Colt - Book cover

Colt

Simone Elise

Badai Musim Panas 🌶️ ️

Summer

Kakakku adalah orang yang kuat. Kata-katanya bisa dipegang, dan dia mampu menjatuhkan seorang pria dengan satu pukulan. Dia bukan seseorang yang mau kau permainkan. Ketika ada yang menjatuhkan kita, maka kita harus bangkit lebih kuat.

Itu sikapnya, dan sikap yang diajarkan kepadaku. Kami tidak kaya, tetapi kami memegang janji kami dan kemampuan untuk mempertahankannya.

Dia adalah orang yang dapat diandalkan, mengambil hak asuh penuh atasku ketika aku berusia delapan tahun—tetapi, begitu aku berusia 18 tahun, dia kembali ke satu-satunya kehidupan yang dia tahu: kehidupan klub.

Dia sempat meninggalkannya untuk membesarkanku, dan begitu kami kembali ke negara ini dan aku dianggap cukup dewasa untuk menjaga diriku sendiri, dia kembali ke Klub Sepeda Motor Viper.

Dia bukan meninggalkanku begitu saja demi klub—tidak, akulah yang membuat batasan.

Aku minta dia memilih, klub atau aku.

Singkatnya, kami hampir tidak berbicara sekarang. Dia memilih kehidupan sebagai penjahat dibanding aku, dan itu masih membuatku kesal. Setelah semua yang klub lakukan kepadanya, dia kembali lagi.

Itulah yang terjadi kepada pengendara sepeda motor—mereka lebih setia kepada orang asing yang memakai emblem yang sama daripada darah mereka sendiri.

Setelah pesan Scorp dini hari tadi, aku mencoba meneleponnya dan memohon kepadanya untuk mempertimbangkan kembali pilihannya untuk memihak Iblis. Aku punya kenangan samar-samar tentang Colt Hudson sejak aku kecil, tetapi berdasarkan artikel terbaru tentang pembebasannya, berpihak kepadanya akan berujung kepada kematian.

Setiap panggilanku langsung masuk ke pesan suara, jadi aku tidak punya pilihan selain melompat dari tempat tidur dan mengunjungi kakakku secara langsung.

Pada saat aku berhenti di luar rumah Scorp, hujan turun. Aku membalik cermin, memeriksa lapisan tebal alas bedak yang kupakai sebelum meninggalkan rumah. Aku tidak tahan membayangkan wajah kecewa kakakku jika dia melihat memar baru, memar pertamaku, atau memikirkan apa yang mungkin dia lakukan kepada Elliot jika dia melihatnya.

Yakin kulitku sudah sempurna, kuambil tasku dari kursi penumpang, kubuka pintu mobil, dan berlari menembus hujan menuju teras Scorp.

Aku menggedor pintu depan Scorp, membunyikan bel pintu tanpa henti, tetapi tidak ada jawaban. Aku mengulurkan tangan dan mengangkat keset, berdoa agar Scorp masih menyembunyikan kunci cadangan di sana. Aku pun lega saat melihatnya.

Setelah membuka pintu, aku melangkah ke udara pengap dan hangat dari rumah gelap itu. Baunya seperti rumput liar, manusia, dan rumah. Kami dibesarkan di rumah ini sampai aku berumur delapan tahun. Scorp selalu memiliki keterikatan yang aneh dengannya.

“Scorp?”

Hatiku mencelus ketika tidak ada yang menjawab. Aku terlambat. Kekhawatiranku akan nyawanya meningkat—tidak biasanya dia meragukan dirinya sendiri seperti kata-katanya dalam pesannya itu.

Saat itulah aku melihatnya. Dalam kegelapan ruang tamu, bara api dari rokok menyala. Sosok bertudung duduk di sana. Tinggi, gelap, mengancam. Basah dari badai di luar. Dia menatap tepat ke arahku.

"Di mana dia?" pria itu menggeram.

Aku benar-benar mati rasa, ketakutan. Siapa orang asing ini? Apa yang dia inginkan?

"Di mana Scorp?"

“Kurasa dia tidak ada di rumah. Aku…” Napasku tercekat saat pria itu berdiri, membuka tudung kepalanya dan memperlihatkan wajahnya.

