Vera Harlow
Adeline
Tiga puluh menit, dan beberapa kali menjilat sendok kemudian, aku memutar lagu Sam Smith sambil memasukkan loyang brownies cokelat ganda ke dalam oven.
Aku bernyanyi sambil membilas piring di wastafel.
Menempatkannya di pencuci piring, menyalakannya, kemudian pindah ke meja, mencoba untuk menjaga tangan dan pikiranku sibuk.
Saat itu hampir pukul delapan malam, dan setelah seharian berlari, aku kelelahan. Aku tetap tidak bisa istirahat sekarang, karena ada banyak hal yang harus kulakukan.
Berbalik ke ruang tamuku, aku menyilangkan tanganku saat air mata menusuk mataku. Menatap ruang terbuka, aku membiarkan mataku berkeliaran di sekitar ruangan.
Cahaya dari lampu jalan mengalir melalui jendela ganda yang terletak di dinding bata terbuka, pemanas putih duduk di lantai, dipasang pada dindingnya.
Aku telah menempatkan bunga palsu ke dalam kotak kayu di bagian atas pada musim yang lebih hangat untuk mencoba menyamarkannya.
Sofa cokelatku, sisi kiri terlindung dari sinar matahari, menghadap rak buku lebar yang merangkap sebagai pusat hiburanku.
Sebuah TV sederhana duduk di atasnya, dikelilingi lukisan-lukisan dari seniman lokal. Tidak ada foto pribadi yang berjajar di dindingku, karena aku benar-benar tidak punya.
Aku memang memiliki foto ibuku, tetapi dibingkai dan diletakkan di meja riasku.
Apartemenku tidak mewah, tapi milikku, dan aku bangga karenanya.
Aku telah bekerja keras dan mendapatkan pekerjaan layak, dan aku dapat memiliki tempat sendiri dan membayar tagihanku sendiri. Aku tidak menjalani kehidupan yang mempesona.
Masih ada hal-hal yang kuinginkan, hal-hal yang kuharapkan untuk miliki. Aku tidak kaya, tapi aku bahagia. Atau lebih tepatnya, tadinya. Aku telah bekerja sangat keras untuk mencapai ini.
Untuk melewati asumsi orang tentangku berdasarkan latar belakangku. Kukira jika aku melakukannya sekali, aku bisa melakukannya lagi.
Berjalan ke kamarku, aku mengganti jubahku dan mengenakan celana jins ketat pudar dan tank top berenda putih.
Sambil mengubrak-abrik lemariku, aku mengeluarkan ransel yang cukup kecil untuk dibawa oleh serigalaku.
Meraih semua dokumen pentingku, termasuk KTP dan kartu ATM, aku dengan hati-hati meletakkannya di belakang tasku.
Mengeluarkan uang tunai yang kusimpan di laci pakaian dalam dan beberapa barang penting lainnya, aku mengemasi tas dan menyelipkannya di bawah tempat tidurku.
Jika ada orang yang datang mencariku di sini, aku bisa melarikan diri keluar dari pintu darurat yang ada di luar jendela kamarku.
Melihat ke luar jendela itu, aku meringis. Aku benci karena masaku di sini sudah berakhir. Selanjutnya, aku mengeluarkan koper kecil dan mengisinya.
Aku akan membawa kedua tas denganku jika waktunya cukup, tetapi jika harus pergi dengan cepat, ransel harus cukup.
Menarik keluar tabletku, aku berbaring di tempat tidur. Sambil mendesah frustrasi, aku mulai mencari cara untuk mengganti teleponku dan secara spesifik melaporkan kendaraanku hilang.
Mengetahui bahwa aku memerlukan rencana, aku mencari area dengan banyak lowongan pekerjaan di bidang karierku yang dapat kucapai dengan bus.
Beruntung bagiku, sebagai spesialis teknik informatika, aku bisa mendapatkan pekerjaan hampir di mana saja, jadi pindah tidak akan sesulit yang kupikirkan.
Melihat harga tiket bus, aku mulai menyusun rencana. Aku bangun dari tempat tidur, memasukkan tablet dan pengisi dayanya ke dalam ranselku.
Berjalan ke lemari, aku memakai sepatuku. Yang tersisa hanyalah mengemas perlengkapan mandiku dan brownies.
Aku meninggalkan kamar, berjalan dengan enggan ke kamar mandi sehingga bisa mengemas barang-barang pribadiku ke tas.
Setelah memasukkan sikat gigi dan pasta gigi ke dalam plastik kedap, aku mengambil sikat rambut dan beberapa barang lainnya sebelum kembali ke kamar untuk mengemasnya di ransel.
Sambil memasukkannya ke dalam tas, aku membenci diriku sendiri karena memutuskan untuk berlari begitu dekat dengan rumah. Aku seharusnya memiliki kendali lebih baik.
