Milik Price - Book cover

Milik Price

Stanlight

Siapa Taylor Price?

RickSiap untuk malam ini?
RickSesiap ketika aku memasang kawat gigi
RickKiasan aneh – aku mendengarkan
KateItu baru saja terjadi
KateDan hidupku tidak akan pernah sama setelah itu
RickYah, ini mungkin akan sedikit berbeda, Kate…
KateAku tahu
RickKau ingin ditemani?
RickMungkin hanya untuk mengantarmu ke sana? lalu setelahnya kau terbang sendiri, burung kecil
Rick🐤
KateTerima kasih, tapi kurasa aku akan baik-baik saja hari ini.
RickKau pasti telah meninggalkan kesan mendalam sehingga dia memintamu kembali
KateRe
Rick🤭
KateDan mengatainya jahanam
Rick🙈
KatePersetan dengannya, kurasa
KateKau tahu…
KateKarena dia…
RickAku mengerti.
KateEntah apa yang bisa diharapkan darinya
KateIni adalah upaya ketigaku
KateDan upaya kesatu dan keduaku sangat…
RickGagal?
KateHa ha ha
KateTapi aku gugup
RickTentu saja
RickNamun, jangan gugup
RickKarena seluruh hidupmu bergantung kepada acara ini
KateRick!
RickAku bercanda – tenanglah, KAU PASTI BISA
KateAku masih tidak percaya, demi aku kau berbohong seperti itu kepada Arthur tentang wawancara itu
KateBagaimana jika Arthur tahu?
RickTulislah karya yang luar biasa, dan dia akan menyebut kebohongan itu ’inspirasi'. Kau tahu betapa dia suka menggunakan kata itu
KateHa ha ha
KateTerima kasih lagi
Rick😉
RickTidak masalah, mulai sekarang beri aku 50% dari setiap sen yang kau hasilkan, terima kasih.
KateUsulan bagus. Sangat MASUK AKAL. Itu yang terpenting.
RickHa ha ha!
RickIngat
RickPrice juga manusia
RickHanya saja lebih kaya
KateAku akan mengingatnya
RickJuga lebih berkuasa
KateAku mengerti
KateJangan bicara lagi
RickCobalah bersenang-senang 🥂
Katexoxo

KATE

Lampu kristal berkilauan di atas ruang perjamuan yang ramai di Hotel Hauts-de-Seine. Tema malam ini adalah pengendalian diri, kudapan, dan pidato memuji diri sendiri.

Apa yang disebut kalangan 1% sebagai "konferensi pers."

Aku menunggu di sisi ruangan sambil bersandar ke dinding. Kutarik benang longgar di gaun renda hijauku. Sudah bertahun-tahun aku tidak menghadiri acara yang begitu formal, tetapi penampilanku sesuai.

Saat totalitas, aku akan tampil dengan sangat baik.

Kita lihat saja apakah itu akan membuat perbedaan.

Aku sudah berkeliling beberapa kali melewati kerumunan mencari Price, tetapi hasilnya nihil.

Saat kembali berkeliling, sekilas aku melihat sesuatu yang berkilau di lantai.

Sepasang sepatu. Hitam. Kulit Italia yang disemir sempurna, dan memantulkan cahaya di atas setajam penunjuk laser.

Sepatu milik Taylor Price.

Dia berdiri bersandar di bar, dengan rambut hitam yang ditata sempurna, setelan jas yang sempurna, dan tangan memegang segelas scotch.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum berjalan ke bar.

"Tn. Price?" sapaku.

Dia menoleh dan menatapku dengan mata biru yang tajam.

Astaga, dia sangat tampan.

Dia mengangkat alis ke arahku, menunjukkan ketidaktertarikannya. “Maaf, kau…?”

“Kate. Kate Dawson dari The Daily House,” kataku, menawarkan senyum.

Ada sesuatu di dalam ekspresinya yang berubah. Matanya menjadi gelap karena bahagia. "Benar. Kau reporter itu. Kita memang seharusnya bertemu.”

“Dua kali, sebenarnya.” Aku tidak bisa menahan diri untuk bicara. Aku memang bermulut besar.

"Sepertinya aku harus meminta maaf," katanya.

Kupikir itulah yang akan dia lakukan: meminta maaf.

Namun, dia bergerak maju, lebih cepat dari perkiraanku. "Kau tahu kenapa aku mengundangmu malam ini, Nn. Dawson?"

Jawaban apa yang dia ingin dengar dariku?

“Kurasa untuk wawancara, kupikir…”

Dia tersenyum, menggelengkan kepalanya. "Tidak, bukan untuk itu."

Aku mulai merasa kesal.

