Galatea logo
Galatea logobyInkitt logo
Get Unlimited Access
Categories
Log in
  • Home
  • Categories
  • Log in
  • Get Unlimited Access
  • Support
Galatea Logo
Support
Werewolves
Mafia
Billionaires
Bully Romance
Slow Burn
Enemies to Lovers
Paranormal & Fantasy
Spicy
Dark
Sports
College
See All Categories
Rated 4.6 on the App Store
Terms of ServicePrivacyImprint
/images/icons/facebook.svg/images/icons/instagram.svg/images/icons/tiktok.svg
Cover image for Ditemukan

Ditemukan

Bab Enam

HAZEL

Pada pertengahan November, aku terbangun karena hujan salju pertama musim ini. Selimut putih menutupi seisi kota, membuat semuanya menjadi sunyi senyap.

Sepatu botku berderit di salju saat aku berjalan ke tempat kerja.

Aku berjalan melewati anak-anak dalam perjalanan ke sekolah, semua bersemangat tentang salju.

Seorang anak laki-laki bertubuh kurus yang kelihatannya mungkin berusia sepuluh atau sebelas tahun menyerang anak laki-laki lain, yang terlihat seperti dirinya tapi sedikit lebih tua, dengan bola salju ke bagian belakang kepalanya.

Aku tersenyum sendiri. Ada sesuatu yang ajaib tentang dunia ini ketika salju pertama turun.

Aku baru berjalan sekitar lima menit ketika seseorang dari belakang memanggil namaku. Aku menoleh secara naluriah ke arah suara itu.

Aku mengenal suara itu bahkan sebelum melihatnya, dan kulitku berdenyut-denyut seolah-olah sudah tidak sabar untuk melihatnya lagi.

"Bolehkah aku mengantarmu ke tempat kerja?" dia bertanya—seolah-olah ini adalah rutinitas sehari-harinya—setelah dia sampai di sisiku.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Aku bertanya, alis berkerut bingung.

“Seperti yang baru saja kukatakan, aku ingin mengantarmu ke tempat kerja.”

“Aku paham bagian itu. Namun, bukan itu maksudku,” jelasku.

"Ah." Ada ekspresi di wajahnya yang tidak bisa aku mengerti.

"Aku sadar kalau aku memang sedikit aneh," dia mengizinkan setelah beberapa saat.

"Sedikit saja," gumamku.

"Aku tidak bisa menahan diri," katanya, seolah itu akan menjelaskan segalanya.

“Baik, kau bisa mengantarku ke tempat kerja,” kataku setelah beberapa pertimbangan.

Dia tersenyum ketika menyamakan langkahnya dengan langkahku agar tidak berjalan mendahuluiku, seperti yang pasti dia lakukan jika berjalan dengan kecepatan normalnya, dengan kakinya yang panjang.

“Aku tahu ada yang aneh sejak malam pertama kita bertemu. Aku sudah bertingkah dengan tidak wajar, dan aku minta maaf kalau itu membuatmu risih,” katanya setelah beberapa saat, memecah kesunyian.

"Kau telah melakukan dan mengatakan beberapa hal yang cukup membingungkan," aku setuju.

"Bertemu denganmu telah memicu sesuatu dalam diriku, dan aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya kepadamu dengan cara yang tidak akan membuatmu melarikan diri." Suaranya lembut, rentan.

“Dengar, hal itulah yang aku coba sampaikan. Ini tidak masuk akal bagiku," kataku putus asa.

"Aku mengerti." Dia tersenyum lagi dan jantungku berdebar secara perlahan seperti sudah terprogram.

Kami berjalan dalam keheningan lagi, dan kami sudah hampir tiba di toko buku.

Sebagian diriku merasa lega karena ada sesuatu tentang Seth yang membuatku tertarik dan jujur itu membuatku takut, hanya sedikit.

Bagian lain dari diriku ingin tetap bersamanya, terus berjalan, dan mungkin entah bagaimana aku akan dapat mengungkap misterinya.