Sekarang ada segerombolan manusia serigala mengincarku, dan aku harus meninggalkan semuanya.
Aku meluruskan diri, melihat langit-langit, dan mencoba untuk menemukan kebaikan dalam semua ini. Aku tahu sekarang bahwa aku tidak sendirian, seperti yang kupikirkan.
Aku menutup mataku, memaksakan senyum di bibirku yang enggan. Itu adalah sesuatu.
Aku benar-benar tersenyum saat aroma brownies mulai memenuhi apartemen. Menyingkirkan tasku, aku mengikuti aroma lezat itu kembali ke dapur.
Aku sedang melewati pintu depanku ketika sebuah suara tiba-tiba menarik perhatianku. Aku bisa mendengar langkah kaki berat menginjak tangga.
Dengan pendengaran sebaik milikku, aku sering kali menjadi akrab dengan cara segala sesuatu dan semua orang terdengar di sekitarmu.
Tetanggaku hanyalah sepasang lansia, dan seorang ibu tunggal dan putrinya, sedangkan suara ini asing bagiku.
Mengingatkan diri bahwa orang kadang-kadang kedatangan tamu, bahkan pada jam ini, aku menarik napas untuk menenangkan diri sebelum melihat ke luar lubang intip.
Menutup satu mata, aku mencondongkan tubuh, berharap melihat sumber suara.
Terengah-engah, aku panik ketika melihat bahwa keributan itu disebabkan beberapa pria jangkung berjas hitam.
Salah satunya memiliki rambut pirang kecokelatan dan mata hijau. Jeremy. Saat aku berbalik dari pintu, denyut nadiku berpacu dan napasku tercekat. Ini jelas mengganggu rencanaku makan brownies.
Mendorong diriku menjauh dari pintu, aku berlari ke dapur.
Memutar musikku lebih keras untuk mengganggu pendengaran mereka, aku melihat ovenku terakhir kalinya dengan kerinduan. Dengan hanya beberapa menit tersisa, aku mematikan oven tepat ketika seseorang mengetuk.
Berlari ke kamarku, aku menutup dan mengunci pintu, mendorong kursi mejaku ke bawah kenop pintu.
Meraih tasku, aku bergegas ke jendela. Aku bisa mendengar pintu depanku terbuka saat aku membuka jendela dan memanjat keluar.
Menyadari bahwa menyelinap keluar dari jendela mulai menjadi hal biasa bagiku, aku berlari ke tangga darurat.
Aku berhasil menuruni satu lantai sebelum seorang pria jangkung dengan rambut hitam tebal dan mata gelap muncul di tangga di depanku.
Pria itu mengenakan celana panjang hitam dan kemeja putih berkancing yang lengannya buru-buru didorong melewati sikunya.
Kerah kemejanya diregangkan, dan dasinya longgar, dan rambutnya tampak seolah-olah dia telah berulang kali menyisirnya.
Terlepas dari penampilannya yang acak-acakan, aku yakin dia termasuk dalam kawanan serigala yang kudengar menggelegar menaiki tanggaku beberapa saat sebelumnya.
Berdecit berhenti, aku hampir jatuh menabraknya. Menyeimbangkan diri, aku mundur selangkah.
Saat dia naik menuju kepadaku, senyum puas tersungging di wajahnya yang tampan. Dia berada satu kaki dariku.
Bentuk tubuhnya yang besar menghalangi harapan untuk melewatinya. Di belakangku hanya ada tangga yang menuju ke jendelaku.
Aku merasa terjebak, dan tatapan sombongnya membuatku kesal. Mengepalkan tanganku, aku kesulitan menahan keinginan untuk menghapus senyum bodoh itu dari wajahnya.
Mata cokelat gelapnya terfokus pada kakiku sebelum terangkat untuk melihatku. Cara dia mengamatiku dengan rasa ingin tahu yang cermat membuat telapak tanganku berkeringat.
Dia mencondongkan tubuh ke depan dan kemudian menarik dirinya kembali dengan cepat seolah-olah berusaha menjauhkan diri dariku.
Melepaskan napas yang telah kutahan, aku menghirup napas perlahan, terengah-engah akan aromanya. Dia berbau seperti cemara, jeruk, dan hujan segar.
Sebagian dari diriku ingin mendorong wajahku ke dadanya, hanya untuk mengendus lebih baik.
Menarik alisku menyatu karena frustrasi, aku memarahi diriku sendiri karena memikirkan sesuatu yang sangat konyol di saat seperti ini.
Menghirup sedikit aromanya lagi, aku mengakui bahwa dia bukan manusia dan dia adalah bagian dari kawanan yang telah membuatku melarikan diri.
