Diculik Sang Alpha - Book cover

Diculik Sang Alpha

Midika Crane

Lamaran Kawanan

Mara

Kaden melepaskan tautan lengan kami saat sedang menunggu di atas panggung yang didirikan di aula besar.

Meskipun dia adalah musuh bebuyutanku, kehadirannya malah membuatku semakin bingung.

Tiba-tiba aku jadi terlalu gugup untuk peduli siapa yang menemaniku, walaupun dia yang paling tidak kusukai di dunia.

Dia berjalan menuju ke tengah panggung di depan kawanannya yang sudah berkumpul di sana.

Mereka semua bersorak dan meneriakkan namanya dengan histeris.

Setelah beberapa saat, dia berhasil membuat kawanannya tenang.

Di mataku, nilai mereka semua tidak lebih dari seekor binatang buas yang berada di bawah kekuasaan seorang pria yang sama-sama biadabnya.

"Selamat malam, semuanya," bisiknya dingin.

Sepertinya mikrofon pun sudah tidak diperlukan lagi, karena dengan kehadirannya di atas panggung saja sudah membuat perhatian setiap orang tertuju kepadanya.

Kace berada di seberang panggung, menunggu aba-abanya untuk menemuiku di tengah panggung nanti.

Dia tidak repot-repot menatapku.

Aku kembali bertanya-tanya, Apa yang akan terjadi jika aku kabur sekarang?

Aku pasti tidak akan berhasil keluar dari gedung ini. Salah satu anggota kawanan pasti akan menemukanku, lalu menyeret dan membawaku kembali ke hadapannya.

Atau mungkin aku bahkan tidak akan bisa kembali ke Kaden hidup-hidup.

“Ada berita sangat penting untuk disampaikan,” kata Kaden.

Semua orang menjawab dengan teriakan dan lolongan.

Banyak dari anggotanya adalah penjahat dari kawanan lain. Karena memang itulah yang dia lakukan sehari-hari. Dia membiarkan mereka tinggal di sini, di tempat di mana mereka tidak dapat menyakiti siapa pun, kecuali diri sendiri.

Aku perhatikan sampai saat ini Kaden masih menutupi wajahnya. Pada akhirnya, dia harus menunjukkan wajahnya kepada kawanannya, kan?

Namun, sepertinya tidak ada yang mengharapkan dia melepaskan tudungnya, jadi mungkin mereka semua sudah terbiasa melihatnya penampilannya seperti ini.

"Seorang tamu spesial akan bergabung dengan kita di atas panggung ini," katanya dengan lancar.

Dia berbalik, memberi isyarat kepadaku untuk datang ke sisinya. Butuh waktu sedetik untuk menggerakkan kakiku.

Dengan gugup, aku mulai berjalan di atas panggung sehingga semua orang bisa melihatku dengan jelas.

Keheningan yang menyelimuti kerumunan langsung terasa. Jelas tidak ada yang mengharapkan anggota Kawanan Kemurnian berada di sini hari ini.

Wajah-wajah yang terkejut membuatku sedikit tak nyaman.

Aku berdiri di samping Kaden—tapi tidak terlalu dekat.

“Ini Ma—”

Dalam seketika kerumunan maju ke depan berdesakan, memotong ucapan Kaden. Mereka berdiri di tepi panggung, semua saling mendorong untuk mendapatkan pandangan yang lebih baik.

Aku tidak menyangka mereka akan bereaksi seperti ini. Jika punya keberanian, aku mungkin akan mempertimbangkan untuk melarikan diri sebagai pilihan yang masuk akal.

Kaden meraih lenganku dan menarikku ke belakangnya.

Aku menempel di punggungnya, pipiku menempel di otot dan tulang belakangnya, dan aku bisa merasakan kehangatan menembus melalui bajunya.

Aku tak pernah sedekat ini dengan seorang pria selain ayahku, walau kami masih dipisahkan oleh kain.

"Mundur! Jangan ada yang berani menyentuhnya!" dia berteriak kepada kerumunan di hadapannya.

Suara Kaden begitu nyaring dan nadanya begitu ganas hingga mereka semua meringkuk hampir bersamaan.

Begitu mereka semua mundur sedikit dan berada pada jarak aman, Kaden menarikku keluar dari belakangnya.

Aku dengan cemas kembali ke tempatku, pandanganku kini menatap tanah sehingga tidak perlu melihat tatapan liar dari mata anggota kawanan tak berjiwa ini.

Kaden kemudian melanjutkan untuk meminta Kace berjalan ke atas panggung.

