sekarang aku berharap, seandainya saja dulu orang tuaku mengajari aku bela diri.
Aku berbalik ke pintu, tapi kakiku tersandung sesuatu—dan aku terjatuh.
Aku bergegas berdiri, tapi aku terlalu lambat untuk melarikan diri.
"Berhenti di sana!" pria itu berteriak.
Aku melompat ketakutan. Suara itu langsung terdengar familier, dan hal itu membuat hatiku merinding ketakutan.
Aku berhenti, jarak pintu itu dan posisiku berdiri hanya beberapa inci jauhnya.
Perlahan-lahan, aku berbalik, mengangkat kedua tanganku seolah-olah dia sedang menodongkan pistol ke arahku.
Tatapanku kini bertemu dengan sepasang mata hitam obsidian.
Mereka begitu gelap sehingga aku bisa melihat bayangan ketakutanku sendiri di dalam irisnya.
Dia menatapku dari bawah lapisan rambutnya yang tebal.
Pria itu menatapku dari balik helaian rambutnya yang menutupi acak sebagian dahinya.
Wajahnya adalah sesuatu yang tidak bisa aku gambarkan dengan kata-kata. Aku ingin menyentuhnya, merasakan setiap kontur kulit yang terlihat kenyal, tetapi aku menahan jari-jari yang gemetar agar tetap berada di samping.
Mataku menelusuri, mengamati setiap detail perutnya yang terbentuk dengan baik.
Yang benar-benar menarik perhatianku adalah ujung pedang yang dia pegang begitu dekat ke wajahku.
"Mara," bisiknya dengan suara serak.
Dan aku tahu pasti… Aku hampir tidak bisa bernapas karena kejutan ini membuatku lemas. Aku tahu persis siapa pria yang sangat menarik ini.
“Kaden.”
Rahangnya mengeras—rahang yang berbentuk sempurna, mau tak mau aku melihatnya—saat dia melemparkan pedangnya ke samping dengan bunyi denting ke atas meja kerjanya.
Aku tetap diam, tapi tidak bisa mengalihkan pandangan darinya.
Mengatakan penampilan Kaden tidak seperti yang aku harapkan adalah sebuah pernyataan yang meremehkan.
Aku selalu berasumsi dia menyembunyikan wajahnya dariku karena malu.
Aku mengira dia jelek, bahkan mungkin cacat.
Aku sudah berpikir terlalu jauh dari kebenaran.
"Kau seharusnya tidak berada di sini," gumamnya.
Aku berjuang keras untuk mengalihkan pandanganku darinya dan akhirnya berhasil mengalihkan pandanganku ke lantai.
Aku sadar bahwa aku mungkin terlihat konyol baginya, berjalan mondar-mandir di markas Kawanan Pembalasan hanya dengan mengenakan gaun tidur tipis.
Dia menghela napas dan mengambil kain dari bangku untuk menyeka dahinya.
Aku menjilat bibirku dan, mendongak, akhirnya menemukan suaraku.
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
Tatapannya menoleh ke arah dinding yang penuh dengan senjata.
“Itu hobiku. Mengubah sesuatu yang berbahaya seperti senjata menjadi sebuah karya seni,” katanya kepadaku.
Nada suaranya enggan, tapi aku juga merasakan kebanggaan dalam suaranya.
Inilah yang benar-benar penting baginya. Aku mencoba melakukan yang terbaik untuk tidak terlihat kagum.
"Seni yang mematikan," gumamku pelan.
Kaden kemudian mengenakan sarung tangan kulitnya tanpa sekali pun mengalihkan pandangannya dariku.
Aku tidak bisa menahan keinginan untuk kembali menatapnya. Akhirnya aku mengalihkan pandanganku ke dinding senjata.
Ketakutan membanjiri tubuhku ketika aku menyadari posisiku saat ini, aku mencoba melarikan diri, dan sekarang penyiksaku ada di sini dengan ruangan yang penuh dengan senjata tajam yang mudah dijangkau.
