
Dia berhasil.
Olivia berhasil menjadi wanita gila di taman.
Dia menggigiti kuku ibu jarinya, matanya melesat ke segala arah, tubuhnya siap melompat jika melihat pria itu.
Jelas, sesuatu di otaknya akan serba salah kapan saja Alexander berada di dekatnya, jadi dia telah memperbaiki situasinya. Untuk itu, dia bersembunyi sejauh mungkin dari apartemennya.
Dia memilih taman umum, berbaur dengan duduk di bangku. Ditambah lagi? Dia tidak mengenakan gaun. Karena… yah, persetan dengan pria itu.
Bahkan jika Alexander mencoba melacaknya, banyak aroma akan mengaburkan penciumannya.
Semoga.
Dia gadis yang cerdas—setidaknya dia berpikir begitu—tapi dia tidak menyadari bahwa ada beberapa—sebut saja kekurangan—dalam rencananya. Salah satu di antaranya? Berapa lama dirinya akan tinggal di sini?
Dia membalik pergelangan tangan dengan cepat untuk melihat arlojinya. 14.15. Satu jam lewat dari waktu di mana Alexander akan menjemputnya. Apa Alexander akan tetap menunggu di depan pintunya sampai Olivia kembali?
Dia bisa pergi ke tempat lain untuk hari itu. Namun, lalu apa? Alexander tahu di mana dia tinggal. Apa yang akan mencegahnya datang hari demi hari?
Tidak ada yang akan menghentikan pria itu dari menguntit hidupnya sampai hari Olivia meninggal.
Dia akan hidup di bangku ini jika harus, dia tidak peduli.
Mungkin dia bisa pindah? Ya. Pindah, itu sebuah pilihan. Dia akan meninggalkan semua yang pernah dia miliki dan memulai hidup baru di suatu tempat.
Itu bisa menjadi ide bagus.
Bisa dilakukan. Sungguh. Olivia adalah seorang perawat, artinya dia bisa bekerja di mana saja. Dia tidak perlu tinggal di sini. Dia ingin melihat kemampuan Alexander melacaknya jika begitu.
"Itu bukan gaun."
Darahnya membeku, detak jantungnya memekakkan telinga saat gemuruh suara pria itu berdesir di sekujur tubuhnya.
“Aku sedikit terlambat. Kupikir aku bilang akan menjemputmu di apartemen. Bukan di taman sembarangan di antah berantah.”
Pikirannya yang berantakan memungkinkan Alexander untuk mendekat, dan pada saat Olivia menyadari bahwa Alexander telah mempersempit jarak di antara mereka, semua sudah terlambat. Mulut Alexander ada di daun telinganya dan napasnya tertahan di tenggorokannya.
"Kau pikir aku tidak akan menemukanmu di sini?" Terdengar geraman—apakah itu dia? “Kupikir aku telah menawarkan kesepakatan adil. Kau mengingkari kata-katamu, haruskah aku mengingkari kata-kataku?
“A-apa?”
"Haruskah. Aku. Menyetubuhi. Kau. Di. Bangku. Ini?"
Kata-katanya sudah cukup bagi Olivia untuk berdiri dengan pipi memerah. "Ti-tidak," dia tergagap.
“Jadi, kau akan ikut?” dia bertanya sambil tersenyum.
Tangan Alexander mencengkeram kayu bangku, buku-buku jarinya memutih saat dia memfokuskan mata birunya kepada Olivia.
Ada ketegangan di wajahnya, menunjukkan kejengkelan, tapi dia masih menunjukkan seringai.
Dia seperti misteri; Olivia tidak bisa memahaminya. Apa dia sedang berakting sehingga bisa memikatnya?
Otaknya terus berputar saat dia mati-matian mencoba mencari solusi apa pun yang mungkin muncul di benaknya.
"A-aku bisa berteriak." Pada kenyataannya, dia harus berteriak. Ini situasi yang tidak diinginkan.
"Bisa," jawabnya sambil memiringkan kepala.
Alexander melepaskan pegangannya di bangku dan menegakkan tubuhnya, benang-benang malang dari kaus putihnya seperti akan terlepas di bawah tekanan dadanya.
“Rasanya kita kembali ke nol. Kau punya dua pilihan. Kau bisa berteriak dan mendapatkan apa yang kau inginkan untuk saat ini, tetapi kedengarannya tidak bisa diterapkan dalam jangka panjang. Aku akan kembali. Atau, opsi kedua, kau bisa ikut denganku sekarang dan membereskan ini.”
"Jadi, pilihanku adalah: kau mendapatkan apa yang kau inginkan sekarang atau kau akhirnya mendapatkan apa yang kau inginkan?"