Dia berdiri di sisi lain. Ekspresi ketidakpedulian di wajahnya terlihat dengan jelas.

Mengapa dia tidak bisa angkat suara dan meminta kakaknya menghentikan semua ini?

“Kita berkumpul di sini untuk merayakan posisi kita yang mendominasi atas Kawanan Kemurnian,” Kaden mengumumkan.

Hatiku kembali tenggelam. Kerumunan menjadi hilang kendali, mereka bersorak -sorai menanggapi kata-kata Kaden dengan antusias.

Cara mereka berperilaku membuatnya sangat jelas terlihat pandangan mereka tentang kawananku.

Mereka membenci kami.

“Karena itu, aku sekarang mengumumkan penyatuan wanita muda dari Kawanan Kemurnian ini dengan adikku, Kace,” kata Kaden.

Aku merasakan air mata menggenang di ujung mataku, tapi aku berjuang menahannya agar tidak tumpah ke wajahku.

Dia bahkan tidak memberi tahu mereka semua namaku. Semakin terlihat betapa kecilnya harga diriku bagi mereka.

Semua orang bersorak. Aku menangkap tatapan Kace. Dia terlihat marah atau setidaknya tak senang dengan ini semua. Mungkin dia sedang berpikir dua kali untuk mewujudkan keinginan Kaden.

Kumohon.

Kaden mundur, Kace berjalan ke arahku dengan tangan terulur. Mengetahui aku tidak punya pilihan lain, aku menyambut uluran tangannya, mengambilnya.

Aku bisa merasakan dia sedikit gemetar, dan aku terkejut melihatnya tampak lebih gugup daripada aku sendiri.

“Mara, dari Kawanan Kemurnian,” gumamnya, “maukah kamu terikat denganku, dan, di masa depan, menjadi jodohku?”

Keheningan di sekitar kami terasa begitu berat. Aku ingin mengatakan tidak dan melarikan diri dari semua ini. Tidak ada yang bisa membuatku lebih bahagia daripada bisa pergi begitu saja.

Namun, sebaliknya, aku malah berkata, "Ya."

Rahang Kace mengatup saat penonton meneriakkan persetujuannya, mereka bertepuk tangan pada saat yang bersamaan.

Aku berbalik dan melirik ke belakang untuk melihat Kaden yang mengangguk. Kemudian Kace membawaku turun dari panggung, tangannya mendorong sedikit pada punggungku yang kecil untuk memandu jalanku.

"Hanya itu saja?" Aku bertanya, setelah kami berada di luar panggung.

Kaden, yang mengikuti, menggelengkan kepalanya ke arahku. "Tidak, kita akan makan malam di aula utama beberapa saat lagi."

Aku meredam keinginanku untuk menyakitinya. Memukul sepertinya ide bagus secara teori, tetapi dalam praktiknya aku mungkin akan langsung terbunuh.

Aku dibawa menyusuri sebuah koridor menuju ke ruang makan, di sana sudah dipenuhi orang-orang yang mendiskusikan berbagai hal dengan suara pelan. Percakapan terhenti saat kami memasuki ruangan.

Semua orang berdiri, menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat.

Persis seperti yang akan terjadi di kawananku dengan Alpha Rylan.

Kace mengaitkan lengannya dengan lenganku, jadi sepertinya kami benar-benar sudah resmi bertunangan, dan akan menikah. Memikirkan hal itu membuatku merasa mual...

Kaden duduk di ujung meja jauh dari anggota kawanan lainnya, Sementara dia duduk di sana, satu per satu, anggota kawanan yang lain mendekati Kace dan aku.

“Selamat,” kata seorang pemuda sambil menjabat tangan Kace.

Dia bahkan tidak menatapku sebelum berjalan kembali ke tempat duduknya. Yang lain juga melakukan hal yang sama.

Mereka berjalan, menjabat tangan Kace, mengucapkan selamat kepadanya, tersenyum, dan mundur tanpa sedikit pun melirik ke arahku.

"Mereka mengabaikanku," bisikku di telinga Kace.

Dia tersenyum kecil dan mengangguk kepadaku. “Itu karena kamu anggota Kawanan Kemurnian.”

Aku duduk di kursi di samping Kace. Di sisiku yang lain, ada seorang pria yang tidak kukenal duduk di sana, pandangannya menatap kosong ke depan.

Aku memutuskan untuk tidak repot-repot memulai percakapan dengannya, atau siapa pun di sini. Bahkan aku tidak ingin berada di sini seperti ini.

Makan malam sudah disajikan, dan aku memakannya perlahan. Aku tidak lapar, dan perutku sudah kenyang dengan sendirinya. Aku ingin menangis, tapi tidak mau terlihat oleh siapa pun.