Kami hampir tidak mengenal satu sama lain, tapi aku merasa sangat tenang, sangat nyaman di dekatnya, terlepas dari semua kejanggalan. Dan aku ingin menghabiskan waktu bersamanya.

"Apakah kau suka salju?" Seth bertanya tiba-tiba, perubahan nadanya nyaris menggelikan.

"Um, ya," jawabku, menahan tawa, tidak yakin itu akan menjadi reaksi yang tepat.

"Sepertinya hujan saljunya akan berlangsung cukup lama kali ini," renungnya.

"Jadi, kau adalah peramal cuaca?"

"Tidak," dia terkikih.

"Tapi, aku lumayan jago untuk menebak hal-hal seperti ini," dia tersenyum seolah-olah menganggapnya lucu.

Aku mengangkat alisku dengan penuh tanda tanya.

"Ya, semacam indra keenam," dia terkikih.

"Kau melakukannya lagi," keluhku.

"Melakukan apa?"

“Membuatku bingung,” aku menjelaskan.

"Oh. Maaf." Dia menyeringai. Dia tidak menyesal sama sekali, dan dia juga tidak berniat menjelaskan lebih lanjut.

Kami sudah sampai di depan pintu toko buku sekarang, lebih cepat daripada yang aku inginkan. Salju mulai turun dengan ringan lagi.

Seth menghadapku, dan mata hijaunya menatap mataku. Sorot matanya selalu terlihat intens dan dengan binar cerah yang tidak wajar.

"Rasanya mustahil untuk aku bisa menjauh darimu," gumamnya sambil mengangkat tangannya untuk menyelipkan uraian rambut yang tersesat ke belakang telingaku.

Tangannya saat ini menempel di leherku, dan kulitku tergelitik oleh lantunan jari-jarinya.

Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapinya, dan sebelum aku menyadarinya, dia sudah pergi.

"Sampai jumpa lagi," dia memanggil dari balik bahunya.

Aku menggelengkan kepala tidak percaya kepada pria aneh yang secara perlahan masuk menjadi bagian dari hidupku, lalu aku masuk ke toko.

Kenormalan itu terasa hampir aneh setelah waktu yang kuhabiskan bersama Seth. Setiap kali aku bersamanya, kami seolah berada di dalam dunia milik kami berdua.

Crystal menatapku curiga saat aku masuk, tapi tidak mengatakan apa-apa.

Aku bertanya-tanya apakah dia akan menungguku lagi setelah bekerja. Aku tidak tahu pasti jawabannya, aku bahkan tidak tahu bagaimana cara menghubunginya. Dia muncul begitu saja, kapan pun sesuai keinginannya.

Aku harus melakukan sesuatu tentang itu. Jika dia akan menjadi bagian dari hidupku—semua kejanggalan yang aku rasakan pada saat ini—aku ingin dia tidak terlalu sulit dipahami.

Hari itu, aku berjalan pulang sendirian. Aku malu dengan kekecewaan yang aku rasakan.

Aku harus mencari tahu siapa Seth King ini sebenarnya dan mengapa dia bersikeras untuk berada di sekitarku dan apa artinya semua ini. Dan aku harus memahami perasaanku sendiri tentang semua ini.

Mencari tahu seberapa batas yang akan aku berikan untuknya.

Setiap kata-katanya terdengar sangat aneh, tetapi begitu berarti dan membuatku merasakan hal-hal yang tidak ingin aku akui. Masih terlalu awal untuk merasakan semua yang kurasakan saat ini, tapi aku tidak bisa menahannya.

Aku sendiri bertanya-tanya bagaimana aku tidak takut kepadanya. Dia menakutkan, mulai dari penampilannya hingga intensitasnya. Aku tidak bisa membuat diriku merasakannya. Aku merasa terlalu aman di dekatnya untuk takut.

Tidak peduli betapa tidak rasionalnya itu, aku tertarik kepadanya dan aku mendapati diriku merindukan waktu berikutnya untuk dapat melihatnya.

