Kakak Tiriku adalah Manusia Beruang - Book cover

Kakak Tiriku adalah Manusia Beruang

Kelly Lord

Sendirian di Rumah 🌶🌶🌶

HELEN

Aku telah bekerja lembur di gedung seni sepanjang malam, tetapi sekarang sudah waktunya pulang. Besok ada banyak kelas yang harus aku hadiri, dan tidak ada yang aku butuhkan sekarang selain penutup mata dan piama berbulu.

Aku mengemasi perlengkapan seni dan keluar dari ruang kelas. Langkahku yang seperti zombi bergema di lorong. Tempat itu sepi.

"Hei, Helen."

Aku berbalik untuk melihat Chris berjalan menghampiriku.

Apa yang dia lakukan di sini? Dia siswa jurusan Ekonomi.

Aku memeriksa bayanganku di foto Mapplethorpe berbingkai di dinding.

Fiuh!

Riasanku sudah bagus, blusku menyamarkan lekuk tubuh, dan pantatku terlihat sempurna dengan jins yang aku kenakan.

Chris berjalan menghampiriku dengan seringai konyol di wajahnya.

Kenapa dia tersenyum?

“Untung saja aku bisa mengejarmu. Aku mengalami masalah dengan komputer. Bisakah kau datang ke lab sebentar?"

“Oh…eh…”

Dia memberikan senyuman paling bersinar. Aku benar-benar membutuhkan kacamata hitam.

Rasa lelahku menghilang seperti sihir.

"Tentu. Tunggu sebentar.”

Chris meraih tanganku dan menuntunku menyusuri lorong menuju lab komputer. Seperti bagian lain di bangunan itu, semuanya benar-benar kosong.

"Apa yang kau butuhkan?"

Dia menutup pintu di belakang kami dan mematikan lampu. Screensaver biru-hijau pada monitor membuat ruangan terlihat seperti akuarium.

"Aku membutuhkan kau, Helen."

Aku terkesiap. “Aku?”

Dengan satu tangan, Chris menyapu salah satu meja panjang. Sebuah perangkat teknologi senilai minimal seribu dolar jatuh menabrak linoleum. Saat perangkat itu mengeluarkan percikan dan mati, aku segera menutup mulut dengan tangan.

Astaga, seksi sekali!

Chris sudah menanggalkan bajunya, tubuh yang terbentuk karena bermain squash terlihat sepenuhnya. Lengannya yang terangkat, perut rata, paha berotot, dan kaki kencang.

Dia melepas celana bokser, penisnya yang besar benar-benar menarik perhatianku.

"Sudah siap?" tanya Adonis-ku dengan suara rendah dan parau, “Tunggu apa lagi?”

Aku melihat ke bawah. Entah bagaimana, pakaianku sudah hilang!

Aku melangkahi komputer yang rusak dan berbaring di atas meja. Chris pun menerkam.

Aku merasakan ujung penisnya berdenyut di bibir vaginaku saat dia mengisap dan menggigit putingku yang mengeras. Aku sudah lebih basah dari taman rekreasi air.

"Lakukan," aku memohon, "setubuhi aku, sayang."

Aku mendesah saat dia memasukiku. Penisnya luar biasa panjang. Aku belum pernah bersetubuh dengan seorang pria yang bisa membuat aku mencapai klimaks hanya dengan kemaluannya saja, tapi aku punya firasat baik kalau Chris akan menjadi yang pertama melakukannya kepadaku.

Ritmenya yang stabil menjadi semakin cepat. Vaginaku menjepit lebih keras di sekelilingnya...

Di ambang orgasme, aku menatap mata abu-abunya yang indah…

Tunggu sebentar. Abu-abu?!

Namun, Chris memiliki mata hijau...

Aku ternganga melihat seringai di antara tulang pipi yang tinggi itu. Rambutnya gelap dan acak-acakan. Tangan kapalan mencengkeram meja di kedua sisiku.

Bukan Chris yang meniduriku…

Itu Sam!

“Ya Tuhan!” umpatku sambil membuka mata. Aku kembali ke kamar tamu di rumah Jack.

Dan sesi masturbasiku kacau seketika.

Aku mematikan Vibra-Tron milikku saat menariknya dari selangkangan. Aku masih basah.

Terlalu basah, mengingat saudara tiriku yang aneh telah menghancurkan khayalan kecilku.

Aku menghela napas. Kenapa tempat ini tidak memiliki Wi-Fi? Jack jelas punya uang untuk itu.

Ini tidak akan pernah terjadi jika aku punya film porno.

Bagaimana bisa mereka hidup seperti ini?

Mungkin itu sebabnya Sam terus menatapku…

Aku berbalik di ranjang, berharap untuk tidur melupakan ketidakpuasanku. Namun, di sini terlalu sunyi. Aku membutuhkan beberapa suara dari jalanan untuk menenangkanku; di sini rasanya seperti kuburan.

