
Aku benar-benar tertawa. Mendengar bahwa Chris dan Brittany telah bercinta adalah kabar yang tidak menyenangkan, tetapi Emma selalu bisa menghiburku.
Bertukar pesan teks dengannya membuat Bear Creek tidak terlalu membosankan—bahkan jika dia menggodaku.
Aku menemukan tangga menuju loteng. Aku mendapatkan sinyal di sana, tetapi entah kenapa masih tidak dapat mengirim pesan teks.
Saat itulah aku menemukan jendela atap.
Aku menggeser kursi ke bawah jendela, membukanya, lalu duduk di atap. Sial, tubuhku gemuk.
Sekarang, aku duduk di sini, cekikikan seperti anak remaja saat sahabatku dan aku membicarakan apa saja yang sudah terjadi selama 48 jam terakhir. Setiap orang yang lewat akan berpikir kalau aku seharusnya dimasukkan ke rumah sakit jiwa.
Untungnya, satu-satunya orang di sekitar adalah Sam.
Bukan berarti aku benar-benar merasa beruntung karena itu…
Aku menunduk, mengangkat tangan untuk melindungi mataku dari angin.
Seperti yang kubilang kepada Emma, Sam sedang memotong kayu di halaman belakang. Dia bertelanjang dada lagi, mengayunkan kapak yang berat seolah itu bukan apa-apa.
Keringat bercucuran di dadanya yang lebar, menetes ke pinggang celana jinsnya. Otot bisepnya menonjol saat dia mengayunkan kapak.
Aku harus mengagumi tenaganya—walaupun memotong kayu tampak seperti hal yang paling membosankan di dunia. Dia bahkan tidak mendengarkan musik!
Seolah merasakan tatapanku, Sam pun berbalik ke arahku, menyandarkan kepala kapak di bahunya. Aku segera kembali melihat ponsel.
Aku tidak ingin dia berpikir kalau aku sedang mengamatinya.
Aku mencoba membuang pikiran itu, lalu memutar tubuh ke arah yang berlawanan. Sam tidak akan bisa melihatku lagi.
"Hei!" aku mendengarnya berteriak, "apa yang kau lakukan di atas sana?"
Aku melirik ke belakang. “Mencoba mendapatkan sinyal.”
“Hati-hati, ya? Hari ini anginnya kencang!”
"Terima kasih atas laporan cuacanya, tapi aku orang bodoh!" teriakku.
Sam mengangkat tangannya dengan polos. Aku kembali sibuk dengan ponselku. Tak lama kemudian, aku mendengar dia kembali memotong kayu.
Aku pun loncat di atap karena kaget.
Tidak mungkin. Jack sepertinya sudah mahir menggunakan palu dan paku. Dia pasti seorang tukang kayu yang hebat.
Lalu, aku melihatnya.
Jendela atap yang tadi terbuka telah tertutup angin.
Aku merangkak, berusaha sebisa mungkin untuk membukanya.
Namun, tentu saja aku tidak bisa.
Aku terjebak di sini.
Dan hanya ada satu orang yang bisa dimintai bantuan.
Aku mengerang dan merangkak ke arah halaman belakang.
“Eh… Sam?” Aku memanggil ke bawah.
Dia berbalik, menurunkan kapaknya.
“Aku… aku…”
“Katakan saja, Dik! Aku sedang sibuk di sini!”
Aku meringis.
“Jendela atap. Angin kencang meniupnya sampai tertutup, dan…dan…”
Aku bisa melihat seringai Sam dari atas sini. Sial, seringai itu bahkan terlihat dari luar angkasa.
“Kau butuh bantuanku?”
Aku mengangguk. "…Ya."
"Tunggu sebentar, Dik," katanya sambil sedikit tertawa.
Aku memutar mata. Aku yakin dia akan memanfaatkan kejadian ini untuk mengejekku selamanya.
Aku menunggu di atas sana beberapa menit, menggigil karena tertiup angin, sampai mendengar derit jendela terbuka. Kepala Sam keluar. Aku menahan tawa—dia tampak seperti tikus tanah di permainan arkade.
"Kau tahu, panggil saja aku 'Helen'," kataku sambil merangkak ke arahnya.
“Ah, jangan seperti itu,” dia mengerutkan kening mengejek, "aku belum pernah punya saudara perempuan."
Dia menyingkir saat aku sampai ke jendela, lalu membantu aku kembali ke dalam. Aku bersiap-siap untuk dibelai atau dipegang bokongku, tapi tangannya tetap menggenggam dengan kokoh—tidak macam-macam.
Aku merasa sedikit kecewa.
Aku turun dari kursi, lalu Sam melepaskanku. Aku berusaha untuk menatap matanya.
“Mm… Terima kasih.”
Aku tertawa kecil dan mencoba melewatinya menuruni tangga. Sam menghalangi jalanku.
"Aku punya ide," katanya sambil memainkan tangan, “sebagai imbalan karena telah menyelamatkan hidupmu dan lainnya—”
"Kau tidak menyelamatkan hidupku!"
"Aku tidak melihat kalau kau punya pilihan," balasnya. “Intinya, menurutku kita bisa pergi mendaki. Aku yakin kau tidak ingin menghabiskan waktu terkurung di sini.”
"Kau tidak mengenalku dengan baik," kataku sambil berjalan menuju tangga. Dia menghalangi jalanku lagi.
“Dengar, Helen. Kita harus saling mengenal, demi orang tua kita. Dan… kita sendiri.” Suaranya terdengar sungguh-sungguh. Aku menatap matanya lagi dan tidak melihat apa pun selain keramahan.