“Aku senang kau memahaminya.”
Olivia menggigit bagian dalam pipinya, amarahnya berkobar.
Dia tidak tahu mana yang lebih buruk: sikap sombong pria ini, atau fakta bahwa Alexander benar. Tidak peduli rute pelarian mana yang dia ambil, akan selalu mengarah kembali ke situasi ini; Alexander menang.
Tidak ada jalan keluar. Olivia tidak ingin menjadi tidak berdaya.
"Ke mana kita akan pergi?"
"Kau akan tahu ketika kita sampai di sana."
"Tidak, aku ingin tahu sekarang."
"Kau tidak bisa minta syarat."
"Yang benar saja," desisnya. "Aku tidak mengenalmu dan aku harus mengikutimu dan memercayaimu?"
"Ya."
Keterusterangannya membuat Olivia tercengang. Ada apa dengan pria ini dan kepercayaan dirinya yang besar?
Dia memasukkan tangannya ke saku belakang untuk mengambil ponselnya.
Ya, ada sebagian kecil dari dirinya yang tahu ini akan membuat Will menjadi panik dan dia akan menuntut laporan menyeluruh tentang situasinya saat ini—setelah pria itu meneriakinya berjam-jam.
Namun, ini adalah yang terbaik yang bisa Olivia lakukan, mengingat jangka waktu yang dia miliki.
Jika pada suatu saat instingnya memberitahunya bahwa ada yang tidak beres, dia akan menyalakan GPS di ponselnya. Dengan begitu, Will bisa menemukannya.
"Meminta izin kepada pacarmu?"
Jika Olivia tidak berpikir Alexander sungguh gila untuk merasa seperti itu, dia akan berpikir Alexander sedang cemburu. Mungkin dia memang cemburu. Alpha mengira semua adalah milik mereka, kan?
"Ayo pergi."
Kenapa dia merasa seperti sedang berjalan menuju kematiannya sendiri?
Perjalanan ke tempat tujuan mereka sepi. Dia tidak tahu apakah Alexander tetap diam agar tidak membuatnya bingung—mungkin dia pikir Olivia akan melompat keluar dari mobil?
Namun, perjalanan selama lebih dari satu jam yang sunyi tidak dapat meredakan sarafnya. Justru membuatnya lebih buruk. Belum lagi ponselnya yang terus menyala, tapi dia diamkan juga tidak membantu.
Pesan dari Will, tidak diragukan lagi.
Mungkin akan lebih baik jika Alexander adalah pembunuh dan meninggalkan tubuhnya di parit. Itu terdengar lebih menarik daripada berurusan dengan Will. Apakah tindakannya bodoh, impulsif?
Olivia tidak pernah melakukan apa pun secara spontan.
Dia selalu memikirkan semuanya—kecuali jika melibatkan Will. Saat itu dia membuat keputusan bodoh, sangat, sangat bodoh.
Kepalanya menunduk ke depan saat mobil berhenti dan membawanya kembali ke dunia nyata.
Perjalanan ke sana sebagian besar diisi oleh pepohonan dan hutan belantara, membuatnya sangat sulit menentukan lokasi mereka.
Dia memiringkan kepalanya ke jendela, melihat pemandangan di sekeliling mereka.
Mereka parkir di depan... rumah? Pondok? Rumah kayu? Dia bahkan tidak tahu harus menyebutnya apa. Bangunannya besar, terlalu besar, untuk satu orang tinggal di sana.
Dari tempatnya duduk, bangunan itu tampak setinggi tiga atau empat lantai dan bagian luarnya terbuat dari kayu seluruhnya.
“AAAKKK!”
Dia begitu sibuk menatap ke luar jendela, dia tidak memperhatikan Alexander berjalan memutar untuk membukakan pintu untuknya. Dia menutup matanya, hendak jatuh ke tanah, tetapi tidak pernah terjadi.
Sebaliknya, dua tangan besar mencengkeram bahunya, membuatnya menggantung di udara.
Alexander mendorongnya naik, memaksanya mengeluarkan kakinya dari mobil, dan memberdirikannya.
Olivia memutar bahunya ke belakang, menciptakan jarak antara tangan dan tubuhnya. Olivia tidak ingin tangan Alexander menyentuhnya.
"Kau bisa memperingatkanku," gumamnya saat keluar dari mobil, membanting pintu di belakangnya.
"Kupikir kau memperhatikan," katanya sambil menyeringai.
"Di mana kita?"
Pohon-pohon tinggi mengelilingi rumah, dan dia hanya bisa berasumsi bahwa ini untuk memberikan privasi.