Ketika aku mundur selangkah lagi, angin sepoi-sepoi bertiup dari belakangku, menggerakkan rambutku di depan wajahku.
Mengambil langkah ke arahku, pria itu tiba-tiba menegang. Seolah dengan insting, dia menghirup udara penuh sebelum matanya terkunci pada mataku.
Matanya melebar karena terkejut, dan dia menyisir rambut tebalnya dengan tangan dan menjilat bibirnya.
Sesuatu tentang caranya menatapku membuatku merasa gugup. Juga membuatku ingin berjalan ke arahnya.
Bingung dengan sinyal campuran yang dikirim tubuhku, aku mulai berjalan kembali menaiki tangga. Dia menyadarkan dirinya keluar dari lamunan, mulai mengikutiku.
Melihat tangga tarik ke bawah di sebelah kananku, aku menerjangnya, dan dia melompat ke depan, tangannya mendarat di lenganku saat dia mendorongku menjauh.
Saat ujung jarinya menyentuh kulit telanjangku, dia mengejutkanku, dan seluruh lenganku mulai tergelitik di bawah sentuhannya.
Aku tersentak dan melompat mundur seolah-olah telah terbakar. Apa itu tadi? Kebingungan memenuhiku ketika aku melihat dari lenganku ke dia.
Sesuatu tentang pria ini membuatku takut sekaligus bersemangat.
Dia masih mencondongkan tubuh ke depan, dan aku bisa merasakan napasnya yang panas mengembus dadaku. Dia masih terlalu dekat. Aku harus menjauhkan diri darinya.
Pasti ada cara untuk melewatinya. Aku masih melangkah mundur, menutup jarak antara aku dan jendelaku yang masih terbuka.
Setetes air mata mengalir di wajahku saat aku melihatnya mengikutiku. Menggiringku ke belakang.
Sambil melirik ke arah tangga yang menuju ke atap, aku mempertimbangkan pilihanku. Itu mungkin memberiku waktu, tetapi pada akhirnya, aku akan terperangkap.
Sambil menghela napas, menyadari ini bukan pertama kalinya dalam hidupku, aku marah karena berubah menjadi serigala dan bukan burung. Dengan tidak ada tempat untuk pergi, aku memanjat kembali ke jendelaku.
Pindah ke tengah kamarku, aku melihat pintu kamar tidurku lepas dari engselnya, dan jantungku melompat ke tenggorokan.
Jeremy berdiri di belakang manusia serigala yang masih memegang pintuku di tangannya.
Aku melihat pria dari tangga darurat memanjat melalui jendelaku, dan aku menahan air mataku, memasang wajah berani sebelum melihat Jeremy.
Aku tahu bahwa berbicara dengan orang-orang ini bisa berbahaya bagiku, tetapi pada saat itu, aku memutuskan tidak akan menunjukkan kepada mereka betapa takutnya aku.
Sambil menyilangkan tangan di depan dada, aku berkata, dengan suara paling santai yang bisa kusuarakan, “Kau berutang pintu kepadaku.”
Pria dari tangga darurat memberi isyarat agar kami keluar dari ruangan.
Berjalan melewati ambang pintu, aku melihat Patrick bersandar di meja dapurku. Radioku telah dimatikan, dan pintu lemari kamarku terbuka.
Aku bisa saja tertawa.
Aku mungkin tidak tahu banyak tentang komunitas manusia serigala, tetapi aku cukup tahu tentang diriku untuk mengetahui bahwa mereka akan dapat mendengar dan menciumku bersembunyi di lemari.
Sambil menoleh ke belakang, aku melihat pria di belakangku tersenyum kepada Patrick.
Dia mengangkat tangannya ke atas kepalanya, menggosok ibu jarinya di empat jari yang tersisa sebelum berkata, "Bayar."
Sambil menggerutu, Patrick mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan beberapa lembar uang kepada pria itu. “Kau benar, Zach. Dia pakai tangga darurat.”
Gelombang kemarahan lain melandaku. Mereka bertaruh bagaimana aku akan mencoba melarikan diri? Hidupku adalah lelucon bagi orang-orang ini.
Saat itu pengatur waktu dapurku berbunyi. Bersyukur atas gangguannya, aku sedang menuju dapur ketika Jeremy meraih bahuku yang terluka.
Aku berteriak bersamaan dengan geraman yang dalam dari belakangku. Berpikir itu dimaksudkan untukku, aku menoleh untuk melihat pria yang sekarang kukenal sebagai Zach.
Aku melihat Zach menegang, matanya menyipit saat Jeremy menyentuhku. Dia mengarahkan pandangan marah ke arah Jeremy, bukan aku.
Tetap saja, kemarahan dalam tatapannya membuatku menggigil. Jeremy tampak bingung dan ragu, dan saat Zach menggeram lebih keras, Jeremy melepaskanku.
