Simone Elise
ABBY
Tahun demi tahun perlahan berlalu dan sejujurnya tidak ada peristiwa yang menarik.
Tampaknya semakin hari aku menjadi sedikit lebih aneh dan pelan-pelan tidak begitu tertarik lagi dengan sekolah. Akhirnya, aku mencapai titik di mana menjadi tidak terlihat—tidak seperti kembarku, Kim.
Dia benar-benar terlihat—kapten regu pemandu sorak, sekarang berkencan dengan salah satu pria paling populer di sekolah.
Ingat, dia juga masih berhubungan dengan Trigger.
Trigger, mungkin karena alasan aneh dan kemungkinan besar sesat, menyukainya.
Aku menarik diri dari komunitas—komunitas pengendara motor dan komunitas normal—serta seperti yang sering dikatakan Kim kepadaku, aku adalah “pertapa dengan pensil”.
Menggambar hanya satu-satunya hal yang aku tekuni dan kalau dikatakan melakukannya menghabiskan sebagian besar hidupku, maka sebenarnya lebih dari itu.
Ulang tahun kami yang ke-18 semakin dekat, yang kurang lebih itulah alasanku berada di kantor Ayah duduk di sebelah Kim.
"Ayah sudah janji." Kim mendengus dan menyilangkan lengannya. “Ayah tidak bisa mengingkari janji.”
Ayah tidak pernah mengingkari janji.
Sudah janjinya kepada Ibu bahwa dia tidak akan keras kepada kami dan benar-benar mengizinkan kami berkencan. Itulah kenapa Kim punya pacar yang sekarang masih hidup.
“Tidak bisa semua gadis di bawah umur itu ada di sini, Kim; Ayah tidak mau nanti ada masalah di klub.”
Ayah menggosok pelipisnya, tampak seperti raksasa di belakang mejanya.
Dia mencukur rambutnya setahun yang lalu sebagai tantangan dan menyukainya.
Sejak saat itu, dia selalu mencukurnya.
Menurutku secara pribadi, dia terlihat lebih muda, tetapi Kim mengatakan dia melakukannya demi Leah, pacarnya yang sekarang, menyukainya.
"Ayah, kebanyakan temanku sudah berusia di atas 18 tahun dan kalau mereka ingin main-main dengan pengendara motor, biarkan saja." Kim mengangkat bahu.
"Kamu mau apa, Abby?" Ayah melihat ke arahku. Untuk pertama kalinya pada malam ini, aku dimintai pendapat.
Bagaimana menurutku tentang mengadakan pesta ulang tahun ke-18 yang terlalu mahal dan secara besar-besaran?
"Aku benci ide itu."
"Tentu saja kamu benci." Kim memutar matanya dan memelototiku. "Kamu enggak punya teman."
"Ada-ada saja. Kamu mengundang seluruh murid di sekolah, Kim, seolah-olah semua temanmu.”
"Yah, enggak ada satu pun dari mereka temanmu—itu sudah pasti." Dia ada benarnya juga.
"Anak-anak," Ayah menggeram sebagai peringatan.
“Aku punya teman.”
"Ya, dua orang," Kim mencibir. "Kalau kamu menganggap si anak emo aneh berambut hitam dan kakaknya itu sebagai teman."
Aku sangat akrab dengan Kayla Knight—satu-satunya temanku—dan kakaknya, Jace. Aku juga menganggapnya teman.
Meskipun dia satu setengah tahun lebih tua dari kami dan sudah kuliah.
"Kenapa kita repot-repot menyebutnya sebagai pesta bersama, kalau begitu?" bentakku.
Sekali lagi, Kim memancing amarahku.
“Ini kan pestamu, bukan pestaku. Aku hanya ingin bersantai di kamar dan enggak melakukan apa-apa. Namun, enggak begitu. Kamu harus mengadakan acara besar-besaran ini!”
"ANAK-ANAK!" Ayah meraung, membuat kami terdiam.
Kim memelototiku dan aku membalas tatapannya.
