
Yang bisa aku dengar hanyalah bunyi bip yang membuatku gila. Aku membuka mata dan melirik ke monitor. Ketika terbangun terakhir kali, aku terlalu lemah, bahkan hanya untuk mengangkat tangan.
Aku masih merasa lemah, tetapi muak dengan semua kabel dan selang yang terpasang. Aku tidak percaya orang-orang ini, itu pun jika mereka pantas dipanggil dengan ‘orang’.
Sepertinya mereka mencoba meracuniku; itu sebabnya aku merasa sangat lemah.
Setidaknya dia tidak ada di sini. Sang Alpha. Dia adalah orang yang paling tidak aku percaya. Memanipulasi aku dan Ash. Apa yang telah mereka lakukan kepada Ash? Dia satu-satunya orang di sini yang kupercaya.
Ada ungkapan yang bunyinya ‘Musuh dari musuhmu adalah teman’. Dia adalah orang yang tidak tinggal diam ketika mereka akan menyakitiku. Mereka bahkan mengambil pakaianku.
Aku merogoh ke bawah gaun yang kukenakan—hanya sampai pertengahan paha—dan menarik selotip yang menempel pada dadaku.
Bunyi bip berubah menjadi cepat. Kemudian, aku melepaskan selang yang terhubung ke punggung tangan. Aku mulai berdarah, tapi tidak peduli.
Aku baru saja akan duduk ketika dokter dan perawat bergegas datang.
"Apa yang sedang kau lakukan?" salah satu perawat berteriak panik.
Dokter tetap tenang.
Aku memelototinya. "Kau pikir aku akan terus berbaring saat kau meracuniku?" aku mendesis.
Dia menatapku dan matanya berkilat hitam. Tiba-tiba, dua perawat menahanku. Mereka kuat,, aku tidak bisa bebas meskipun sudah berjuang melepaskan diri.
Dokter memasang kembali infus yang tadi ada di tanganku, lalu muncul seorang laki-laki berbadan besar.
Tubuhnya tampak sebesar penjaga penjara, kecuali dia mengenakan seragam medis berwarna putih. Dia memasang ikatan lembut di kedua pergelangan tanganku, lalu mengikatnya ke ranjang.
“Kau tidak bisa melakukan ini!” Aku berteriak, menarik kekangan.
Dokter meletakkan tangan di kepalaku. Aku mencoba menghindar, tapi dia menahannya terlalu kuat.
“Georgie, tenanglah. Ini demi kebaikanmu," dia menenangkan.
Air mata mulai menetes di pipiku.
"Biarkan aku pergi!" aku menangis.
Dokter menoleh dan melirik pesuruh.
"Ambilkan obat penenang," pintanya.
Penjaga itu mengangguk dan keluar dari ruangan.
"Aku ingin menemui Ash," teriakku.
Dokter itu mengerutkan kening dan menggelengkan kepala. Dia mulai memasang kembali pembalut itu ke dadaku.
Mesin berbunyi jauh lebih cepat dari sebelumnya.
Dokter tampak khawatir, dan aku sadar bahwa bunyi bip itu sesuai dengan detak jantungku, yang, setelah trauma baru-baru ini, berdegup kencang di dada.
"Bawa Ash kepadaku," teriakku, "Atau..." Aku menahan napas.
Ketika masih di sekolah, sebelum dipaksa pergi, aku telah menjadi perenang andal.
Aku punya sertifikat penghargaan karena bisa menahan napas cukup lama di bawah air. Menahan napas memang menyebabkan detak jantung meningkat, tapi itulah yang aku harapkan
Aku menarik napas dan menahannya.
Setelah beberapa detik, bunyi bip menjadi semakin cepat. Aku bisa merasakan jantung berdebar kencang dan putus asa ingin mengambil napas lagi saat oksigen dalam darah berkurang.
"Georgie!" sang dokter menggeram. "Hentikan ini sekarang!"
Aku memelototinya dan menggelengkan kepala. Bunyi bip semakin cepat. Saat itu terjadi, aku mulai merasa pusing.
Ketika petugas itu muncul kembali, dokter itu berteriak kepadanya.
"Pergi ke sel, segera bawa tahanan Ash ke sini!" pinta dia.
Dokter itu segera menoleh ke arahku.
“Tolong, Georgie, dia akan datang; bernapaslah,” pintanya.
Aku menghirup udara dan hampir bisa mendengar jantungku memompa darah lagi.
Aku menelan ludah dan menarik napas lagi.