Sambil bergerak ke arah komporku, aku bertanya, “Bolehkah?” Suaraku sangat menghina.
Jeremy mengangkat bahu, matanya masih tertuju kepada Zach.
Mematikan penghitung waktu sambil berjalan ke oven, aku mengenakan sarung tangan dan mengeluarkan brownies.
Aroma cokelat menyerbuku saat kubuka pintu oven. Aku memberi pandangan menghargai, puas bahwa brownies terlihat enak.
“Ada yang mau brownies?” tanyaku datar sambil menggeser panci ke atas kompor.
Meskipun saat itu tegang, dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, aku mencoba bersikap senormal mungkin.
Lagi pula, terlalu sial jika setelah semua ini, aku tidak makan setidaknya satu brownies ini.
Orang-orang itu menatapku, terkejut.
"Pertama kalinya kalian penjajah rumah ditawari makanan penutup?" tanyaku, alis terangkat.
"Aku akan mengambil satu." Jeremy berkata, mengangkat tangannya dengan malu-malu. Pria lain menatapnya, dan dia mengangkat bahu, "Dia menawarkan."
Menarik keluar beberapa piring, aku memotong persegi besar dengan spatula, sebelum menyendoknya ke piring dan menggesernya ke arah Jeremy.
Dia mengucapkan terima kasih sebelum mematahkan sepotong dan dengan lapar memasukkannya ke mulutnya. Mengambil garpu, aku menyajikan untuk diriku sendiri.
Zach, yang masih berdiri di samping Patrick, tidak pernah mengalihkan pandangannya dariku. Aku menjaga mataku tetap pada piringku.
"Geledah rumahnya," kata Patrick kepada orang-orang itu sambil kembali bersandar malas ke dinding.
Mereka berpisah, dan aku mengernyit ketika mendengar pecahan kaca di kamar tidurku.
"Maaf!" Aku mendengar pria yang mendobrak pintuku berseru. Rupanya menghancurkan sesuatu adalah keahliannya.
Zach bergerak di sekitar ruangan, tampak bingung saat dia memperhatikan semuanya. "Bukan tempat gelap khas serigala liar seperti yang kau harapkan?"
Aku melesat ke arahnya saat dia memeriksa rak bukuku.
Saat dia menatapku, wajahku terasa panas saat tatapannya menjalar ke seluruh tubuhku. "Lebih bagus," bisiknya sebagai tanggapan.
Suaranya sangat lembut sehingga aku hampir tidak mendengarnya.
"Maaf?" Aku hampir menjerit saat dia maju selangkah. Satu-satunya tanggapannya adalah tatapannya saat dia mulai berjalan ke arahku.
Aku memperhatikannya, bertahan pada tempatku, dan semakin dia dekat, semakin kuat aromanya. Kehadirannya tampaknya memabukkanku, dan aku menyukainya.
Sebagian besar diriku membencinya. Aku benci kekuatan aneh yang sepertinya dia miliki atasku.
Aku benci bagaimana rasanya tubuhku mengkhianatiku, dan saat dia berhenti tepat di depanku, aku benci bagaimana tanganku gatal untuk menjangkau dan menyentuhnya.
Langkah kaki yang berat membuat Zach mengalihkan pandangannya dariku. Aku menghela napas gemetar, senang karena gangguan.
Patrick mendekati Zach, dan ketika dia berada di sampingnya, keduanya saling memandang seolah-olah berkomunikasi tanpa kata.
Setelah beberapa saat Patrick mengangguk, dan Zach pergi untuk melakukan pemeriksaannya sendiri. Menatap Patrick dengan waspada, aku menusuk brownies-ku, memikirkan langkahku selanjutnya.
Semenit kemudian, semua pria itu berdiri di ruang tamuku sekali lagi.
"Kami tidak menemukan apa pun," kata Jeremy ke arah Patrick.
Patrick mengangguk kepadanya sebelum berbalik ke arahku. "Nn. Harris, kau akan ikut dengan kami.”
Melihat orang-orang di belakangnya, aku merenungkan secara singkat peluangku untuk memenangkan pertarungan ini sebelum berkata, “Tidak, aku tidak akan. Kalian tidak menemukan apa pun; aku tidak salah apa-apa.”
Patrick tersenyum. “Lalu kenapa kau kabur?”
Mataku melebar, dan aku merentangkan tanganku di depan dadaku, menunjuk ke arahnya, “Kenapa tidak? Apa? Aku harus memercayai orang-orang aneh yang telah menculikku dan memenjarakanku karena dilahirkan sendirian?”
Sudut mulut Zach berkedut.
Tanganku gemetar. Pikiranku yang lelah berusaha menenangkannya.