Dari apa yang dia pahami, serigala tidak bergaul dengan manusia, yang menimbulkan pertanyaan: kenapa Alexander tidak bisa menjauh darinya?
Olivia dulunya manusia, dan tinggal di antara mereka. Kenapa Alexander tidak bisa tinggal di surga kayu kecilnya dan melanjutkan hidupnya?
Lagi pula, apa yang dia lakukan di rumah sakit?
Dia seharusnya tidak membutuhkan perawatan apa pun, kecuali itu adalah cedera yang sangat parah. Ada sedikit sisi positif dari manusia serigala. Setidaknya itulah yang dia ingatkan kepada dirinya sendiri setiap hari ketika dia digigit.
"Rumah."
"Rumahmu?"
"Rumah kawanan."
Ada perasaan takut di perutnya yang mengatakan kepadanya bahwa Alexander mungkin tidak akan membiarkannya pergi.
Namun, jika dia memainkan kartu itu terlalu dini, Will mungkin akan muncul dan… dia meringis.
Olivia tidak ingin memikirkan apa yang mungkin terjadi jika Will datang jauh-jauh ke sini. Apakah mereka akan menyerangnya? Apa dia akan terluka?
Will peduli kepadanya, dan mungkin akan menempatkan dirinya dalam bahaya untuk membantunya. Olivia tidak ingin itu terjadi.
Siapa tahu berapa banyak dari mereka yang ada di sana?
Demi Tuhan. Olivia belum memikirkan ini baik-baik, ya?
"Tenang, Livy," kata Alexander saat jari-jarinya menyentuh jari Livy. “Tidak akan terjadi apa-apa kepadamu. Ikuti aku."
Sebelum dia menghirup udara berikutnya, jari-jari Alexander melingkari jari-jarinya dan dia mulai membawanya menjauh dari mobil dan menuju pintu depan.
Sekali lagi, kata-kata protesnya mati di bibirnya dan Olivia bertanya-tanya apa yang ada di dalam diri Alexander yang membuat lidahnya terikat? Dia bisa mendengar kata-katanya terngiang di kepalanya dan tubuhnya mengikutinya tanpa mempertanyakannya.
Olivia di rumah.
Kehadirannya di rumah kawanan sudah cukup untuk membuat binatang buasnya mengaum di dadanya. Serigalanya senang. Meskipun sulit mengabaikan aroma kecemasan yang mengalir di setiap inci kulit Olivia.
Itu menempel padanya, menembus udara. Alexander tidak harus begitu memaksa jika saja Olivia mendengarkan sedikit lebih baik.
Dia benci harus menggunakan perintah alpha sepanjang waktu, tapi jujur, dia tidak memberinya pilihan lain.
Kepatuhan berada di prioritas terendah Olivia.
Alexander tahu Olivia mengira dia terjebak di sini, tetapi dia salah. Olivia bukan tahanan, dan Alexander tidak ingin membuktikan bahwa ketakutannya benar.
Apa pun yang dikatakan Will kepadanya telah melukiskan gambaran kebencian tentang kawanan dan alpha, dan dia bermaksud memperbaikinya.
Jika Alexander memberinya pengalaman yang buruk, itu hanya akan memperburuk kesannya tentang dia, dan bukan itu yang akan dia lakukan hari ini.
Dia harus mendorong Olivia, tetapi tidak terlalu kencang. Jika terlalu kencang, Olivia akan melepas genggamannya.
Lalu?
Begitu dia mendorongnya dengan tepat? Apa yang akan dia lakukan?
Dia akan pikirkan ketika saatnya tiba.
Untuk saat ini, Alexander akan menikmati kehadirannya di wilayahnya.
Aromanya akan ada di mana-mana, tertinggal bahkan setelah dia pergi.
Jelas serigalanya ingin Olivia tinggal, tetapi Alexander cukup realistis untuk mengetahui bahwa Olivia tidak akan tinggal di sini secara permanen.
Setidaknya belum—tidak ketika beta itu menguasainya.
Alexander mengajaknya berkeliling dengan cepat, tangannya tidak pernah melepas tangan Olivia. Alexander pikir dia akan mencoba melepaskannya, tapi sejauh ini dia tidak melakukannya. Malahan, itu mungkin terasa luar biasa baginya.
Manusia punya... bau busuk. Mereka semua berbaur, dan memancarkan terlalu banyak emosi untuk dipilah-pilah. Serigala berbeda.
Karena Olivia belum pernah berada dalam kawanan sebelumnya, Alexander menganggap berbagai aroma dan tanda yang ditinggalkan oleh kawanannya cukup menyerang hidung sensitifnya. Otaknya kemungkinan besar kewalahan karena memproses setiap hal kecil.