Setidaknya malam itu tidak benar-benar kacau.

Setelah pertemuan canggung di jalan masuk tadi, orang-orang di sana kembali ke teras untuk minum-minum lagi. Kami menghabiskan setengah malam mendengarkan cerita gila sambil minum-minum, dan seperti yang Ibu takutkan juga, aku pun berbagi banyak cerita.

Jack menyalakan perapian, jadi serangganya tidak terlalu banyak. Langit malam penuh bintang, aku belum pernah melihat yang seperti itu.

Aku mencoba duduk sejauh mungkin dari Sam, tapi dia terus menatapku menembus api. Orang itu berniat buruk. Tidak bisakah dia paham dengan isyaratku?

Aku tidak akan bercinta dengan saudara tiriku, bung!

Neraka pasti sudah membeku lebih dari tiga kali bahkan sebelum aku mempertimbangkannya.

Namun, kau SUDAH membayangkannya, aku mengingatkan diri sendiri. Celana dalamku masih basah seperti kain pel.

AH!

Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkan Sam? Dia benar-benar misterius!

Aku memejamkan mata, berharap vodka yang kuminum akan melakukan tugasnya.

Otakku butuh istirahat.

***

Keesokan paginya, aku berjalan ke bawah untuk sarapan. Kali ini, aku punya akal sehat untuk mandi dan berpakaian dulu.

Aku tidak bisa mengambil risiko membuka diri kepada pria gunung yang penuh nafsu itu lagi. Tuhan tahu apa yang akan terjadi kalau dia melihat lebih banyak bagian tubuhku.

Ketika masuk ke ruang tamu, aku melihat beberapa barang bawaan dikemas di dekat pintu. Ibu dan Jack berpelukan di sofa sambil minum kopi.

"Ada apa dengan tas itu?" Aku bertanya.

“Pagi, sayang!” kata ibu sambil melompat dari sofa, “Ibu mendengarmu di lantai atas. Ibu membuatkan kopi untukmu.”

Terima kasih, Tuhan. Tidurku tak nyaman.

Dia pergi ke dapur. Aku mendengar langkah kaki di belakangku. Sam juga bangun.

Untung saja, dia sedikit lebih sopan pagi ini.

"Pagi," ucapnya. Aku berbalik untuk melihatnya meregangkan tubuh. Dia mengenakan celana piama yang sama seperti kemarin, kali ini dipasangkan dengan singlet putih tipis yang nyaris tidak menutup ototnya.

Yah, lebih baik daripada bertelanjang dada, pikirku saat memaksakan diri untuk membuang muka.

Meskipun masih terasa mengganggu…

Ibu kembali dengan kopi untukku dan Sam, lalu duduk kembali di sofa di sebelah Jack.

Dia meraih tangan Ibu. Cincin kawin baru mereka berkilau di bawah sinar matahari pagi yang masuk melalui jendela.

"Kami punya pengumuman," kata Jack.

“Kalian akan menikah?” ucapku bercanda, memutar mata. Sam mencibir.

“Bukaaaaaaan…” kata Ibu sambil menggelengkan kepala ke arahku. Dia menggenggam tangan Jack lebih erat. "Jack mengajakku pergi untuk bulan madu kejutan!"

"Kita akan pergi ke kabin milikku yang letaknya lebih jauh ke atas gunung," kata Jack, “yah, sekarang kabin milik kami. Elena belum melihatnya, dan sepertinya kami akan bermain ski. Cuacanya akan cukup bersahabat.”

"Ibu, kau tidak bisa bermain ski!"

"Jack akan mengajariku," katanya sambil tersenyum. Ibu tersenyum berseri-seri kepadanya. Aku hampir muntah—dan bukan karena mabuk.

Astaga, keduanya sedang jatuh cinta.

Aku berharap bisa berjodoh dengan seseorang seperti Jack suatu hari nanti. Aku berharap mungkin Chris, atau salah satu model kembar Calvin Klein yang akan aku dan Emma nikahi…

"Kami hanya akan pergi beberapa malam," kata Jack, "setelah itu, kita akan berkemah bersama ketika kami kembali."

Tunggu, apa?!

Apakah itu berarti mereka memintaku menghabiskan waktu di sini selama beberapa hari ke depan? Sendirian? Dengan Sam?

Tidak mungkin. Itu tidak boleh terjadi.

Pria itu bertingkah seperti predator, bahkan saat orang tua kami ada. Aku tidak ingin melihat bagaimana dia akan berperilaku tanpa pengawasan orang dewasa.

“Kalian berdua sudah bertemu. Ini kesempatan besar untuk saling mengenal tanpa kami, orang tua, menghilangkan rasa canggung,” kata Ibu.