Semakin aku bersikap rileks, semakin tidak curiga mereka terhadapku. Jika aku bertindak takut dan licik, mereka akan mengawasiku lebih ketat.
Aku berharap jika bertindak tenang dan berkepala dingin, mereka akan lengah, memberiku kesempatan terbaik untuk melarikan diri.
Mengesampingkan ledakan emosiku, Patrick melanjutkan. “Kenyataannya, kau memiliki informasi yang dapat membahayakan keamanan kawanan kami.”
Memutar mataku, aku mengangkat tangan ke arah Patrick sebelum bertanya, "Seperti apa, ukuran baju penjagamu?"
Mendengar ini, Jeremy menyilangkan tangannya sebelum berkata, "Kau berutang baju kepadaku." Dia pasti menemukan celananya di semak-semak tempat aku meninggalkannya.
Patrick berdeham untuk menarik perhatianku. Memalingkan kepalaku kembali ke arahnya, aku melihat mata cokelatnya berbinar. “Informasi seperti cara masuk dan keluar dari tempat penahanan kami.” Sial.
Binar di matanya semakin terang saat dia menyadari bahwa ucapannya mengena. “Kau bisa dengan mudah membawa informasi itu ke serigala liar lain, dan mereka bisa menggunakannya untuk melawan kami.”
Dia benar. Dia juga memiliki keamanan yang sangat buruk. Aku ragu para serigala liar akan butuh bantuanku untuk masuk atau keluar dari tempat itu. Jika aku bisa melakukannya, mereka juga bisa.
Sambil mengerang, aku meletakkan kedua tanganku di depan tubuhku dan memanjatkan doa dalam hati untuk kesabaran kepada siapa pun yang mendengarkan.
“Berapa kali aku harus memberitahumu bahwa aku tidak mengenal serigala liar?
“Lagi pula, jika itu yang akan kulakukan, tidakkah kau pikir aku sudah melakukannya, pergi ke sana? Kenapa aku harus kembali ke sini?”
Cahaya di mata Patrick sedikit berkurang. Kenapa aku harus pulang jika punya tempat lain untuk dituju? Terutama karena aku yakin mereka tahu di mana aku tinggal.
Aku bisa melihat dia menyadari itu. Jika aku berniat jahat dengan menggunakan informasi yang kumiliki, aku pasti sudah melakukannya.
"Kau tetap akan ikut dengan kami," kata Patrick enteng.
"Kalian bersusah payah sekali, hanya demi menghindari mengubah kode keamanan," candaku.
Zach dan Penghancur Rumah tertawa. Setidaknya ada yang menganggap ini menghibur.
Aku menggigit bibirku, melihat orang-orang sekitar. Kepala mereka tampak miring ke arah satu sama lain dari waktu ke waktu.
Itu membuatku yakin bahwa, entah bagaimana, mereka berkomunikasi satu sama lain. Setelah percakapanku baru-baru ini dengan Patrick, masing-masing menjadi lebih tegang.
Aneh bagiku bahwa mereka meluangkan waktu berbicara denganku, bukannya langsung mendorongku masuk ke belakang suatu van.
Dari sudut mataku, aku melihat Jeremy mencoba berjalan melewatiku ke dapur.
Meraih garpuku, aku menggeser tubuhku untuk melihatnya. Aku tahu kebaikan mereka ada batasnya. Mengamati garpuku, Jeremy mengangkat tangannya perlahan.
“Hanya mengambil brownies lagi,” jelasnya.
"Tolong biarkan aku mengambilkannya untukmu," kataku, menawarkan senyum kecil. Aku tidak ingin dia di belakangku. Aku memiliki kesempatan lebih baik untuk berusaha kabur dari ini jika tidak dikepung.
Memotongkan brownies lagi untuknya, aku menyendoknya ke piring yang dia pegang. Memberinya tatapan tajam, aku melihat dia mundur perlahan ke ruang tamu.
"Apa yang akan kau lakukan denganku?" tanyaku kepada Patrick, mengulur-ulur waktu lagi.
Aku perlu mencari jalan keluar dari ini. Sayangnya, aku tidak terpikirkan satu ide pun.
“Kami akan menahanmu di fasilitas kami sampai selesai mengumpulkan informasi tentangmu. Alpha akan memutuskan apa yang akan terjadi setelah itu.”
Tubuhku bergetar. “Aku bukan milik alpha-mu. Beri tahu alpha kalian bahwa aku bukan miliknya untuk dia melakukan apa pun yang dia inginkan.”
Ketegangan di ruangan semakin tebal. Aku tahu pasti bodoh jika mencoba memperburuk keadaan, tetapi itu sedikit memuaskan, karena pada saat ini, ini satu-satunya caraku bisa melawan.
Memandangku lama, Patrick berpaling dariku. "Jeremy, Greg, tolong siapkan mobilnya."