Dia sedang mempermainkanku; itu sebabnya dia mengundangku ke sini.

“Kau sungguh tidak akan memberiku kesempatan wawancara?”

Senyumnya mengembang dan dia tertawa.

"Oke, kurasa aku pergi saja." Aku mengangkat tangan dan berbalik untuk pergi, tetapi aku berbalik lagi menghadapnya. “Bisakah kau memberitahuku apa masalahmu dan kita akhiri ini? Aku tidak ingin harus kembali lagi.”

“Ini rahasia, aku bukan penggemar wartawan. Aku lelah terus diganggu, direcoki, diteriaki, difoto. Harus menyembunyikan wajahku di bandara, memastikan suratku dirobek, dan aku selalu harus waspada.” Dia membuat gerakan tangan dramatis saat berbicara.

“Kalian bagai piranha, menggerogotiku sepanjang hari. Jadi, kuharap kau sudah paham rasa jengkel yang kurasakan kepada kalian di dalam hidupku. Mari kita coba untuk menjadwalkan lagi wawancara itu segera,” katanya, puas dengan dirinya sendiri.

Meskipun sangat sulit, aku masih bisa mengendalikan amarahku. Aku tidak ingin memberinya kepuasan.

Namun, dia sudah mengamati wajahku dan tahu bahwa dia telah berhasil membuatku kesal.

Merasa puas dengan kemenangannya, dia pun pergi.

"Bereng—" aku mendesis pelan, menghujamkan belati ke punggungnya melalui tatapan tajamku.

"Aduh."

Aku terlonjak mendengar suara di belakangku. Seorang pria berambut pirang dengan mata bersimpati bersandar di bar, menyesap martini, dan menggelengkan kepalanya.

“Kau dengar pembicaraan tadi?” tanyaku, berharap dia tidak mendengarnya. “Ya, aku senang bisa menyebarkan kegembiraan dan sukacita ke mana pun aku pergi.”

Aku menatap ke dalam kerumunan. "Apakah mereka semua bajingan?"

“Aku salah satu dari 'mereka,' jadi kuharap tidak semua dari kami bajingan.” Dia menyeringai. “Aku Brandon.”

“Kate.” Aku menjabat tangannya.

“Kate. Aku mungkin punya kabar baik untukmu. Terkait situasimu dengan Taylor.”

Dia tampak serius, tapi aku tidak mengerti maksudnya. "Kau kenal dia?" Tanyaku.

“Oh, sangat mengenalnya. Kami seperti saudara. Aku selalu merasa harus meminta maaf untuk bajingan itu. Maaf."

Dia benar: tidak semua dari mereka bajingan.

“Ruang kerja Taylor di lantai ini, setelah mereka bersulang beberapa menit lagi, dia mungkin akan kembali ke sana untuk beristirahat dari pesta. Aku akan memberi tahu satpam bahwa kau akan datang. Kau cobalah lagi."

"Coba lagi? Mencoba apa?" Apa yang dia bicarakan?

"Wawancaramu," jawab Brandon. "Taylor adalah tipe pria, yang terkadang, jika kau menginginkan sesuatu darinya, kau harus terus menekannya.”

“Jadi, aku harus menekannya dengan datang ke ruangannya tiba-tiba? Sepertinya itu rencana yang buruk.” Aku merengut, tidak merasakan adanya logika di sini.

“Ya, bukan ke ruangannya. Kau harus menunggu di lobi, tetapi ruang kerjanyanya tepat di sebelah lobi.”

"Kau serius?" Aku butuh kepastian sebelum terlalu berharap.

Dia mengangguk. Aku tidak percaya. Apakah aku mendapatkan kesempatan kedua—maksudku, keempat?

TAYLOR

Aku berhasil menghindarinya sepanjang malam.

Namun, hanya masalah waktu sebelum kami bertemu.

Kemudian, tibalah momen ini. Tom, rekan bisnisku, berjalan mendekat bersamanya.

Everly Grey.

Tunangan Tom. Dia tampak lebih bersinar dari sebelumnya dalam gaun perak tanpa punggung.

"Taylor," katanya. "Sudah lama tidak bertemu."

Seketika itu juga, meskipun dia berdiri di samping calon suaminya, aku tahu.

Kami akan bercinta lagi malam ini.

KATE

Seorang penjaga keamanan menggesekkan kartu kunci untukku atas seizin Brandon, kemudian aku diarahkan ke lobi di sisi lain gedung.

Sebagian besar lampu dalam keadaan mati, dan aku tidak tahu yang mana ruang kerja Taylor, jadi aku memutuskan duduk di kursi dan menunggunya.

Aku memandang ke sekeliling lobi, melewati bilik-bilik meja biasa dan mesin cetak, serta tanaman di pot. Malam ini, tidak akan ada kegiatan apa pun di sini.