"J—jangan...berpikir untuk membiusku," desisku.
Dia tidak membiusku, dan aku sedang tidak berjuang melawan pengekangan; tidak ada gunanya.
Tak lama kemudian, pintu ruang perawatan terbuka. Aku menganga kaget saat melihat Ash dikawal oleh dua penjaga manusia serigala.
Wajahnya bengkak dan dipenuhi lebam. Pergelangan tangannya diborgol, tapi setidaknya di depan, bukan di belakang.
"Kau punya waktu lima menit," salah satu penjaga menggeram sebelum berjalan keluar ruangan.
"Apa yang mereka lakukan kepadamu?" aku meratap.
Ash menggelengkan kepalanya. "Aku pantas mendapatkan semua ini," bisiknya. "Dia tidak... menyakitimu, kan?"
Dia mengusap wajahku dan menyeka air mataku.
“Sepertinya mereka meracuniku. Aku merasa sangat lemah. Aku tidak merasa selemah ini di dalam sel,” aku menghela napas.
Ash menggelengkan kepalanya lagi, “Tidak, Georgie. Mereka tidak meracunimu, mereka membuatmu lebih baik; tapi dengarkan.” Dia ragu-ragu dan melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mendengar.
“Kau harus pergi dari sini… Tidak sekarang, tapi setelah keadaanmu membaik. Alpha, namanya Xavier. Dia ingin jodoh.
“Ketika usiamu mencapai 19, tubuhmu akan mulai mengeluarkan aroma yang hanya bisa dideteksi oleh manusia serigala. Manusia terkadang bisa menjadi jodoh manusia serigala. Kau tidak boleh berada di sini ketika itu terjadi. Kau tidak boleh membiarkan Xavier memilikimu.”
Aku mengerutkan kening. “Dia membenciku dan semua manusia. Bagaimana denganmu?"
Ash terkikih dan menggelengkan kepalanya. “Dia tidak membenci manusia, tetapi kau pantas mendapatkan yang lebih baik dari dia dan aku. Kau pantas menjalani kehidupan manusia, tidak terikat dengan monster setengah manusia!”
Aku mencoba menjangkau Ash, tetapi terhenti oleh kekangan.
“Kau bukan monster, Ash. Kau satu-satunya orang selain orang tuaku yang telah bersikap baik kepadaku.”
Ash memutar matanya.
“Aku belum berbuat baik, tapi akan membantumu sekarang. Setelah sembuh dan merasa lebih kuat, kau harus pergi dari sini. Pergi ke kota berikutnya; jaraknya sekitar 50 mil. Curi mobil dari sini.
“Sesampainya di sana, pergilah ke stasiun kereta, temuilah orang bernama Joe. Katakan kepadanya bahwa Ash yang mengirimmu. Kau perlu mengatakan 'Bulan sabit hilang' kepadanya. Dia akan memberimu sejumlah uang, alamat, dan tiket ke New York. Kau bisa memulai hidup baru.”
Ash meraih tanganku. “Kau gadis yang baik, Georgie; kau layak mendapatkan kesempatan.”
Aku meremas tangannya. "Bagaimana denganmu? Apa yang akan dia lakukan kepadamu?”
Ash mengangkat bahu. "Dia mungkin akan membunuhku, tapi mungkin aku pantas mendapatkannya."
Aku merasakan air mata menggenang di mataku, dan mulai menetes di pipi.
“Aku berharap kita bisa melarikan diri bersama. Aku tidak peduli apa yang telah kau lakukan,” teriakku.
Ash dengan lembut menekan bibirnya ke dahiku.
“Kau akan peduli jika tahu yang sebenarnya. Jika mendengar kabar tentangku melakukan sesuatu yang sangat buruk, ingatlah aku tidak bermaksud melakukannya. Kau hanya perlu membuat mereka percaya bahwa kau akan menurut kepada mereka; begitu mereka memercayaimu, akan lebih mudah untuk kabur dari sini.”
Aku mengangguk. Sebelum salah satu dari kami bisa menyelesaikan obrolan, para penjaga kembali dan menyeretnya pergi.
"Apa pun yang sudah kau lakukan, aku memaafkanmu, Ash!" Aku bilang kepadanya.
Ash kembali menatapku, memaksakan senyum, dan diam-diam mengucapkan, "Semoga berhasil."
Pandanganku kabur karena air mata membanjiri mata. Karena tidak bisa menghapusnya, aku membiarkannya mengalir di pipi dan menetes ke bantal.
Dokter masuk dan berdiri di samping ranjang.