Orang-orang itu langsung menuju pintu. Jeremy memberiku senyum menenangkan saat dia melewatiku.
Meskipun Patrick tidak pernah menyakitiku secara fisik, aku merasa jauh lebih cemas melihat Jeremy pergi.
Aku tidak benar-benar percaya kepadanya, tapi sebagian kecil dari diriku tahu dia tidak akan menyakitiku kecuali aku memberinya alasan untuk itu.
Patrick kemudian melihat ke arahku. “Jenis kita menarik banyak perhatian, terutama ketika bergerombol seperti ini.
“Kita harus menunggu jalanan sepi sebelum bisa keluar. Jika ada sesuatu di sini yang perlu kau urus, sekaranglah saatnya untuk melakukannya.”
Menarik perhatian? Mereka semuanya bertubuh tinggi, berotot, dan cukup menarik. Aku bisa melihat bagaimana mereka berjalan-jalan dalam kelompok akan membuat orang menoleh.
Dan berpakaian seperti agen FBI tidak membantu membuat mereka tidak terlalu mencolok.
Melihat antara Zach dan Patrick, keduanya yang terbesar dari kawanan manusia serigala, aku bertanya-tanya tentang peluangku lolos dari mereka.
“Jadi, aku bisa mengambil baju ganti karena kita punya waktu?” tanyaku, mencoba meniru gaya santainya.
"Tentu saja," jawab Patrick sebelum mulai mondar-mandir di ruang tamuku.
Sambil mengalihkan pandangan darinya, aku memperhatikan Zach.
Jika Jeremy dan Greg yang menangani kendaraan, maka Zach pasti yang bertanggung jawab untuk membawaku turun.
Melihatku memperhatikannya, Zach membalas tatapanku. Melihat ketakutan di mataku, dia mulai mendekatiku perlahan.
Ketika dia berjarak satu lengan dariku, aku mundur.
"Aku berjanji tidak akan ada yang menyakitimu." Zach mengangkat tangannya dalam upaya menghiburku, matanya yang gelap menjadi lebih terang saat menatap mataku.
Sebuah getaran naik ke tulang belakangku. Aku ingin percaya kepadanya, tapi tidak bisa.
“Aku mengerti ini sulit bagimu, tetapi ada banyak yang tidak kau ketahui saat ini. Ikut dengan kami adalah yang terbaik untuk kepentingan kita.”
Aku bisa saja tertawa. "Aku tidak bisa melihat bagaimana itu benar." Aku menyilangkan tanganku di depan dada.
“Meski begitu, yang terbaik bagimu adalah tidak mencoba melawan kami.” Zach berkata sambil menyelipkan rambut ke belakang telingaku.
Napasku tercekat karena sentuhannya. "A-Aku lebih suka jika kau tidak menyentuhku," aku tergagap. Sejak kapan dia begitu dekat denganku?
Memutus kontak mata dengannya, aku menatap kakinya untuk menyembunyikan rona merah di pipiku. Apa selama ini aku menatap matanya?
Saat aku melihat kembali ke arahnya, dia melihat dari mataku ke pipiku sebelum senyum geli bermain di bibirnya.
Berpaling darinya untuk menyembunyikan ekspresi frustrasiku, aku berjalan melewatinya, menuju kamar tidurku.
"Ke mana kau pergi?" dia bertanya, terdengar khawatir. "Patrick, atau, ahhhh, beta bilang aku bisa berkemas," gumamku.
"Oh. Ya, tentu saja,” jawab Zach sambil menggaruk belakang lehernya.
Aku berhasil setengah jalan ke kamarku ketika menyadari dia mengikutiku. Padahal aku berharap bisa melakukan ini sendirian.
Sebenarnya, aku berharap ada kesempatan lain untuk menyelinap keluar dari jendelaku. Aku berhenti, berbalik menghadap Zach.
Melihatnya seperti anak anjing tersesat, aku memutar mataku sebelum berkata, “Aku yakin bisa melakukan ini sendirian.”
"Aku sangat menyadari apa yang bisa kau lakukan," jawab Zach dengan senyum nakal.
Kukira reputasiku sudah dikenal. Jika tidak, mereka tidak akan berada di sini.
"Jika kau butuh waktu sendiri, aku akan dengan senang hati menunggu di sini," dia menawarkan, bersandar ke dinding.
Dari posisinya, dia bisa melihat langsung ke kamar tidurku. Mengangguk, dia mengetuk telinganya dan menatapku serius sebelum berbalik untuk melihat Patrick mondar-mandir.
Mengetahui prajurit super akan mendengarkan, aku masuk ke kamarku.
Saat berjalan ke lemari, aku dihentikan oleh derak kecil kaca di bawah kakiku.