“Seharusnya kamu tidak berada di bawah sini. Seharusnya aku sudah membungkukkan dirimu di sisi tempat tidurku sekarang karena perilakumu,” geramnya, sambil meremas-remas tangannya.
Jantungku berdegup kencang mendengar kata-katanya.
Lalu dia mengulurkan tangannya kepadaku. “Sayang sekali itu tugas Kace.”
Pada saat yang sama aku muak dengan kata-katanya, tapi aku lega dia tidak mengancam hidupku atau melakukan sesuatu yang mengerikan.
Aku sudah cukup melakukan banyak hal bodoh, setelah membuat tangannya menggantung selama beberapa saat di depan semua senjatanya.
Aku meraih tangannya, dan kuharap dia tidak menyadari betapa aku gemetar saat ini.
Sentuhan bahan kulit di antara jemari kami sedikit membuatku gugup.
“Kenapa kau tidak pernah menyentuhku?” semburku saat kami meninggalkan ruangan.
Aku menyesali pertanyaan itu segera setelah menanyakannya, dan aku langsung menggigit bibirku.
Tiba-tiba keberanianku muncul, aku memutar mataku. “Maksudku, ada apa dengan sarung tangan kulit itu? Kenapa kamu tidak menyentuh kulitku secara langsung?”
Dia mendengus. "Kenapa? Kamu menginginkan sentuhanku?”
Aku menggelengkan kepalaku, dan dia tertawa pendek saat kami mulai menaiki tangga.
"Aku hanya ingin tahu," kataku jujur kepadanya. Dan itu memang benar. Tiba-tiba, aku tidak lagi menyesali rasa ingin tahuku. Lihat bagaimana hasilnya sekarang.
Hal itu membuatku berpikir sejenak—apakah Kaden akan menunjukkan wajahnya kepadaku jika aku tidak memaksanya?
"Keingintahuanmu ada hukumannya," dia menggeram dengan serius.
Aku mengulangi permintaanku untuk menyentuhnya beberapa kali, tetapi dia tidak menjawab sampai kami berada di lantai paling atas, dekat kamar tidurku.
Bahkan, dia tampaknya sama sekali tidak menyadari apa pun yang aku katakan sampai kami berdiri di depan pintu kamar ini.
"Namun, serius, kenapa kamu tidak bisa menyentuhku?" Aku bertanya, kali ini jengkel.
Aku tidak mengerti mengapa Coen dengan bebas melepas sarung tangannya dan menyentuhku, tapi Kaden tidak.
"Percayalah, jika aku menyentuhmu, kamu akan tertarik kepadaku," katanya pelan.
"Itu yang kamu katakan tentang wajahmu, sekarang aku sudah melihatnya dan tidak merasakan apa-apa," kataku kepadanya.
Aku tidak tahu apakah aku berbohong atau tidak. Namun, aku tahu aku bisa menatapnya untuk waktu yang sangat lama dan tidak akan pernah bosan.
Dia tiba-tiba maju ke depan, meraih lenganku, dan mendorongku ke dinding, satu tangan lainnya memegang pergelangan tanganku di atas kepalaku.
Yang lain mendorong pinggulku ke dinding, jadi tidak ada satu inci pun kulitnya yang menyentuhku.
“Jangan main-main denganku, Mara! Tidak saat aku serius mempertimbangkan untuk menggorok lehermu atau merobek pakaianmu,” desisnya.
Bibirnya begitu dekat denganku, aku merasakan napasnya berembus hangat di kulitku.
Aku tidak mengatakan sepatah kata pun, tetapi sepertinya napasku yang memburu memberinya semua jawaban yang dia butuhkan.
Dia melepaskanku dan mendorongku ke kamarku. Aku tersandung ke belakang, lalu mencoba untuk mendapatkan keseimbanganku kembali.
"Hukumanmu akan dimulai besok," gumamnya, sebelum menutup pintu di hadapan wajahku yang tercengang.