Alexander mendeteksi keberadaan beberapa anggota kawanan, tetapi mereka bersembunyi di balik bayangan. Dia telah menginstruksikan mereka untuk tetap bersembunyi sampai dia meminta kehadiran mereka. Olivia akan segera melihat mereka. Bagaimanapun, mereka adalah bagian dari rencananya.
Serigala tidak tercipta untuk hidup sendirian.
Serigala adalah hewan kawanan, dan kebutuhan itu tertanam jauh di dalam dirinya. Olivia telah mengabaikannya sejak transformasinya.
Begitu melihat kawanan yang nyata, dia akan menyesuaikan diri, untuk bersarang di dalam barisan mereka. Itu murni insting binatang.
Kawanannya juga menantikan pertemuan ini.
Mereka telah mengajukan pertanyaan tentang Olivia, tetapi Alexander tidak memberi banyak jawaban. Sejujurnya? Itu tidak sungguh disengaja.
Alexander hanya tahu sedikit tentang dia.
Dia telah mencari tahu tentang Olivia, mengumpulkan sedikit informasi, tetapi sebagian besar hidupnya tetap menjadi misteri baginya, yang ingin dia ubah.
Alexander juga harus mencari tahu. Olivia bagaikan petasan.
Wanita itu lari darinya dan mencoba tidak mematuhinya di setiap kesempatan. Dia seperti omega yang tidak tahu bahwa dia adalah seorang omega.
"Apakah ini yang kau bayangkan?" tanya Alexander, memecah kesunyian yang tercipta di antara mereka.
Bibirnya terbuka, matanya mengamati ruang tamu, dan akhirnya, dia menggelengkan kepalanya. "Tidak."
Dia mengharapkan tubuh tergantung dan darah di mana-mana. Menurutnya, mereka hanyalah monster.
Sebenarnya tidak, Alexander memang monster.
Bukannya dia tidak bersalah. Tangannya pernah berlumuran darah, tetapi bukan berarti dia pergi berkeliaran dan memenggal kepala anak-anak. Alexander melakukan apa yang harus dilakukan untuk melindungi kawanannya.
Dia tidak menyakiti mereka.
Pikiran jahat apa pun yang ditaruh beta di kepala Olivia harus dilenyapkan.
Kalau tidak, Alexander tidak akan pernah memiliki jodoh.
Rumah itu terasa begitu… nyaman.
Tampak seperti sebuah rumah. Rumah keluarga yang hangat.
Mereka semua makan bersama di meja makan yang dibuat khusus, dan kemudian setelah makan malam, berbaring di depan perapian, dengan sang ibu merajut... apa-apaan ini.
Alpha adalah monster. Mereka bukan pengasuh.
Dia menelan benjolan di tenggorokannya saat kepalanya berputar. Apa Alexander sedang berpura-pura atau Will berbohong kepadanya?
Namun, kenapa Will berbohong? Itu tidak menguntungkan baginya.
Bukannya Olivia ingin cepat-cepat pergi ke hutan dan bergabung dengan kawanan… Tidak peduli siapa alpha dan kawanannya, dia akan tetap bersama Will.
Will adalah keluarganya.
Ini tidak masuk akal. Dia harus sadar.
"Apakah ini rencanamu?" dia akhirnya bertanya. "Kau membawa aku ke sini, menunjukkan rumahmu, dan membuatku sangat terpesona sehingga aku mau bergabung?"
Alexander terkikih, suaranya cukup dalam untuk membuat dadanya bergetar.
"Jika kau ingin membuatnya semudah itu, aku tidak punya masalah dengan itu."
"Aku hanya di sini agar kau tidak mengusikku lagi." Tetap saja, ada perasaan mengganggu di belakang kepalanya yang mengatakan bahwa Alexander tidak akan pernah meninggalkannya sendirian.
Pikirannya hanya membuatnya dalam masalah, dan dia telah belajar untuk membungkam serigalanya sejak lama. Dia akan muncul sesekali, tapi Olivia tidak akan pernah membiarkan dia menjadi pembuat keputusan lagi.
Terakhir kali, itu membawanya ke tempat tidur Will dan mengacaukan hubungan mereka untuk sementara waktu.
Tidak akan lagi.
Gema langkah kakinya menyadarkan Olivia dari lamunannya.
Sepatu kulit hitamnya berdebum dengan setiap langkah yang diambilnya, dan tatapannya terus tertuju kepada Olivia sampai hanya ada jarak beberapa sentimeter di antara mereka. "Aku tidak yakin kau menginginkan itu."
"Aku cukup yakin itu yang kuinginkan," desisnya.