Aku mengambil langkah mundur, memeriksa kaca dan mencari sumbernya. Aku hanya perlu mengalihkan pandanganku beberapa inci untuk melihat dari mana asalnya.
Di lantai ada foto ibuku. Kaca bingkai telah pecah. Aku membungkuk, mulai mengambil kaca dari lantaiku.
Sementara bekerja, aku membiarkan mataku melayang ke wanita cantik di foto. Dia memiliki rambut pirang madu panjang dan mata safir.
Dia berbintik-bintik dan memiliki bibir merah muda tebal. Dia tertawa di foto ini, dan aku tidak bisa melupakan betapa mudanya dia.
Siapa pun yang memotret foto itu jelas sangat mencintainya. Mereka telah memotretnya dengan sempurna. Atau setidaknya aku membayangkannya begitu.
Pikiran dan gambaran itu sendiri memberiku sebuah misteri. Jika dia begitu dicintai, lalu kenapa dia mati sendirian di rumah sakit?
Kenapa tidak ada seorang pun bersamanya ketika dia melahirkanku? Foto itu tidak mungkin diambil terlalu lama sebelum dia melahirkanku.
Buktinya adalah cara tangannya menutupi perutnya yang membesar. Jadi, di mana orang ini, dan bagaimana ibuku berakhir sendirian?
Rasa sakit menjalar di tanganku dan naik ke lenganku.
Sesuatu yang hangat menetes ke bawah tanganku, dan melihat ke bawah, aku menyadari bahwa aku telah meremas tanganku begitu keras sehingga kaca yang kupegang telah melukai telapak tanganku.
"Sudah siap?" sebuah suara bertanya dari pintu. Zach.
“Emm, ya. Hampir. Aku hanya butuh sebentar lagi.”
Mendengar langkah kaki di belakangku, aku mendongak untuk menemukan mata gelap Zach mengamati foto ibuku. Matanya melompat dari gambar ke wajahku dan kembali lagi.
Bangun dengan tangan masih tertutup, aku menuju lemariku, tidak ingin menguji kesabarannya lebih jauh.
Menjatuhkan kaca ke tempat sampah di dekat meja riasku, aku mengambil beberapa baju dengan tanganku yang sehat dan menyelipkan beberapa celana jins di bawah lenganku sebelum membawanya ke tempat tidur.
Mengambil ranselku dari punggungku, aku mencoba membuka ritsletingnya dengan satu tangan untuk memasukkan pakaian ke dalam.
Aku membuka ritsleting tas setengah jalan ketika tangan hangat meraih tanganku yang terluka.
Saat tangan itu melakukan kontak dengan tanganku, muncul rasa tergelitik.
Melompat mundur karena sentuhan yang tak terduga, aku berbalik, tanganku yang sehat mengepal, kuterbangkan ke arah penyerangku.
Zach menangkap pukulanku dengan mudah dengan tangannya yang bebas. Menyadari siapa itu, aku tersentak dan dengan cepat menarik kedua tangan darinya.
"Kau selalu segelisah ini?" Zach bertanya, matanya masih terbelalak karena serangan tak terduga itu.
"Hanya setelah penculikan berulang kali," jawabku balik.
"Ini bukan penculikan," balas Zach.
“Kau memaksaku ikut denganmu. Aku tidak punya pilihan," balasku.
"Kau berjalan sendiri," balasnya.
"Karena aku tidak punya pilihan lain!" Aku tegaskan kepada dia.
“Jika bisa membuatmu merasa lebih baik, aku bisa menggendongmu. Tidak akan terlalu mengerikan,“ Zach berucap, mengubah arah kepadaku dengan mengangkat alisnya. Dia tersenyum puas, berpikir telah menang.
“Untuk harga diriku, akan mengerikan.” Itu membuat sombongnya langsung hilang dari wajahnya.
"Kenapa kau tidak memberitahuku bahwa kau melukai dirimu?" dia bertanya kepadaku.
Itu membuatku lengah. “Apakah harus? Lagi pula, aku tidak ingin membuat kalian menunggu, kalau-kalau kalian memutuskan membiusku lagi atau semacamnya.”
Aku sedikit tersentak mendengar kata-kataku sendiri. Terdengar jauh lebih jahat daripada yang aku maksudkan. Reaksiku sendiri sedikit mengejutkanku.
Kenapa aku harus memikirkan betapa jahatnya itu terdengar? Itu kebenaran, bukan?
Jawaban Zach adalah gelengan kepala sedih dan memutar matanya. Mengambil pergelangan tanganku yang terluka, dia menarikku ke kamar mandi.
Menyalakan lampu, dia membuka paksa tanganku dan memeriksanya. Percikan dari sentuhannya melompat ke seluruh lenganku.
Saat dia menundukkan kepalanya untuk mengamati telapak tanganku, aku hampir terkesiap melihat kedekatan bibirnya dengan kulitku.