Aku tahu tidak ada yang bisa kulakukan untuk saat ini, tetapi memikirkan bagaimana tadi aku mengatakan ya kepada Kace membuat cairan empedu mulai naik di tenggorokanku.

Aku sedang makan kentang ketika merasakan sesuatu menyentuh pahaku. Aku langsung tahu itu adalah tangan Kace.

Dia meletakkannya tangannya dengan lembut di paha atasku, jari-jarinya mengelus kulitku. Aku memelototinya, tapi dia bahkan tidak menatapku.

"Awas!" Aku membentak, mencoba menepis tangannya.

Namun, dia tidak bergerak. Semakin aku mencoba untuk melepaskan jari-jarinya dariku, semakin dia menolak.

"Kenapa?" dia bertanya, dan akhirnya menoleh untuk menatapku. "Kau akan segera menjadi milikku secara resmi, Mara."

Aku sangat ingin menampar wajahnya, tapi aku menahan diri, tahu itu hanya akan menarik perhatian banyak orang.

Aku hanya menambahkannya ke daftar alasan yang kumiliki untuk selalu membencinya.

Setelah makan malam selesai, aku diperintahkan ke kamarku untuk bersiap-siap tidur. Kaden memberitahuku bahwa dia akan mengantarku.

“Bukankah seharusnya tunanganku yang melakukan itu?” Aku bertanya sambil berjalan.

Tudungnya berdesir saat dia menggelengkan kepalanya. “Kamu mungkin bertunangan, tetapi hubungan seksual tetap dilarang sampai menikah nanti,” dia memberitahuku.

Aku sangat terkejut sehingga berhenti tiba-tiba. Dia berhenti beberapa langkah di depanku dan menatapku.

"Kau ternyata orang yang sangat blak-blakan," aku mengamatinya dengan tenang.

Dia mengangguk. "Aku hanya berhati-hati."

Kami berjalan sepanjang sisa perjalanan ke kamarku dalam diam. Alih-alih membuka pintu di hadapanku, aku berbalik menghadapnya.

"Aku tahu aku tidak akan pernah keluar dari sini," aku memberitahunya dengan sedikit menantang, "tapi aku ingin kau tahu bahwa aku tidak akan pernah ingin berada di sini."

Kepalanya menunduk, dan aku bertanya-tanya apa dia hanya melihat ke kakinya.

Apakah dia malu? Apakah dia merasa menyesal? Tentu saja tidak. Dia adalah monster, dan akan selalu begitu.

"Aku tidak akan bisa membuatmu suka berada di sini, Mara," katanya lembut. Suaranya terdengar sedikit tegang, seolah-olah dia sedang berjuang untuk mengeluarkan kata-kata itu.

Dia beranjak untuk pergi, tapi aku meraih lengan bajunya dan menahan dia, dia terpaku.

"Kenapa kamu tidak pernah menunjukkan wajahmu?" Aku bertanya kepadanya.

Dia mendesah kasar. “Kupikir aku sudah memberitahumu… Kau akan tertarik kepadaku jika kau menatap mataku secara langsung. Kamu tidak akan bisa menolaknya.”

Dia mengatakannya dengan sangat serius hingga aku hampir memercayainya untuk sesaat. Namun, kemudian aku menyadari bahwa itu tidak mungkin terjadi kepada orang seperti aku.

"Kau berbohong," balasku.

Dia tertawa ringan. “Kamu tidak harus percaya. Namun, kamu tidak akan pernah melihat wajahku, tidak peduli seberapa besar hal itu membuatmu kesal.”

Kesombongannya malah membuatku marah—dan dia tahu itu.

"Apakah kamu membiarkan kawananmu melihatmu secara langsung?" Aku bertanya.

Sebuah anggukan adalah satu-satunya tanggapannya. Dia membuka pintu dan memberi isyarat agar aku masuk ke dalam, seolah-olah aku sudah mengganggunya sama seperti dia yang sudah menggangguku.

"Kamu harus tidur sekarang, Mara," gumamnya.

Sambil mendesah, aku memasuki kamarku, menutup pintunya di belakangku. Aku berbohong ketika mengatakan aku tahu aku tidak bisa keluar. Aku akan mencoba. Aku akan terus mencobanya sampai hari aku mati nanti.

Next chapter
Diberi nilai 4.4 dari 5 di App Store
82.5K Ratings
Galatea logo

Unlimited books, immersive experiences.

Galatea FacebookGalatea InstagramGalatea TikTok