Kristen Mullings
Sage
Aku berlari ke kamar mandi untuk mandi cepat sebelum Wong tiba. Ketika keluar, aku mengenakan gaun krem bertali tipis yang pendeknya satu atau dua inci dari pertengahan paha.
Gaun itu tembus pandang, memamerkan putingku yang ranum. Aku memutuskan untuk memasang tindikan di putingku, dan mengenakan celana thong warna kulit.
Aku mendapat telepon dari Wong bahwa dia berada di luar gedung tempatku tinggal. Aku merasa sedikit khawatir tentang kunjungannya karena kejadian baru-baru ini, tetapi aku menarik napas dalam-dalam dan memadamkan perasaan itu dengan segera.
Dia sudah berada di depan pintuku dalam beberapa menit.
Aku membuka pintu untuk membiarkan dia masuk, dan sekali lagi, aku hampir tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun sebelum dia tiba-tiba menerjangku. Bibirnya mencari bibirku dengan tergesa-gesa, seolah-olah dia harus berada di tempat lain setelah pertemuan ini.
Namun, aku menghindari serbuan bibirnya dengan memutar kepalaku ke atas dan menawarkan leherku sebagai gantinya. Wong bisa menikmati tubuhku, tapi momok Roman tetap tak bisa kuhilangkan.
Aku hanya ingin mencium dia seorang.
***
Napas kami terasa berat dan tergesa-gesa.
Wong dan aku hampir tidak bisa bernapas dan mendapatkan cukup udara, saking begitu sibuknya berciuman, mengisap, dan menjilati setiap inci tubuh satu sama lain. Kami benar-benar putus asa untuk saling memenuhi satu sama lain saat ini.
Aku mengerang saat dia mengangkatku, dan dengan satu tangan lainnya dia meraba-raba ritsletingnya. Sedetik kemudian, aku merasakan dia mencolek dan menekan inti kewanitaanku yang sudah panas. Aku memejamkan mata, menggigit bibir bawahku di antara gigiku.
Rasanya sangat enak.
Aku meneteskan air kenikmatan karena sudah tak tertahankan lagi, dan celana dalamku juga sudah benar-benar basah. Aku menggosokkan kemaluanku yang basah di ujung penisnya yang terlihat sudah membesar.
Dia meluncur di pintu masukku lalu kemudian mengayunkan tubuh kami ke lemari, yang langsung menggedor dan berderak saat tangannya dengan rakus meraih payudaraku…
Bokongku…
Vaginaku.
Wong bisa membacaku seperti buku. Dia tahu semua tempat yang aku sukai untuk disentuh. Namun…
Dia tidak pernah menghabiskan cukup waktu dalam satu posisi untuk bisa kunikmati secara maksimal. Pria itu selalu langsung menuju intinya dalam hal bercinta!
Sekarang Roman telah memasuki hidupku, dan menghancurkan ekspektasiku dari semua bayanganku terhadap seorang pria, semua ini menjadi terasa seperti ada lautan potensi sensual yang belum kuketahui dan kumanfaatkan. Satu hal lain yang tidak bisa lagi aku abaikan atau aku temukan pada pria seperti Wong.
Ketika dulu di perguruan tinggi, aku tidak tahu tentang lautan ini. Aku hanya ingin seks.
Dan itulah tepatnya yang kulakukan bersama Wong. Aku membuatnya terangsang dan terganggu di kelas sejarah seni kami. Dia duduk beberapa meja di depanku dan diam-diam mencuri pandang, melihat ke belakang ke arah bawah meja milikku.
Aku mengenakan rok mini. Aku melebarkan kakiku, cukup untuk membuatnya melihat bahwa aku tidak memakai celana dalam.
Ups.
Setelah kelas selesai, kami bertemu di atap gedung desain grafis. Karena hanya ada jeda tujuh menit antar kelas, kami tetap mengenakan pakaian kami.
Ujung atap memiliki ketinggian yang pas bagiku untuk mengistirahatkan sikuku. Dan dia memasukiku dari belakang sementara aku melihat pemandangan matahari terbenam yang menakjubkan.
Sesi seks kami sangat cepat, dan kami berdua klimaks, tetapi segera setelah dia selesai, Wong akan menghilang secara emosional dan fisik. Secara harfiah.