"Oke," aku menghela napas, “kita mau ke mana?”
Mata Sam berbinar.
“Cepat, Dik!”
Sam melesat ke depan menembus hutan. Hampir tidak ada jalur untuk diikuti, dia seperti berlari.
Aku diam sejenak, mengenakan sepatu Doc Marten merah muda, celana pendek denim, dan atasan rompi yang bertuliskan "Ratu Drama" dengan kristal berlian. Ransel merah muda yang berkilauan tergantung di bahuku, banyak gantungan kunci yang gemerincing dari ritsletingnya.
Aku merasa benar-benar konyol dalam pakaian ini, menyesal tidak berpakaian lebih sesuai untuk kegiatan ini. Kukira " mendaki sebentar" berarti jalan-jalan sebentar di sekitar pepohonan atau semacamnya—kami telah menelusuri hutan selama tiga jam di sini.
Aku belum pernah berjalan kaki selama ini sepanjang hidupku.
Aku tersandung akar pohon. Aku melihat sepatu botku dan tanda lecet.
"Bisakah kita pulang?" aku merengek, "Aku lelah sekali."
Sam berbalik. "Kau mau minum air?"
"Aku ~ingin minum sedikit Smirnoff."
Dia memutar mata dan menyerahkan botol air Nalgene dari ranselnya.
"Apakah kau selalu mengeluh sesering ini?"
Aku berbalik, menurunkan ransel hingga kata-kata yang tertulis di rompiku terbaca. Sam tertawa kecil. "Benar. Seharusnya aku sudah menebaknya.”
"Kenapa kau betah di sini?" tanyaku sambil memukul lalat hitam yang kesekian kalinya di pendakian itu. Serangga kecil sialan itu lebih banyak di sini daripada di rumah. “Alam sangat membosankan.”
Aku memukul lalat lain. "Dikeroyok oleh sekelompok serangga pengisap darah."
Sam mengerutkan kening. “Berikanlah kesempatan pada alam bebas, lagi pula Kota Boulder tidak seperti Kota New York.”
"Kalau dibandingkan Bear Creek, jelas mirip New York," balasku.
"Yah, kadang Emma dan aku pergi ke taman saat cuacanya cerah.”
"Kami hanya pergi ke sana untuk merokok ganja."
“Ganja juga bagian dari alam. Tanaman itu berasal dari Bumi.”
Aku tersenyum. "Apakah kau menanam ganja di sini?"
Sam mengangkat bahu acuh tak acuh. “Tidak secara pribadi. Namun, mungkin aku mengenal seseorang yang menanamnya..."
"Wah, Dik," dia terkikih, "apakah aku salah dengar, atau kau mulai tertarik dengan alam bebas?"
"Aku tidak—sialan, Sam, kau punya ganja atau tidak?"
Dia menjawab dengan senyum seperti sphinx.
“Ah! Bajingan!"
Sam tertawa. “Maaf, Dik, tapi membuatmu kesal kini menjadi hobi favorit baruku.”
“Ya, aku bisa mengerti saat hobi alternatifnya hanya berjalan menelusuri hutan dan menebang kayu…”
Aku menyerahkan botol air tadi kepada Sam. Dia memasukkannya kembali ke dalam tas.
“Aku jamin perjalanan ini akan sepadan dengan lelahnya. Tujuan kita hanya sedikit lebih jauh. ”
Aku menghela napas. Nada bercanda telah meninggalkan suaranya—jelas bahwa dia ingin menunjukkan sesuatu kepadaku.
"Oke. Hanya sedikit lebih jauh.”
Sam melambat saat kami mendaki lebih jauh melalui jalan sempit. Sekarang, kami berjalan berdampingan. Pepohonan mulai menipis, lalu tak lama kemudian, kami menemukan diri kami di tempat terbuka.
Aku tercengang.
Itu adalah salah satu pemandangan terindah yang pernah aku lihat. Otak seniman dalam diriku menggila karena palet warna.
Merah, biru, ungu, emas…Aku merasa kami seperti berada dalam lukisan Monet.
“Tanah menjadi lembap karena semua salju yang turun di musim dingin ini,” jelasnya, “dengan suhu dan sinar matahari seperti ini, kami jelas dapat melihat bunga bermekaran dengan indah.”
"Kau benar-benar tahu banyak," aku mengakui.
"Tempat ini ada di dalam darahku," kata Sam sambil melihat sekeliling, “keluarga Larsen telah berada di Bear Creek selama beberapa generasi. Nenek moyangku membantu mendirikan tempat ini di masa Demam Emas. Aku tahu semua tentang hutan ini.”
Aku pun duduk di atas batu, beristirahat sambil menikmati pemandangan bunga.
“Kau tahu cara yang lebih cepat untuk kembali ke rumah? Sebentar lagi hari akan gelap, dan aku kelaparan.”
Sam melepaskan ransel dari punggungnya.
“Ya… Aku berniat untuk memberitahumu soal ini sebelumnya…” ucapnya sambil membuka ransel, "kurasa kita akan berkemah di sini semalam."
Mataku melotot.
Ini TIDAK BOLEH terjadi.~
"Berkemah?" Hanya itu yang bisa aku dengar dengan jelas.
Sam mengambil tas nilon panjang dan ramping dari ranselnya.
“Aku hanya punya satu tenda. Semoga kau tidak keberatan.”
Aku TIDAK AKAN menghabiskan malam ini berduaan di tenda dengan Neandertal menjijikkan ini!
…Benar kan?