Kami mungkin berusia 18 tahun, tetapi itu bukan berarti telah dewasa ketika bertengkar.
“Oke, Kim, kamu boleh mengadakan pesta, tapi semua orang yang masuk ke dalam markas ini harus tahu aturannya. Pestanya hanya di area pub. Tidak seorang pun boleh masuk ke dalam markas maupun garasi. Abby.”
Mata Ayah tertuju kepadaku, dan untuk sepersekian detik, aku melihat pancaran belas kasihan. “Kamu tidak perlu hadir kalau tidak mau. Aku tahu ini bukan tipe acara kesukaanmu.”
"Ya ampun, Ayah, dia tidak punya tipe acara kesukaan apa-apa," Kim menyela.
Selama di sekolah menengah, aku harus menghadapi omong kosong ini.
Ketika Kim tidak sedang merundungku, semua orang mengabaikanku, dan sekarang, aku sudah muak.
"Aku benci kamu, Kim," desisku di wajahnya, "dan lain kali kamu ditampar orang, jangan berharap aku akan melindungi dan membelamu."
Aku mendorong kursi ke belakang dan bangkit.
Mengapa aku selalu memilih untuk menjadi kembaran lebih baik?
Ketika Kim dipojokkan oleh Megan kemarin di sekolah, aku bahkan tidak berpikir dua kali untuk ikut campur demi melindunginya.
Kim tidak bisa memenangkan perkelahian, meskipun dia mau. Tidak terhitung lagi berapa kali aku harus ikut campur.
"Kamu mau ke mana?" Ayah bertanya ketika aku membuka pintu, siap-siap bergegas keluar dari hadapan mereka berdua.
“Keluar—dan tidak, aku tidak tahu kapan akan pulang, dan tidak, aku tidak mau bilang akan pergi ke mana, dan ya, aku akan pulang ke neraka terkutuk yang kusebut rumah ini sambil mabuk,” cibirku sebelum membanting pintu.
Aku membenci Kim dan juga Ayah karena tidak pernah membelaku.
REAPER
Aku meletakkan kaki di atas meja, membaca koran. Sekali lagi, Klub Motor Para Putra Setan ada di halaman depan.
“Yo, Ketua.” Liam mengetuk pintu ruanganku sebelum masuk.
Aku belum terbiasa dipanggil Ketua, tetapi setelah Dane ditembak mati di jalanan enam bulan yang lalu, aku harus menggantikannya.
"Ada apa, Liam?" Aku meletakkan korannya.
"Teman-teman dan aku punya permintaan." Bibirnya melengkung sedemikian rupa sehingga aku tahu ini ada hubungannya dengan wanita dan minuman keras.
“Apa itu?”
"Kau tahu K.I.?"
Pertanyaan bodoh, apakah aku tahu Klub Induk?
Aku ingin mengejek, tetapi batal.
Aku menjaga ekspresi wajahku agar tetap normal, meskipun bayangan Abby melintas di benakku. "Ada apa dengan mereka?"
“Putrinya Roach mengadakan pesta ulang tahun yang ke-18 akhir pekan ini. Kupikir kita bisa menjadi rekan-rekan yang baik dan menawarkan bantuan, kau tahulah, merayakan kedua putrinya yang beranjak dewasa.”
Lebih terkesan dia dan yang lainnya ingin bercinta dengan para gadis yang baru saja cukup umur. "Begitu, ya?"
Abby berumur 18 tahun.
Aku teringat kembali ke Minggu pagi itu.
Senyum di wajahnya itu.
Aku penasaran apakah dia bahkan mengingatnya.
"Jadi bagaimana, Bos?" dia bertanya.
Aku telah menunggu alasan untuk berkendara dalam perjalanan selama tujuh jam agar bisa kembali kepadanya.
Dia mungkin bahkan tidak mengingatku.
Mungkin menganggapku sebagai lelaki tua yang memanfaatkannya di taman.
"Beri tahu rekan-rekan kita akan pergi beberapa jam lagi," jawabku kepadanya.