"Apakah kau baik-baik saja, Georgie?" dia bertanya dengan tenang.
Aku membuang muka dan memejamkan mata, mengabaikannya.
Aku tidak yakin bisa menjalankan saran Ash dan menurut kepada mereka. Sekarang, aku semakin tidak percaya kepada mereka setelah melihat apa yang telah dilakukan kepada Ash.
Mungkin dia benar kalau mereka tidak meracuniku, tapi aku masih tidak yakin. Bagaimana dia bisa yakin soal itu?
Kelihatannya mereka hanya ingin membuatku tunduk. Jika itu yang diinginkan, mereka akan mendapatkannya.
Setiap kali seseorang datang untuk memeriksa atau bertanya tentang keadaanku, aku hanya membuang muka dan mengabaikan mereka.
Ketika mereka menyentuh, aku tidak bergeming atau menarik diri. Aku hanya membiarkan pikiranku mengembara agar bisa berada di tempat lain secara tidak sadar.
Aku membiarkan pikiranku melayang. Terkadang aku tersadar dari lamunan, terutama karena bunyi bip yang tak ada henti-hentinya.
Di lain waktu, aku tertidur, memimpikan masa yang lebih indah saat masih muda dan orang tua dalam keadaan sehat.
Kami tidak punya banyak harta, tapi masih bisa menikmati musim panas dengan sinar matahari menyoroti punggung.
Kemudian aku terbangun kaget, sadar akan kenyataan pahit yang menghantam, lalu merasakan air mata mengalir di pipi lagi.
"Kenapa dia diikat?" tanya Alpha Xavier.
Aku tidak membuka mata, dan membuang muka darinya. Aku mengenali suara dokter yang menjawab.
“Dia mencabut infus dan monitor jantung. Dia mengira kami meracuninya..."
Dia ragu beberapa saat sebelum melanjutkan, “Aku rasa dia menutup diri. Kami belum bisa mendapatkan tanggapan darinya.”
Aku mendengar seseorang menghela napas; sepertinya itu adalah sang alpha. Kemudian, aku merasakan ikatanku disingkirkan.
"Sepertinya tindakanmu tidak bijaksana, Alpha," dokter memperingatkan.
Aku merasakan tangan menyentuh keningku dengan lembut.
"Georgie...buka matamu," desak Xavier.
Aku mengabaikannya dan menutup telinga, lalu mencoba membiarkan pikiranku melayang, berkonsentrasi mendengarkan detak jantung.
Satu hal yang tidak bisa aku hentikan adalah air mata yang perlahan jatuh. Air mata itu terus berjatuhan sejak Ash pergi.
Aku merasakan ibu jari Xavier di pipi, menyeka air mata, tetapi air mata itu terus berjatuhan.
"Lepaskan infus dan monitornya," tuntut Xavier.
"Aku tidak yakin bahwa—" dokter itu menjawab.
"Kubilang lepaskan!" Xavier menggeram.
Aku merasakan dokter itu melepaskan infus, lalu kanula dengan hati-hati dari punggung tangan. Meskipun sulit dilepaskan, aku tidak bergerak.
Aku bahkan tidak bergeming ketika dia memasukkan tangannya ke dalam baju pasienku untuk melepaskan bantalan monitor jantung dari dada.
"Dia harus terus menerima asupan antibiotik, baik melalui suntikan setiap hari atau secara oral, dan dia perlu makan," saran dokter, "Menurutku tindakanmu masih tidak bijaksana," tambahnya.
Aku merasakan selimut yang menutupi tubuhku diangkat, kemudian sebuah lengan diletakkan di bawah punggung dan satu lagi di bawah kaki, lalu aku diangkat dari ranjang.
Biasanya, aku akan memekik atau membuka mata, tetapi tidak melakukannya kali ini. Apakah aku sudah menyerah? Mungkin, karena aku sudah tidak peduli apa pun.
Terlepas dari semua yang dikatakan Ash, aku sadar bahwa sekarang nyawaku bukan milik sendiri, dan aku tidak yakin akan mendapatkannya kembali.
Xavier-lah yang mengangkat dan menggendongku seperti pengantin keluar dari rumah sakit.
Aku benar-benar sadar betapa minimnya pakaian yang aku kenakan. Tangannya menekan kulit telanjang di sekujur tubuhku sambil memelukku dengan erat ke dadanya.
“Tidak apa-apa, gadis kecil; aku akan menjagamu sekarang,” bisiknya di telingaku sambil membawaku pergi entah ke mana.