Menghirup perlahan, aku mencoba berkonsentrasi pada bau metalik dari darahku, karena aromanya sangat kuat di ruang kecil.
Membuatku ingin meletakkan kepalaku di dadanya dan membuatnya menyelimutiku dalam pelukannya.
Sambil menggelengkan kepala untuk menyingkirkan semua pikiran tentang dia menyentuhku, aku mulai menatap tanganku. Kaca itu telah mengiris telapak tanganku.
Menempatkan tanganku di wastafel, Zach mulai membilas lukanya.
Saat aku mendesis karena air menyentuh luka yang terbuka, dia menatapku dengan tatapan meminta maaf sebelum mematikan keran.
Sekarang bersih, aku bisa melihat lukanya jauh lebih dangkal daripada pendarahan yang kukira.
"Kau punya perban?" dia bertanya kepadaku.
"Di bawah wastafel," jawabku.
Menariknya keluar, dia meletakkannya di konter sebelum berbalik ke arahku.
Ekspresi nakal muncul di wajahnya, dan sebelum aku sempat menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, dia mengangkatku dan mendudukkanku di konter.
Sensasi hangat dari tangan besarnya yang melingkari pinggangku, ditambah dengan geli menyiksa yang datang dengan sentuhannya membuatku terengah-engah.
Melihat wajahku sekali, dia tertawa serak.
"Kenapa…"
Dia menatapku, dan aku berhenti di tengah kalimat. Apa yang akan aku katakan? Kenapa kau membuatku geli? Menggigit bibirku, aku membuang muka.
"Ya?" Zach menghela napas, matanya menatap wajahku.
“Kenapa saat kita b-bersentuhan…” Aku mencoba lagi, menatap tangan kami yang bergandengan.
Dia menatapku, dengan ekspresi aneh di wajahnya, seolah aku seharusnya tahu sesuatu yang tidak kuketahui.
"Sudahlah," aku menyelesaikan, memutuskan lebih baik tidak bertanya.
Karena keduanya terdiam, dan mungkin rona merah yang tidak menarik, aku menatap tanganku saat dia membalutnya. Ketika selesai, dia meletakkan satu jari di bawah daguku dan mengangkat wajahku untuk bertemu dengannya.
“Tidak terlalu sakit, kan?” dia bertanya dengan lembut.
Tidak menunggu jawaban, dia membungkuk dan mengusap bibirnya ke telapak tanganku sampai beristirahat di tengah tanganku, memberinya ciuman ringan.
Masih menatap mataku, dia menutup tanganku dengan kedua tangannya.
Memutus kontak mata dengannya, aku merasakan pipiku terbakar karena keintiman tindakannya.
Jantungku berdebar-debar di dadaku, mengancam akan mengeksposku, dan aku terbatuk berusaha menutupi kebisingannya, karena itu adalah bukti ketertarikanku yang jelas, dan salah tempat, kepadanya.
Dia menarikku berdiri, membuka mulutnya untuk berbicara ketika matanya tiba-tiba berkaca-kaca.
Menutup mulutnya, dia memiringkan kepalanya ke arah pintu dan kemudian mengangguk dengan kaku.
“Sepertinya kita sudah siap pergi.” Dia menyelipkan rambutku ke belakang telinga.
Mengabaikan dorongan untuk menegurnya karena keberaniannya, aku mengajukan pertanyaan yang lebih mendesak. "Bagaimana kau tahu?"
Dia memberiku senyuman kecil, dan sesuatu yang tampak mencurigakan seperti rasa kasihan pada matanya. "Kau benar-benar tidak tahu banyak tentang kami," dia berkata sebagai tanggapan, mengatakannya lebih seperti pernyataan.
Sebelum aku bisa bereaksi terhadap kata-katanya, dia menarikku lebih dekat. Aroma tubuhnya ada di mana-mana, dan aku berusaha lemah untuk berpaling darinya.
Dia menjawab dengan melingkarkan lengannya lebih erat di pinggangku. Kehadirannya nyaris menghipnotis.
Dia mengangkat daguku untuk menangkap mataku lagi. Lututku sedikit melemah, dan peringatan berbunyi di kepalaku. Dia terlalu dekat.
Menempatkan tanganku di lengan bawahnya, aku mencoba mendorong menjauh darinya, hanya untuk menemukan bahwa tenagaku tidak banyak berpengaruh padanya. Apakah aku benar-benar mencoba?
Mengelus pipiku dengan ibu jarinya, dia menatapku sedih sebelum tangannya berpindah ke belakang leherku.
"Maafkan aku," katanya pelan. Tiba-tiba aku merasakan gelombang rasa sakit yang cepat menjalar ke leherku, dan kemudian dunia menjadi gelap.