Dia sudah tahu itu tidak ada hubungannya dengan masa berahi.
Dia lari darinya sekali. Dia bisa melakukannya lagi.
“Benar, karena aku menyembelih bayi dan membunuh manusia dan serigala yang tidak bersalah, kan?” Kepahitan yang tersembunyi di balik setiap kata-kata Alexander sulit untuk dilewatkan, bukan karena dia berusaha menutupinya.
Ketika Alexander mengatakannya seperti itu, dia membuat Olivia tampak gila. Oke, jadi dia tidak terlihat seperti pembunuh. Bukan berarti setiap pembunuh berantai di dunia menciptakan atmosfer menyeramkan! Kebanyakan dari mereka sangat menawan.
Tidak peduli seberapa besar Olivia ingin tidak memercayainya, betapa dia ingin mendorongnya menjauh, sepertinya dia tidak bisa.
Olivia mencari tanda kejahatan, secercah kemarahan di matanya, tapi tidak melihat apa-apa.
Kenapa?
"Tepat sekali," kata Olivia serak, berharap Alexander tidak mendengar retakan dalam suaranya.
Namun, seringai di bibirnya membuatnya percaya bahwa Alexander mendengarnya.
"Livy, Livy, Livy..."
"Alexander, Alexander, Alexander," ejeknya.
“Alex.”
"Apa?"
"Panggil aku Alex."
"Tidak, kurasa tidak, Alexander."
Pria itu menyeringai sebelum mengangkat tangannya dan meraih dagu Olivia dengan jari dan ibu jarinya.
Alexander memiringkan kepalanya ke belakang, mata mereka bertemu. "Begini. Aku akan membuat kesepakatan.”
Untuk sesaat, Olivia menarik diri, tetapi begitu menyadari kekuatan cengkeramannya, dia menyerah. “Kesepakatan lain? Beruntungnya aku."
Tawaran terakhir yang Alexander buat tidak menguntungkan untuknya. Dia ragu yang satu ini akan menguntungkannya juga. Alexander terlalu egois untuk mempertimbangkan apa yang mungkin Olivia inginkan.
"Ya. Sebuah kesepakatan. Jika kau menemukan sesuatu yang membuktikan bahwa kau benar, jika kau sungguh membenci setiap momen saat di sini, aku akan meninggalkanmu sendirian.”
“Kupikir itu sudah menjadi kesepakatan kita. Ingat?"
“Kesepakatan kita adalah kau datang ke sini dan kemudian aku mengantarmu pulang. Jika kau menemukan sesuatu, kapan saja, aku akan mempersingkatnya. Aku tidak akan membuatmu tinggal lebih lama lagi.”
"Sungguh?" Kata-kata itu keluar sebelum Olivia bisa berpikir.
Ini jebakan, pasti jebakan. Tidak mungkin semudah ini.
"Sungguh."
"Jadi, selama aku bisa membuktikan bahwa kau monster atau aku merasa benci berada di sini tanpa keraguan, kau segera membawaku pulang dan aku tidak akan pernah melihatmu lagi?"
“Semudah itu.”
Will adalah satu-satunya yang konstan dalam hidupnya, orang yang merawatnya ketika dia berada di ambang kematian, yang menyelamatkannya ketika Olivia berpikir dia akan mati.
Begitulah kepercayaan. Dia memercayai temannya.
Olivia mengangkat tangan, siap menjabatnya. Sial baginya, Alexander punya ide lain tentang cara menyegel kesepakatan.
Matanya melebar panik ketika dia menyadari Alexander hendak menciumnya, tapi dia tidak sanggup menghentikannya. Dia membeku di tempat, kakinya terpaku ke tempat ini, saat bibir Alexander mendarat di bibirnya.
Bibirnya hangat—lembap—saat dia memegang kendali atas mulut Olivia. Mengingatkannya akan panas tubuh Alexander ketika mereka kehilangan kendali malam itu.
Olivia mengepalkan kedua pahanya, aroma kesturi pinus menyerang mulut dan lubang hidungnya.
"Tolong jaga tangan dan mulutmu—pada dirimu sendiri," tuntutnya, mencari napas berikutnya.
"Kau sendiri bisa?" tanyanya sambil mengetuk-ngetuk hidungnya. “Kita pergi?”
Olivia akan membuktikan kepadanya bahwa ini bukan kehidupan layak baginya, dan bahwa Alexander menyembunyikan banyak rahasia kotor. Seharusnya tidak terlalu sulit. Dia tidak ingin ada hubungannya dengan Alexander atau kawanannya.
Begitu Alexander memahaminya, yah…
Olivia akan bebas.