***

Aku tidak perlu menunggu lama, karena dia ada di sana lagi keesokan paginya. Jalanan masih tertutup salju, seperti yang dia yakini.

Dia bersandar dengan santai di tiang lampu di luar gedung apartemenku. Mantelnya tidak dikancing meskipun cuacanya dingin, tapi aku mulai berpikir kalau suhu tubuhnya tidak bereaksi seperti kebanyakan orang normal pada umumnya.

Dia selalu terlihat mengenakan pakaian yang cocok pada cuaca yang lebih hangat daripada seharusnya, dan kulitnya terasa hangat di kulitku meskipun sudah terpapar oleh cuaca dingin dengan cukup lama.

"Selamat pagi," dia menyapaku dengan ceria.

"Suasana hatimu terlihat sangat baik hari ini," kataku.

Seth hanya mengangkat bahu dan bergabung denganku saat aku mulai berjalan.

“Apakah kau selalu pergi jalan kaki ke tempat kerja?” tanyanya penasaran.

“Yah, aku tidak punya mobil, jadi ya. Selain itu, aku senang berjalan-jalan.”

"Hmm."

"Apa?"

“Tidak ada, aku hanya suka mempelajari hal-hal baru tentangmu.” Dia tersenyum.

"Baiklah kalau begitu." Aku juga tidak bisa menahan senyum. Suasana hatinya yang cerah menular kepadaku.

Aku melirik ke arahnya hanya untuk melihat dia melakukan hal yang sama. Saat mata kami bertemu, kami berdua tersenyum malu. Kami berada dalam keheningan nyaman saat berjalan di pagi yang tenang dan diselimuti salju.

Aku terus meliriknya, seolah-olah harus memastikan dia benar-benar ada di sana.

Aku tidak mengerti apa, tapi sesuatu tentangnya seperti berasal dari dunia lain, dan aku takut dia akan menghilang dari hidupku sama halnya seperti dia tiba-tiba datang ke dalamnya.

Ada seseorang yang mengawasi kami dari seberang jalan ketika kami sudah setengah jalan dari toko buku, seorang pria yang terlihat sedikit lebih tua dari Seth.

Saat kami terus berjalan, aku melihat dua orang lagi—perempuan, mungkin berusia akhir 40-an. Mereka berbicara satu sama lain, sambil tetap memperhatikan kami.

Aku melirik Seth lagi untuk melihat apakah dia juga menyadarinya. Semua keceriaan yang aku rasakan sebelumnya tiba-tiba sirna. Perasaan itu berubah menjadi ketegangan dan amarah saat ini.

Dia mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya. Kedua wanita itu terlihat sedang mencibir dan aku bisa mendengar dengan samar suara gemuruh seperti binatang keluar dari dada Seth.

Itu mengejutkanku, dan kedua wanita itu sepertinya juga mendengarnya—walaupun jarak kami berjauhan—karena mereka melihat dengan tidak nyaman ke arah kami, kemudian mereka sedikit menundukkan kepala sebelum bergegas pergi.

Aku menghentikan langkahku dan hanya menatap Seth yang terus berjalan, tidak menyadari kalau aku sudah tidak lagi berjalan di sampingnya sekarang.

Ketika dia menyadarinya beberapa detik kemudian, dia menoleh ke arahku, alisnya terangkat bertanya.

“Apa yang baru saja terjadi?” Aku bertanya.

Seth memejamkan mata dan menjepit pangkal hidungnya, tampak berusaha menenangkan dirinya. Ketika membukanya, dia berjalan beberapa langkah ke belakang ke arahku.

"Kuharap kau tidak menyadarinya," katanya sambil menghela napas.

“Kedua wanita itu menatap ke arah kita, dan ada seorang pria juga sebelum itu, dan kau mulai menggeram, seperti benar-benar menggeram. Suara geramanmu tidak lantang, tapi entah bagaimana mereka seperti bisa mendengarmu, mereka bereaksi terhadap suara itu, sebelum mereka melarikan diri.”