Kita bisa menilai beberapa pria adalah masalah, dan ketika aku melihatnya melepas jaket kulitnya, aku tahu bahwa masalah itulah yang sedang aku lihat.

Helaian rambut hitam yang basah jatuh di depan mata biru yang intens dan tajam. Bekas luka pucat menghiasi punggung tangannya yang besar. Tato menghias lengannya yang telanjang dan berotot, lalu menghilang di bawah kerah rompinya, yang disulam dengan simbol yang pernah kulihat ditato di dada kakakku ketika aku berusia enam tahun.

Sial, siapa yang ada di rumah kakakku?

Mataku beralih ke dapur. Mencari senjata apa pun yang bisa kutemukan.

"Jangan coba-coba, Manis," geramnya. “Kau melihat tatoku. Kau tahu apa yang mampu kulakukan.”

Pengendara motor? Ya, aku tahu persis apa yang mampu mereka lakukan.

Matanya juga menatap ke arahku. Perlahan-lahan. Dari rambutku yang panjang dan basah menetes, turun ke kakiku yang ramping, hingga sepatu perakku. Gaun ini kemungkinan besar tembus pandang karena hujan. Dia bukan pria terhormat terkait hal itu. Dia tidak memalingkan wajah. Sebaliknya, matanya berlama-lama menatap payudaraku.

Aku melihatnya mengambil sekotak rokok basah dari sakunya. Dia mengeluarkan satu, menyalakannya, dan menyesapnya panjang,sambil terus menatapku. Rasa dingin menyebar ke seluruh tubuhku.

Aku tidak bodoh. Aku tahu apa yang membuatnya menatap. Fakta bahwa aku tidak memakai bra.

"Haruskah kuberi tahu Scorp bahwa kau mampir?" Aku bicara, mencoba menarik perhatiannya, dan terkejut ketika dia benar-benar menatap mataku.

"Apakah kau wanitanya?” Kata-katanya terpotong dan pendek. Aku mendengar nada frustrasi yang murni dan nyata dalam nada suaranya.

Wanitanya. Beginilah ciri khas pengendara motor, berpikir semua wanita tunduk kepada pria. Pengendara motor. Rasa jijik menjalari tubuhku.

Klub adalah alasan aku dan Scorp berselisih. Aku benci klub. Melihat aku sendirian di rumahnya dengan pria ini, tidak mungkin aku akan mengakui itu—ditambah lagi, jika ada satu hal yang dipatuhi pria seperti dia, itu adalah fakta bahwa wanita yang dianggap milik anggota lain, tidak akan disakiti.

"Begitulah." Aku merasa seperti membutuhkan perlindungan Scorp sekarang, dan jika dengan mengatakan bahwa aku adalah wanitanya bisa menghentikan tatapan pria ini kepadaku, maka aku akan memanfaatkan nama kakakku.

Bagaimanapun, Scorp memiliki reputasi yang sangat buruk.

"Yah..." Dia membungkuk di atasku, menggunakan tinggi badannya untuk mengintimidasiku.

“Jika kau ingin tetap menjadi wanitanya, lebih baik ganti bajumu sebelum kulepaskan gaun itu darimu.

Asal tahu saja, gaunmu tembus pandang.”

Dengan kata-kata dari mulutnya, penilaianku tentangnya sudah bulat. Sungguh khas pria dominan yang berpikir dia berhak melakukan hal seperti itu.

Dia bertingkah seolah-olah dia telah dipenjara, dan aku adalah wanita pertama yang diizinkan berada di dekatnya.

Mungkin aku harus mengarahkan dia dan suasana hatinya yang buruk ke salah satu kelab tari telanjang Elliot.

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menyilangkan tangan dan menyipitkan mataku kepadanya. "Bajumu juga basah, tetapi aku tidak mengeluh."

Aku bergerak berjalan melewatinya. Bukannya menyingkir, dia malah menghalangi jalanku dengan lengannya.

"Kita sama-sama tahu kau bukan milik klub."

Sekali lagi, aku merasa perlu merujukkan diriku ke klub sehingga dia tidak menyakitiku. Mata pria itu memiliki kemampuan untuk membunuh.