Dia segera menutup ritsleting celananya dan berlari menuruni tangga darurat tanpaku. Secara logika, aku memahaminya. Dia harus pergi ke kelas.
Namun, secara emosional, aku selalu berharap kami bisa berjalan bersama—atau bahkan berlari—menuruni tangga bersama-sama.
Ada kekosongan dalam jiwaku. Sebuah kerinduan untuk sesuatu yang lebih. Aku hanya tidak tahu itu apa.
Sekarang aku tahu.
***
Wong mendorong tonjolan kerasnya ke dalam vaginaku, sedikit menembus melalui thong yang aku kenakan.
Cairanku membanjiri celana dalamku dan kepala penisnya, sudah cukup licin untuk sesekali tergelincir masuk melewati thong ini.
Aku memejamkan mata dan membayangkan kecepatan Roman yang mungkin sama agresifnya, tetapi sedikit lebih metodis.
Sementara Wong melakukan banyak hal dengan cukup baik, aku mengira Roman pasti berkomitmen penuh pada satu gerakan pada satu waktu, mengeksekusi setiap gerakan dengan maksimal dan sangat baik.
Wong menggunakan tangannya yang sekarang bebas untuk menggeser tali thong ke samping agar bisa mendorong dirinya lebih jauh dan leluasa ke dalam tubuhku. Dia mendorong sekali.
Dua kali.
Tiga kali.
Sampai akhirnya dia terkubur jauh di dalam diriku. Aku menyukai momen itu, penetrasi sedalam mungkin hingga zakarnya terasa ikut masuk.
Aku memutar perut bawahku sehingga klitorisku juga bisa merasakan kenikmatan yang sama dengan bagian dalamku. Sebuah kenikmatan ganda.
Aku menancapkan kukuku ke punggungnya, menyandarkan kepalaku di bahunya untuk meredam teriakanku. Aku menggigit bahu itu ketika dia mulai bergerak ke dalam diriku dengan gerakan cepat.
Dia menarik keluar dan mendorong dengan lebih dalam, menekan punggungku ke lemari di belakangku. Kepalaku menengadah ke belakang menahan kenikmatan, tangannya yang bebas mencengkeram helaian rambutku yang gelap. Dia menyapu leherku dengan bibirnya dan sesekali menggigit.
Oooohh.
Aku melingkarkan kakiku di pinggangnya lagi setelah dia melihat putingku yang mengerut dan mulai mengisapnya dan menggelitik tindikku. Dia tahu bagaimana cara memelintir dan menariknya dengan giginya sambil menjentikkan ujung putingku.
Dia menikmati tubuhku, sementara vaginaku menjepit di sekitar kemaluannya yang panjang. Aku berusaha menatap matanya, tapi matanya tersembunyi di kepalanya yang kini sedang menengadah kenikmatan..
Sepasang mata lain melintas di pikiranku…
Mata Roman.
Kata orang, ketika seseorang tertarik kepadamu, pupil mereka akan melebar untuk memungkinkan cahaya masuk sebanyak mungkin. Mata Roman melakukan yang sebaliknya. Pupil matanya mengecil ketika dia menatapku.
Namun, entah kenapa hal itu tidak membuatku merasa dia tidak tertarik kepadaku. Justru sebaliknya.
Ketika Roman menatapku dengan pupilnya, rasanya seperti dia sedang menatap objek yang sangat terang, yang membuatnya terpesona dan ingin memilikinya.
Plus, itu membuat matanya terlihat hampir semuanya berwarna biru. Sangat intens.
Kenyataan bahwa Roman sudah menempati ruang di dalam kepalaku membuatku tidak bisa menjalin hubungan yang stabil dengan Wong. Tidak bagus.
Wong adalah obatku. Aku harus tetap bersamanya. Aku membutuhkannya untuk melepaskan semua kemarahan, frustrasi, dan segudang emosi lain yang terkunci di dalam diriku.
Dan saat ini aku harus kembali ke momen itu.
***
Aku menancapkan kuku jariku ke punggung atas Wong, menggoresnya ke arah luar. Dia sedikit tersentak dan meremasku, yang langsung memaksa udara keluar dari paru-paruku.
Tidak ada yang bisa membuatku bergairah kembali selain sedikit permainan fisik.
"Dari belakang," desisku.