Dia sepertinya tidak punya niat untuk menjawabku.

“Kau ini sebenarnya apa, Seth King?” Aku bertanya kepadanya, karena tiba-tiba aku sadar bahwa dia mungkin bukan manusia.

Dia menggeram seperti binatang, dia tidak terlihat kedinginan, dan dia bisa muncul entah dari mana saja, menyelamatkanku dari dua pria raksasa dewasa hanya dengan intimidasi. Itu tidak normal.

"Andaikan kau tidak menanyakan itu kepadaku," katanya, suaranya tegang.

"Mengapa tidak?" Aku melipat tangan di dada dan menatapnya dengan sedikit cemberut.

"Ini terlalu rumit dipahami, dan kau tidak akan percaya kepadaku."

"Cobalah jelaskan, kalau begitu," balasku.

Dia memeriksa raut wajahku sejenak, lalu membelai pipiku dengan ibu jarinya dan ekspresinya melembut.

"Ayo, kau akan terlambat bekerja." Jelas bahwa dia, sekali lagi, tidak berniat menjelaskan apa pun kepadaku.

Aku mendesah frustrasi, tapi terus berjalan. Aku benar-benar tidak ingin terlambat.

Aku merasa paranoid sepanjang hari, karena orang-orang yang datang ke toko terus-menerus meliriku dengan pandangan ingin tahu.

Itu membuatku cemas, dan ketika jam kerjaku berakhir dan aku bersiap untuk jalan pulang, betapa terkejutnya aku mendapati Seth sedang mendorong dirinya menjauh dari dinding tempat dia bersandar. Jantungku berdegup kencang di dadaku.

"Apakah kau baik-baik saja?" Seth bertanya, kekhawatiran jelas dalam suaranya.

“Ya, kau benar-benar mengejutkanku. Aku merasa sedikit cemas. Sejak pagi tadi aku tidak bisa menghilangkan kecemasanku, karena aku merasa orang-orang sedang mengawasiku sepanjang hari, aku tahu kedengarannya bodoh…”

Aku terdiam saat melihat betapa marahnya dia.

"Apa ada yang salah?" tanyaku ragu.

"Ya, orang-orang perlu mengurus urusan mereka masing-masing," jawabnya dengan nada marah dalam suaranya.

"Maksudnya apa?"

"Persetan dengan semuanya," bentak Seth sambil mengacak-acak rambutnya, membuat rambutnya mencuat di tempat-tempat yang aneh.

“Aku berharap untuk melakukan ini secara berbeda, untuk memberi kau lebih banyak waktu, tetapi mereka tidak memberi aku pilihan. Jika mereka mengikutimu sekarang, maka aku sudah tidak bisa menundanya lebih lama lagi.”

Aku menunggu dia menjelaskan lebih lanjut.

“Kita berdua perlu membicarakan masalah ini. Apakah kau keberatan jika aku membawamu ke rumahku?

Ingin akhirnya mengetahui apa yang Seth sembunyikan dariku, aku segera setuju.

"Mobilku sudah dekat, ayo," katanya sambil meletakkan tangannya di sikuku. Dia berjalan sangat cepat sehingga aku hampir harus berlari untuk mengikutinya.

Ketika kami berbelok di tikungan, sebuah Jeep hitam mengkilat dengan jendela gelap dan roda-roda raksasa berdiri di sana menunggu kami.

Seth mengeluarkan kunci dari sakunya dan menekan tombol untuk membuka kunci pintu, sebelum dia membuka sisi penumpang untukku.

Aku segera masuk, dan sebelum aku menyadarinya, kami melaju kencang melewati kota menuju rumah Seth.

Continue to the next chapter of Ditemukan

Discover Galatea

Diklaim oleh ReaperSang PenggantiMilik PriceKesempatan Kedua Alpha, Sang NymphBertemu Penculikku Lagi

Newest Publications

Serigala MileniumMerasa DibakarAkhir PerjalananAsisten Sang Miliarder TeknologiBerahi Tak Terkendali