"Aku berutang budi kepada klub." Itu benar. Klub membawa Scorp dan aku ke luar negeri ketika aku masih kecil, dan dia hampir menjalani hukuman serius di penjara. Bagaimana dia bisa keluar dari kejahatan itu adalah rahasia yang masih dia simpan.

"Singkirkan tanganmu.” Aku menolak untuk menyentuhnya. "Sekarang."

"Atau kau akan melakukan apa?" dia menantang.

Cukup!Aku sudah muak menjadi gadis yang harus menerima omong kosong dari setiap pria. Apa yang membuat orang asing ini berpikir dia berhak menanyaiku di rumah saudaraku sendiri?

"Menyingkir atau akan kupaksa,” aku menegaskan.

Ini adalah contoh sempurna dari kakakku yang benar dan aku yang salah, karena aku tidak membawa senjata seperti yang selalu dia suruh.

“Dari reaksimu, kurasa kau tahu siapa aku?” Dia menatapku.

Ya, aku tahu persis siapa dia—dia adalah pengendara motor lain yang berpikir dirinya lebih tahu dibanding orang lain.

Aku memiringkan kepalaku, mengawasinya, dan menggunakan kekuatan keheningan untuk membuatnya mempertanyakan langkahku selanjutnya.

"Apa yang sebenarnya kau lakukan di sini, manis?” dia bertanya penasaran.

”Bukan urusanmu.”

"Jika kau wanita Scorp, lalu di mana dia?" dia mencoba bertanya lagi.

"Aku bukan wanitanya." Aku dengan frustrasi menegaskan. "Aku adiknya."

Tidak ingin menghabiskan satu menit lagi dengan seorang pria yang melihat wanita sebagai harta benda, aku pun menambahkan, “Bagaimana jika aku mengirimkan pesan kepadanya?”

Dengan anggukan darinya, aku membuka nomor Scorp, berharap pesan tentang orang asing di rumahnya akan menarik perhatiannya.

Summerada seorang pria di rumahmu
Scorpapa?
Summerpria besar, emblem ular, punya banyak tato. kau kenal?
Scorpapa yang kau lakukan di rumahku?
Summerkau yang membuatku takut!!!
Summermemang apa yang kau harapkan?
Scorppergilah
Summerbagaimana dengan dia?
Scorpjangan khawatirkan dia
Scorppulanglah ke rumah mewahmu
Summerkenapa kau selalu membahas rumahku dan Elliot?
Scorpdi sanalah tempatmu
Scorppulanglah, Summer
Scorpkau harus sadar diri

Kau harus sadar diri.Mataku mulai berair dan aku dengan cepat mengedip untuk menghapusnya. Ini bukan saatnya untuk menangis.

Dari ekspresi anehnya, sepertinya aku tidak cukup cepat.

”Kau baik-baik saja?" Kata-kata itu terdengar kaku, seolah-olah dia tidak pernah mengatakannya kepada siapa pun sebelumnya.

"Tebakanku, dia ada di clubhouse.”

"Kau mau kusampaikan pesan kepada kakakmu?" Dia memakai jaketnya kembali.

Aku refleks tersenyum masam. "Dia sudah menegaskan bahwa dia lebih seperti saudaramu daripada saudaraku."

"Setidaknya dia sadar diri.” Kata-katanya membuatku membeku seketika. Bagaimana dia bisa mengulangi kata-kata yang sama yang baru saja digunakan kakakku kepadaku?

"Enyahlah ke neraka," semburku. Pikirnya dia siapa?

Seringai angkuh menyebar di wajahnya. "Aku baru saja keluar dari neraka."

Napasku tercekat di tenggorokan saat potongan-potongan teka-teki itu terungkap. Petir menyambar di langit, membuat bulu kudukku berdiri saat aku bertanya, “Tunggu, apakah kau…?”

Kilatan jahat menyinari wajahnya. “Colt Hudson. Sang Iblis."

Next chapter
Diberi nilai 4.4 dari 5 di App Store
82.5K Ratings
Galatea logo

Unlimited books, immersive experiences.

Galatea FacebookGalatea InstagramGalatea TikTok