Sam tersenyum kepadaku. “Kedengarannya bagus. Bukan begitu, Dik?”

Sekarang, aku benar-benar merasa gugup.

"Bu," kataku pelan, menghindari tatapan Sam. "Bisakah kita mengobrol sebentar?"

***

Aku menyesap kopi. Aku dan Ibu sedang berada di teras. Dia menyibukkan diri dengan membersihkan sisa botol dan gelas dari malam sebelumnya.

"Bu, kupikir aku datang ke sini agar kita bisa menghabiskan waktu bersama."

“Kita sudah menghabiskan waktu bersama, Nak,” kata Ibu, “Ibu merasa kita sudah mengobrol lebih banyak dalam beberapa malam terakhir daripada beberapa tahun terakhir. Kau selalu sibuk di kampus, atau sibuk dengan ponselmu. Di sini damai, kan?”

“Ada…sesuatu…” Suaraku menghilang saat memukul seekor lalat. “Dengar, aku akan jujur ke​​pada Ibu—aku tidak ingin berduaan dengan Sam. Aku punya firasat aneh tentangnya.”

“Sam? Benarkah?" Ibu terdengar kebingungan. “Helen, dia benar-benar polos. Ibu tidak tahu dari mana kau mendapatkan perasaan itu.”

“Dia terus…menatapku.” Aku bergidik mengingat intensitas tatapannya.

“Lalu, tadi malam ketika mengeluarkan vodka dari mobil, aku mendengar semua orang membicarakan soal dewan atau semacamnya. Kemudian, Sam muncul di belakang dan membuatku benar-benar ketakutan. Sepertinya, aku tidak seharusnya mendengar apa yang mereka bicarakan.”

“Seperti sekarang?” Kata Ibu sambil menunjuk ke dalam tempat para pria sedang minum kopi. “Terkadang orang melakukan percakapan pribadi, Helen. Pikirkan berapa kali kau dan Emma memberikan pandangan sinis ketika Ibu menerobos masuk kamar saat kalian berduaan.”

Aku menghela napas. Ibu tidak mengerti. “Tempat ini hanya terasa sedikit aneh bagiku, itu saja. Aku benar-benar tidak ingin tinggal tanpa Ibu di sini.”

"Namun, Nak, bagaimana dengan perjalanan berkemah?" Ibu menatapku. Aku bisa melihat di wajahnya bahwa dia kecewa. "Ibu benar-benar berharap bisa keluar ke hutan bersamamu dan anak-anak."

Sial. Aku tidak ingin membuat Ibu kecewa.

Dia telah bekerja keras membesarkanku sendirian selama delapan tahun terakhir ini; aku tidak ingin terlihat seperti anak perempuan yang tidak tahu berterima kasih.

Ini minggu yang istimewa baginya, dan dia pantas mendapatkan apa yang dia inginkan.

Bahkan jika itu berarti aku harus menghabiskan beberapa hari berduaan dengan Sam di daerah terpencil pegunungan Amerika.

“Ibu tahu semua tentang Jack dan Sam. Kami tidak punya rahasia apa pun,” Ibu meyakinkanku, “mereka adalah orang-orang terbaik yang pernah Ibu temui. Semua orang di Bear Creek begitu hangat dan tulus. Tidak seperti di kota.”

Ibu memelukku. "Tidak ada yang perlu kau khawatirkan, Nak."

Aku memeluknya kembali.

“Baiklah. Jika Ibu yakin.”

***

Satu jam kemudian, Sam dan aku berdiri di luar rumah saat Jack memundurkan SUV keluar dari garasi dan memutarnya di jalan masuk. Jack membunyikan klakson, tersenyum seperti orang gila. Ibu tampak sama gilanya.

Kuharap mereka bersenang-senang di kabin, pikirku. ~Meskipun kenapa ada orang yang pergi lebih jauh ke tempat antah berantah adalah misteri bagiku.~

Jika rumah Jack tidak memiliki Wi-Fi, kabin ski-nya mungkin tidak memiliki persediaan air.

Pikiran itu membuatku bergidik.

“Bersenang-senanglah, anak-anak!” Ibu berteriak ke luar jendela saat mobil menghilang setelah keluar dari jalan masuk. Mataku sedikit berkabut—kami bersenang-senang bersama selama dua hari terakhir ini.

“Jangan khawatir, Dik,” kata Sam sambil menghampiriku. "kita akan bersenang-senang bersama."

Dasar orang aneh!

Aku tidak menjawabnya, malah berbalik ke rumah.

Ya Tuhan, untung saja kamarku ada kuncinya.

Next chapter
Diberi nilai 4.4 dari 5 di App Store
82.5K Ratings
Galatea logo

Unlimited books, immersive experiences.

Galatea FacebookGalatea InstagramGalatea TikTok