Bahkan jika Abby tidak mengingatku, aku benar-benar mengingatnya dan ingin melihat bagaimana dia tumbuh dewasa.
Aku ingin tahu apakah malam itu berarti baginya sama halnya seperti bagiku.
ROACH
Pada Jumat pagi, aku sudah ketakutan akan akhir pekan. Kim sedang mengecat kuku jari-jari tangannya di ujung meja makan, nyaris tidak mengenakan pakaian sama sekali, dan para anak buahku menyadarinya.
Berapa kali aku menyuruhnya untuk berpakaian lebih sopan?
Klub Motor Barat telah datang pada larut malam kemarin.
Senang rasanya mereka kembali, meskipun aku tahu alasan kunjungan mereka karena memikirkan daun-daun muda.
Mau bagaimana lagi, mereka telah di sini, dan begitu akhir pekan selesai—serta kami berhasil melewati pesta bodoh ini—kami mungkin bisa mengadakan pesta klub yang sebenarnya, pesta tanpa hiasan balon-balon merah muda di seluruh pubku.
“Pagi, Saudaraku.” Reaper masuk, kelihatan seperti begadang semalaman.
Mejanya dipenuhi makanan; para wanita klub telah berusaha keras untuk menyambut kunjungan klub motor lain.
"Kau berantakan sekali, Reaper."
Aku meletakkan koranku, melihat ke arah pria yang sekarang menjadi ketua Klub Motor Barat kami.
“Pagi, Reaper.” Kim mengalihkan pandangan dari kuku jari-jarinya, menunjukkan senyuman yang tidak kusuka dia perlihatkan kepada siapa pun.
“Kim, kan?” Reaper nyaris tidak meliriknya dan meraih daging asap yang baru dimasak.
Kim tampak kecewa selama sepersekian detik, melihat Reaper tidak terlalu memperhatikannya seperti yang diharapkannya.
Nah, ini dia, ada pria yang tidak mengejar-ngejar putriku.
Menurutku, Reaper boleh tetap di sini.
"Ya." Dia tersenyum dengan senyuman itu lagi dan meniup kukunya. "Jadi, tidurmu nyenyak?"
"Kim, apa ada sesuatu yang perlu kamu kerjakan?" Aku menyalak.
Aku tidak akan membiarkannya mengobrol dengan pria lebih tua darinya.
Aku mungkin telah berjanji kepada ibunya bahwa akan membiarkan mereka menjalani kehidupan berkencan semi-normal, tetapi ini di luar janji itu.
"Tidak." Dia melihat ke arahku, mengejek dengan seringainya.
“Di mana kakakmu? Coba cari dia, cek apa sudah siap untuk akhir pekan ini?”
Abby tidak kelihatan sejak bergegas keluar tempo malam. Bukannya Abby ingin membuat keributan, tetapi aku tahu Kim memojokkannya.
"Aku belum melihatnya lagi sejak dia pergi."
"Pergi?" aku bangkit dari tempat dudukku. “KAPAN PERGINYA?”
Kim menatapku dengan ekspresi kosong. Jika dia bukan putriku, akan kutampar dengan bagian belakang tanganku.
“Sejak dia pergi tempo malam. Ayah kan juga ada waktu itu.”
"Maksudmu Abby belum pulang selama dua hari?"
"Bisa-bisanya Ayah tidak tahu." Kim menundukkan kepalanya ke samping, mengerutkan kening. “Yah, sepertinya dia juga tidak terlihat oleh Ayah.”
Aku mengeluarkan ponselku, menekan nomor kontaknya, dan ketika dia tidak mengangkat pada nada dering ketiga, aku jadi khawatir.
"Kenapa kamu tidak bilang dia belum pulang?"
Bayangan dia diperkosa dan dibiarkan sekarat sampai mati di selokan suatu tempat terlintas di benakku.
Darahku mendidih dan tampak di wajahku.
Kenapa aku tidak memeriksanya lebih awal?
Benar-benar dua malam dia tidak di sini.
Dan tidak biasanya Abby-ku menghilang seperti ini.