Dia mengangkatku dari lemari dan meletakkanku di lantai, tanpa mengeluarkan batangnya dari dalam diriku.
Aku mendorong diriku ke arah penisnya, dan kami dengan cepat beradaptasi dengan ritme dan gaya anjing yang nyaman dan cepat. Aku melengkungkan punggungku, mengangkat bokongku agar dia bisa masuk lebih dalam.
Dia membenamkan jari-jari tangan kirinya ke dalam pipi bokongku dan mengulurkan tangan kanannya, dengan lihai memijat klitorisku yang sudah terangsang.
"Biarkan aku mencicipinya," kataku.
Dia melepaskan tangannya dari vaginaku, memasukkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke dalam mulutku, dan aku mengisap cairan kenikmatanku sendiri.
Rasa dari feromonku sendiri membuat aku menjadi lebih liar.
"Ya, sayang," bisiknya.
Gerakan masuk-keluarnya semakin kencang. Zakarnya menampar-nampar klitorisku. Menjadikan sebuah irama yang indah di telingaku.
Hal itu mengingatkanku ketika kami biasa bercinta di kamar asrama kampusku. Teman sekamarku yang malang, Connie. Tempat tidur kami jaraknya tidak lebih dari empat meter.
Dia sudah kesulitan tidur karena batu ginjalnya. Mau berbicara tentang rasa sakit?
Jiwa malang ini biasa tertidur, lalu kemudian membuatku terjaga sepanjang malam dengan erangan dan teriakannya karena batu melewati saluran—
Kalau dipikir-pikir, mungkin itu adalah keadilan puitis bahwa kami membuatnya terjaga sepanjang malam.
Tidak. Connie tidak bisa menahannya. Dia adalah tipe kutu buku polos yang dulu bertingkah seolah dia tidak bisa mendengar ranjang berderit saat Wong bercinta ganas denganku, tapi itu tidak mungkin.
Bahkan jika dia tidak bisa mendengar kami, dia pasti bisa merasakan kekuatan kasur yang beradu dengan dinding.
Namun, Wong dan aku sangat mabuk dan senang berada jauh dari rumah, sehingga kami tidak lagi merasa malu karenanya. Jika aku bertemu Connie lagi, aku akan meminta maaf sebesar-besarnya dan menawarkan untuk mengajaknya makan siang dan…
Aku menyadari bahwa aku hanyut lagi dari apa yang sedang aku lakukan.
Oh iya…Wong.
***
"Lebih keras," aku memohon.
Wong beralih dari kecepatan normalnya menjadi serudukan yang ingin menghancurkan vaginaku. Kenikmatan bunyi gedebuk bercampur dengan rasa sakit lututku yang bertumpu di lantai kayu menghasilkan kombinasi koktail seks yang lezat.
"Teruskan!" Aku menangis keras.
Kenikmatanku…obatku…akan segera tiba. Aku sedang mendekati tepi.
Ya.
Otot-otot kakinya gemetar karena beratnya tubuhnya sendiri saat dia meniduriku dengan beringas. Aku memejamkan mata erat-erat dan mengeluarkan jeritan primal saat aku menarik dengan sekuat tenaga panggulnya bertemu dengan panggulku.
Vaginaku berkontraksi. Dinding-dinding kewanitaanku memijatnya. Tubuhku gemetar saat klimaksku tiba, dan aku bisa merasakan dia mengikutiku, tak lama setelah aku. Cairan hangat kentalnya memenuhiku. Setelah mengejang beberapa kali, dia kemudian ambruk di atasku, dan aku melihatnya lagi di dalam pikiranku…
Mata biru yang sedingin es.
Kecuali saat ini mata itu tidak ada dalam pikiranku. Mereka ada di sana, di seberang ruangan ini, menatap tepat ke arahku. Dia ada di sini.
Roman.
Heinrich.
Sialan.
Sekarang pupil matanya hampir sepenuhnya melebar, membuat matanya tampak hitam, menutupi iris matanya yang berwarna biru baja.
Tinjunya terkepal. Dia mengenakan sepatu bot hitam dan jeans robek abu-abu pudar yang nyaris tidak bisa menahan kakinya yang berotot.
Segala sesuatu tentang Roman terlihat agresif, siap untuk merusak, mengamuk, menghancurkan.
Dia akan membunuh Wong.
Atau lebih buruk: aku.