Jika Taylor akan bersulang, dia mungkin akan segera kembali.

Namun, ternyata "segera" datang lebih cepat dari yang kuduga. Pintu terbuka, dan aku melihat Taylor menarik pergelangan tangan seorang wanita sangat cantik ke sebuah ruangan.

Aku berada di sebelah kanan pintu, dan dia pergi ke kiri, bahkan tidak menyadari keberadaanku.

"Masuklah ke sini," katanya.

"Pelankan suaramu!" jawab wanita itu.

Dia membanting pintu di belakang mereka. ”Orang bisa mendengar, jangan terlalu keras!" katanya dari balik pintu.

"Berhentilah bicara," adalah satu-satunya hal yang Taylor katakan, dan itu adalah akhir dari percakapan mereka.

Aku mendengar dengusan dan suara pakaian terlepas dari dalam.

Sia-sia berharap wawancara.

Pintu untuk kembali ke pesta yang baru saja mereka lewati sudah dekat, tetapi jika aku membukanya, Taylor akan melihat cahaya masuk dari luar.

Dia orang aneh yang sudah tidak menyukaiku. Aku tidak ingin ketahuan berada di sini.

Aku beringsut menuju pintu, yang membawaku lebih dekat ke jendela ruangan yang mereka masuki.

Semakin dekat aku berjalan, kini jendela itu tepat berada di depanku.

Dan melalui jendela itu, aku melihat Taylor Price di atas wanita itu. Mereka berciuman penuh gairah. Hampir bengis. Seolah ingin merobek pakaian masing-masing.

Aku meraih kenop pintu, takut terjebak di lobi saat mereka bercinta di balik dinding.

Tiba-tiba dinding terasa bergetar. Aku pun berbalik untuk melihat situasi.

Taylor Price menghempaskan wanita itu ke atas meja sehingga menghadap ke bawah, lalu menarik gaun perak tanpa punggungnya ke atas. Dalam hitungan detik, dia menurunkan celana dalam mereka berdua. Kemudian mendorong masuk kejantanannya ke dalam wanita itu.

Aku pun menutup mulutku dengan tangan karena terkejut.

Wanita itu berteriak, mencengkeram meja sebagai penopang saat Taylor mengentaknya dari belakang.

“Kau kembali. Kenapa kau kembali?”

“Persetan denganmu,” balas wanita itu sambil mengerang, dan mendorong dirinya ke arah Taylor. “Lebih keras. Lebih keras!”

Meja terus terhantam saat Taylor menggenjotnya. Kuputuskan bahwa ini adalah waktu yang paling tepat untuk kabur.

Namun, sebelum aku bisa meraih kenop pintu, ritme mereka berubah, dan aku mendengar sesuatu yang lain: suara seseorang yang tercekik.

Price sedang mencengkeram tenggorokannya, meremasnya dari belakang.

Mata wanita itu memutar ke atas saat Taylor terus memompa.

Apakah karena gairah yang besar, atau karena rasa sakit, aku tidak tahu.

Namun, ketika dia melepaskannya sebentar, dan wanita itu menarik napas, matanya kembali ke bawah dan—

Wanita itu melihat ke arahku. Dia melihatku. Dia melihatku.

"Taylor," katanya sambil terengah-engah.

Aku meraih kenop pintu dan melesat, berlari kembali menyusuri lorong menuju ke pesta. Kemudian kuingat-ingat rute kembali ke mobilku, dan kulepaskan sepatu hak tinggiku agar aku bisa berjalan lebih cepat.

TAYLOR

“Dia melihat kita. Aku yakin itu,” kata Everly, melepaskan diri dari meja dan mendorong gaunnya ke bawah.

Ada apa denganku?

"Apa yang aku lakukan?" kataku, marah kepada diriku sendiri.

Bagaimana aku bisa melakukan ini lagi?

Aku memakai kembali pakaianku secepat mungkin.

Ada kilatan emosi di matanya yang berwarna zamrud, memutar pisau yang menancap di hatiku.

Dia berkata, “Katakan saja. Aku juga merindukanmu.”

"Ini adalah kesalahan," kataku sedingin mungkin. Kukenakan kembali pakaianku. ”Pergilah.”

Kemudian aku pergi tanpa mengucap sepatah kata pun, melangkah kembali ke arah pesta.

Aku harus mengendalikan diriku.

Dan aku harus mengendalikan Kate Dawson.

Next chapter
Diberi nilai 4.4 dari 5 di App Store
82.5K Ratings
Galatea logo

Unlimited books, immersive experiences.

Galatea FacebookGalatea InstagramGalatea TikTok